Mana Yang Lebih Afdhol, Haji Qiran, Ifrad Atau tamattu'?

Mana Yang Lebih Afdhol, Haji Qiran, Ifrad Atau tamattu'?

Ada tiga istilah yang seringkali kita dengar terkait dengan tata cara pelaksanaan ibadah haji, yaitu Qiran (قِرَان), Ifrad (إِفْرَاد) dan Tamattu’ (تَمَتُّع).

Sebenarnya ketiga istilah ini membedakan teknik penggabungan antara ibadah haji dengan ibadah umroh. Kita tidak bisa memahami apa yang dimaksud dengan ketiga istilah ini kalau kita belum memahami arti haji dan umrah.


Haji Qiran, Ifrad Atau tamattu
Jamaah Haji Sedang Berdoa Di Arafah


Persamaan dan Perbedaan Antara Umroh dan Haji



Persamaan Umrah dan Haji

Umroh dan haji sama-sama dikerjakan dalam keadaan berihram.
Umroh dan haji sama-sama dikerjakan dengan terlebih dahulu mengambil miqat makani
Umroh dan haji sama-sama terdiri dari thowaf yang bentuknya mengelilingi Ka’bah tujuh putaran, disambung dengan sa'i tujuh kali antara Shafa dan Marwah, lalu disambung dengan bercukur atau tahallul. Boleh dibilang ibadah haji adalah ibadah umroh plus beberapa ritual ibadah lainnya.
Umroh adalah Haji Kecil 


Perbedaan Umrah dan Haji

Semua ritual umroh yaitu thowaf, sa'i dan bercukur, cukup hanya dilakukan di dalam masjid Al-Haram. Sedangkan ritual haji adalah terdiri dari ritual umroh ditambah dengan wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, melontar Jamarat di Mina sambil bermalam selama disana selama beberapa hari.
Umroh bisa dilakukan kapan saja berkali-kali dalam sehari karena durasinya cukup pendek, sedangkan ibadah haji hanya bisa dikerjakan sekali dalam setahun. Inti ibadah haji adalah wuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dimana durasi ibadah haji sepanjang 5 sampai 6 hari lamanya.
Jadi karena ibadah umroh dan haji punya irisan satu dengan yang lain, atau lebih tepatnya ibadah umroh adalah bagian dari ibadah haji, maka terkadang kedua ibadah itu dilaksanakan sendiri-sendiri, dan terkadang bisa juga dilakukan bersamaan dalam satu ibadah.

Semua itu akan menjadi jelas jika kita bahas satu persatu mengenai istilah Qiran, Ifrad dan Tamattu’.



Haji Qiran


1. Pengertian

a. Bahasa

Istilah qiran (قِرَان) kalau kita perhatikan secara bahasa (etimologi) bermakna :

جَمْعُ شَيْءٍ إِلَى شَيْءٍ

Menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Istilah qiran (قِرَان) oleh orang Arab juga digunakan untuk menyebut tali yang digunakan untuk mengikat dua ekor unta menjadi satu. Ats-Tsa’labi mengatakan :

لاَ يُقَال لِلْحَبْل قِرَانٌ حَتَّى يُقْرَنَ فِيهِ بَعِيرَانِ

Tali tidaklah disebut qiran kecuali bila tali itu mengikat dua ekor unta.

b. Istilah

Dan secara istilah haji, qiran adalah :

أَنْ يُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ جَمِيعًا

Seseorang berihram untuk umrah sekaligus juga untuk haji

Atau dengan kata lain, Haji Qiran adalah :

أَنْ يُحْرِمَ بِعُمْرَةٍ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ ثُمَّ يُدْخِل الْحَجَّ عَلَيْهَا قَبْل الطَّوَافِ

Seseorang berihram dengan umroh pada bulan-bulan haji, kemudian memasukkan haji ke dalamnya sebelum tawaf

Seseorang bisa dikatakan melaksanakan haji dengan manakala dia melakukan ibadah haji dan umroh digabung dalam satu niat dan gerakan secara bersamaan, sejak mulai dari berihram.

Sehingga ketika memulai dari miqat dan berniat untuk berihram, niatnya adalah niat berhaji dan sekaligus juga niat berumroh. Kedua ibadah yang berbeda, yaitu haji dan umroh, digabung dalam satu praktek amal. Dalam peribahasa kita sering diungkapkan dengan ungkapan, sambil menyelam minum air.

2. Dalil

Menggabungkan antara ibadah haji dengan ibadah umroh dibenarkan oleh Rasulullah SAW berdasarkan hadits berikut ini.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ بِالْحَجِّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لَمْ يَحِلُّوا حَتَّى كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ

'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Kami berangkat bersama Nabi SAW pada tahun hajji wada' (perpisahan). Diantara kami ada yang berihram untuk 'umroh, ada yang berihram untuk hajji dan 'umroh dan ada pula yang berihram untuk hajji. Sedangkan Rasulullah SAW berihram untuk hajji. Adapun orang yang berihram untuk hajji atau menggabungkan hajji dan 'umroh maka mereka tidak bertahallul sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah) ". (HR. Bukhari)

Tentunya karena Qiran itu adalah umroh dan haji sekaligus, maka hanya bisa dikerjakan di dalam waktu-waktu haji, yaitu semenjak masuknya bulan Syawwal.

3. Prinsip Haji Qiran

a. Cukup Satu Pekerjaan Untuk Dua Ibadah

Jumhur ulama termasuk di dalamnya pendapat Ibnu Umar radhiyallahuanhu, Jabir, Atha', Thawus, Mujahid, Ishak, Ibnu Rahawaih, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir, menyebutkan karena Qiran ini adalah ibadah haji sekaligus umroh, maka dalam prakteknya cukup dikerjakan satu ritual saja, tidak perlu dua kali.

Tidak perlu melakukan 2 kali ritual tawaf dan tidak perlu 2 kali melakukan ritual sa'i, juga tidak perlu 2 kali melakukan ritual bercukur. Semua cukup dilakukan satu ritual saja, dan sudah dianggap sebagai dua pekerjaan ibadah sekaligus, yaitu haji dan umroh.

Seperti itulah petunjuk langsung dari Rasulullah SAW lewat hadits Aisyah radhiyallahuanha.

وَأَمَّا الَّذِينَ جَمَعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّمَا طَافُوا طَوَافًا وَاحِدًا

Mereka yang menggabungkan antara haji dan umroh (Qiran) cukup melakukan satu kali thowaf saja. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan haji qiran itulah yang dilakukan langsung oleh Aisyah radhiyallahuanha. Dan Rasulullah SAW menegaskan untuk cukup melakukan tawaf dan sa'i sekali saja untuk haji dan umroh.

يُجْزِئُ عَنْكِ طَوَافُكِ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ عَنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ

Cukup bagimu satu kali tawaf dan sa'i antara Shawa dan Marwah untuk haji dan umrohmu. (HR. Muslim)

Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW sendiri saat berhaji, juga berhaji dengan Haji Qiran.

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُول اللَّهِ قَرَنَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَطَافَ لَهُمَا طَوَافًا وَاحِدًا

Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW menggabungkan haji dan umroh, lalu melakukan satu kali tawaf untuk haji dan umroh. (HR. Tirmizy)

Namun ada juga yang berpendapat bahwa haji dalam Qiran, semua ritual ibadah harus dikerjakan sendiri-sendiri. Yang berpendapat seperti ini antara lain Madzhab Hanafiyah, serta Ats-Tsauri, Al-Hasan bin Shalih, dan Abdurrahman bin Al-Aswad.

Maka dalam pandangan mereka ritual thowaf dilakukan dua kali, pertama tawaf untuk haji lalu selesai itu kembali lagi mengerjakan tawaf untuk umroh. Demikian juga dengan sa'i dan juga bercukur, keduanya masing-masing dikerjakan dua kali dua kali, pertama untuk haji dan kedua untuk umroh.

b. Dua Niat : Umroh dan Haji

Yang harus dilakukan hanyalah berniat untuk melakukan dua ibadah sekaligus dalam satu ritual.

Kedua niat itu ditetapkan pada sesaat sebelum memulai ritual berihram di posisi masuk ke miqat makani.

4. Syarat Haji Qiran

Agar Haji Qiran ini sah, maka ada syarat yang harus dipenuhi, antara lain :

Berihrom Haji Sebelum Thawaf Umroh

Seorang yang berhaji dengan cara Qiran harus berihram untuk haji terlebih dahulu sebelumnya, sehingga ketika melakukan tawaf untuk umroh, ihramnya adalah ihram untuk haji dan umroh sekaligus.

Berihrom Haji Sebelum Rusaknya Umroh

Maksudnya seorang Haji Qiran yang datang ke Mekkah dengan melakukan umrah dan berihram dengan ihram umroh, lalu dia ingin menggabungkan ihramnya itu dengan ihram haji, maka sebelum selesai umrohnya itu, dia harus sudah menggabungkannya dengan haji.

Madzhab Hanafiyah menyebutkan bahwa belum selesainya umroh adalah syarat sah buat Haji Qiran.

Madzhab Syafi’iyah menambahkan syarat bahwa ihram itu harus dilakukan setelah masuk bulan-bulan haji, yaitu setidaknya setelah bulan Syawwal.

c. Thowaf Umroh Dalam Bulan Haji

Maksudnya seorang yang Haji Qiran harus menyempurnakan tawaf umrohnya hingga sempurna tujuh putaran, yang dikerjakan di bulan-bulan haji.

d. Menjaga Umroh dan Haji dari Kerusakan

Orang yang berhaji dengan cara Qiran wajib menjaga ihram umroh dan hajinya itu dari kerusakan, hingga sampai ke hari-hari puncak haji.

Dia tidak boleh melepas pakaian ihramnya atau melakukan larangan-larangan dalam berihram. Artinya, sejak tiba di Mekkah maka dia terus menerus berihram sampai selesai semua ritual ibadah haji.

e. Bukan Penduduk Mekkah

Dalam pandangan Madzhab Hanafiyah, Haji Qiran ini tidak berlaku buat mereka yang menjadi penduduk Mekkah, atau setidaknya tinggal atau menetap disana. Haji Qiran hanya berlaku buat mereka yang tinggalnya selain di Mekkah, baik masih warga negara Saudi Arabia atau pun warga negara lainnya.

Sedangkan dalam pendapat Jumhur Ulama, penduduk Mekkah boleh saja berhaji Qiran dan hukum hajinya sah. Hanya bedanya, buat penduduk Mekkah, apabila mereka berHaji Qiran, tidak ada kewajiban untuk menyembelih hewan sebagai dam. Menyembelih hewan ini hanya berlaku buat penduduk selain Mekkah yang berHaji Qiran.

Awal mula perbedaan ini adalah ayat Al-Quran yang ditafsiri dengan berbeda oleh kedua belah pihak.

ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Yang demikian itu berlaku bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di Masjidil Haram. (QS. Al-Baqaroh : 96)

Jumhur ulama mengatakan bahwa kata ’dzalika’ dalam ayat ini adalah kata tunjuk (ism isyarah), yang terkait dengan bagian dari ayat ini juga yang mengharuskan mereka untuk menyembelih hewan.

فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan 'umroh sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqaroh : 196)

f. Tidak Boleh Terlewat Haji

Seorang yang berhaji dengan cara Qiran maka dia wajib menyelesaikan ibadah hajinya hingga tuntas, tidak boleh terlewat.



Haji Ifrad


Dari segi bahasa, kata Ifrad adalah bentuk mashdar dari akar kata afrada (أفرد) yang bermakna menjadikan sesuatu itu sendirian, atau memisahkan sesuatu yang bergabung menjadi sendiri-sendiri. Ifrad ini secara bahasa adalah lawan dari dari Qiran yang berarti menggabungkan.

Dalam istilah ibadah haji, Ifrad berarti memisahkan antara ritual ibadah haji dari ibadah umrah. Sehingga ibadah haji yang dikerjakan tidak ada tercampur atau bersamaan dengan ibadah umrah.

Bisa dikatakan, orang yang berhaji dengan cara Ifrad adalah orang yang hanya mengerjakan ibadah haji saja tanpa ibadah umrah.

Kalau orang yang berHaji Ifrad ini melakukan umrah, bisa saja, tetapi setelah selesai semua rangkaian ibadah haji.

1. Tidak Perlu Denda

Haji Ifrad adalah satu-satunya bentuk berhaji yang tidak mewajibkan denda membayar dam dalam bentuk ritual menyembelih kambing. Berbeda dengan Haji Tamattu’ dan Qiran, dimana keduanya mewajibkan dam.

2. Hanya Thawaf Ifadhah

Seorang yang mengerjakan Haji Ifrad hanya melakukan satu thowaf saja, yaitu Thowaf Ifadhah. Sedangkan thowaf lainnya yaitu Qudum dan Wada' tidak diperlukan.



Haji Tamattu’


Istilah Tamattu’ berasal dari al-mata' (المتاع) yang artinya kesenangan. Dalam Al-Quran Allah berfirman :

وَلَكُمْ فِي الأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

Dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. (QS. Al-Baqarah : 36)

Dan kata tamattu’ artinya bersenang-senang, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :

فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan 'umroh sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqarah : 196)

Dalam prakteknya, Haji Tamattu’ itu adalah berangkat ke tanah suci di dalam bulan haji, lalu berihram dari miqat dengan niat melakukan ibadah umroh, bukan haji, lalu sesampai di Mekkah, menyelesaikan ihram dan berdiam di kota Mekkah bersenang-senang, sambil menunggu datangnya hari Arafah untuk kemudian melakukan ritual haji.

Jadi Haji Tamattu’ itu memisahkan antara ritual umrah dan ritual haji.

1. Perbedaan Antara Tamattu' dan Ifrad

Kemudian apa dan dimana letak perbedaan antara Tamattu’ dan Ifrad? Bukankah Haji Ifrod itu juga memisahkan haji dan umrah?

Sekilas antara Tamattu’ dan Ifrad memang agak sama, yaitu sama-sama memisahkan antara ritual haji dan umrah. Tetapi sesungguhnya keduanya amat berbeda.

Dalam Haji Tamattu’, jamaah haji melakukan umrah dan haji, hanya urutannya mengerjakan umrah dulu baru haji, dimana di antara keduanya bersenang-senang karena tidak terikat dengan aturan berihram.

Sedang Haji Ifrad, jamaah haji melakukan ibadah haji saja, tidak mengerjakan umrah. Selesai mengerjakan ritual haji sudah bisa langsung pulang. Walau pun seandainya setelah selesai semua ritual haji lalu ingin mengisi kekosongan dengan mengerjakan ritual umrah, boleh-boleh saja, tetapi syaratnya asalkan setelah semua ritual haji selesai.

2. Kenapa Disebut Tamattu’?

Karena dalam prakteknya, dibandingkan dengan Haji Qiran dan Ifrad, Haji Tamattu’ memang ringan dikerjakan, karena itulah diistilahkan dengan bersenang-senang.

Apanya yang senang-senang?

Ketika jamaah haji menjalani Haji Ifrad, maka sejak dia berihram dari miqat sampai selesai semua ritual ibadah haji, mereka tetap harus selalu dalam keadaan berihrom (memakai pakaian ihrom)

Padahal berihrom itu ada banyak pantangannya, kita dilarang mengerjakan semua larangan ihram. Artinya, kita tidak boleh melakukan ini dan tidak boleh itu, jumlahnya banyak sekali.

Dan khusus buat laki-laki, tentunya sangat tidak nyaman dalam waktu berhari-hari bahkan bisa jadi berminggu-minggu hanya berpakaian dua lembar handuk, tanpa pakaian dalam. Dan lebih tersiksa lagi bila musim haji jatuh di musim dingin yang menusuk, maka jamaah haji harus melawan hawa dingin hanya dengan dua lembar kain sebagai pakaian.

Mungkin bila jamaah haji tiba di tanah suci pada hari-hari menjelang tanggal 9 Dzulhijjah, tidak akan terasa lama bertahan dengan kondisi berihram. Tetapi seandainya jamaah itu ikut rombongan gelombang pertama, dimana jamaah sudah sampai di Mekkah dalam jarak satu bulan dari hari Arafah, tentu sebuah penantian yang teramat lama, khususnya dalam keadaan berihram.

Maka jalan keluarnya yang paling ringan adalah melakukan Haji Tamattu’, karena selama masa menunggu itu tidak perlu berada dalam keadaan ihram. Sejak tiba di Kota Mekkah, begitu selesai tawaf, sa’i dan bercukur, sudah bisa menghentikan ihram, lepas pakaian yang hanya dua lembar handuk, boleh melakukan banyak hal termasuk melakukan hubungan suami istri.

Meski harus menunggu sampai sebulan lamanya di kota Mekkah, tentu tidak mengapa karena tidak dalam keadaan ihram. Karena itulah haji ini disebut dengan Haji Tamattu’ yang artinya bersenang-senang.

3. Denda Tamattu’

Di dalam Al-Quran Allah SWT menegaskan bahwa Haji Tamattu’ itu mewajibkan pelakunya membayar denda. Istilah yang sering digunakan adalah membayar dam. Kata dam (الدم) artinya darah, dalam hal ini maksudnya membayar denda dengan cara menyembelih seekor kambing.

Bila tidak mau atau tidak mampu, boleh diganti dengan berpuasa 10 hari, dengan rincian 3 hari dikerjakan selama berhaji dan 7 hari setelah pulang ke tanah air.

فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umroh sebelum haji, korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh yang sempurna. Demikian itu bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada Masjidil Haram. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Baqarah : 196)

Mana Yang Lebih Utama?

Setelah membahas panjang lebar tentang tiga jenis cara berhaji, yaitu Qiran, Ifrad dan Tamattu’, maka timbul pertanyaan sekarang, yaitu mana dari ketiganya yang lebih afdhol dalam pandangan ulama dan mana yang lebih utama untuk dipilih?

Ternyata ketika sampai pada pertanyaan seperti itu, para ulama masih berbeda pendapat dan tidak kompak. Masing-masing memilih pilihan yang menurut mereka lebih utama, tetapi ternyata pilihan mereka berbeda-beda.

Lebih Utama Ifrad

Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa yang lebih utama adalah haji dengan cara Ifrad. Pendapat mereka ini juga didukung oleh pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Jabir bin Abdillah ridwanullahialahim ajma’in. Selain itu juga didukung oleh pendapat dari Al-Auza’i dan Abu Tsaur.

Dasarnya menurut mereka antara lain karena Haji Ifrad ini lebih berat untuk dikerjakan, maka jadinya lebih utama. Selain itu dalam pandangan mereka, haji yang Rasulullah SAW kerjakan adalah Haji Ifrad.

Lebih Utama Qiran

Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa yang lebih utama untuk dikerjakan adalah Haji Qiran. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat ulama lainnya seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Muzani dari kalangan ulama Madzhab Syafi’iyah, Ibnul Mundzir, dan juga Abu Ishaq Al-Marwadzi.

Dalil yang mendasari pendapat mereka adalah hadits berikut ini :

أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَال : صَل فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُل : عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ

Telah diutus kepadaku utusan dari Tuhanku pada suatu malam dan utusan itu berkata,”Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan,”Umrah di dalam Haji”. (HR. Bukhari)

Hadits ini menegaskan bahwa awalnya Rasulullah SAW berhaji dengan cara Ifrad, namun setelah turun perintah ini, maka beliau diminta berbalik langkah, untuk menjadi Haji Qiran.

Dan adanya perintah untuk mengubah dari Ifrad menjadi Qiran tentu karena Qiran lebih utama, setidaknya itulah dasar argumen para pendukung pendapat ini.

Lebih Utama Tamattu’

Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa yang paling baik dan paling utama untuk dikerjakan justru Haji Tamattu’. Setelah itu baru Haji Ifrad dan terakhir adalah Haji Qiran.

Di antara para shahabat yang diriwayatkan berpendapat bahwa Haji Tamattu’ lebih utama antara lain adalah Ibnu Umar, Ibnu Al-Abbas, Ibnu Az-Zubair, Aisyah ridhwanullahi’alaihim. Sedangkan dari kalangan para ulama berikutnya antara lain Al-Hasan, ’Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qasim, Salim, dan Ikrimah.

Pendapat ini sesungguhnya adalah satu versi dari dua versi pendapat Madzhab Syafi’i. Artinya, pendapat Madzhab Syafi’i dalam hal ini terpecah, sebagian mendukung Qiran dan sebagian mendukung Tamattu’.

Di antara dasar argumen untuk memilih Haji Tamattu’ lebih utama antara lain karena cara ini yang paling ringan dan memudahkan buat jamaah haji.

Maka timbul pertanyaan yang menarik, kenapa untuk menetapkan mana yang lebih afdhal saja, para ulama masih berbeda pendapat? Apakah tidak ada dalil yang qath’i atau tegas tentang hal ini?

Jawabannya memang perbedaan pendapat itu dipicu oleh karena tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan tentang mana yang lebih utama, baik dalil Quran mau pun dalil Sunnah. Sehingga tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat.

Dan hal itu diperparah lagi dengan kenyataan bahwa tidak ada hadits yang secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berhaji dengan Ifrad, Qiran atau Tamattu’. Kalau pun ada yang bilang bahwa beliau SAW berhaji Ifrad, Qiran atau Tamattu’, sebenarnya bukan berdasarkan teks hadits itu sendiri, melainkan merupakan kesimpulan yang datang dari versi penafsiran masing-masing ulama saja. Dan tentu saja semua kesimpulan itu masih bisa diperdebatkan.

Walhasil, buat kita yang awam, sebenarnya tidak perlu ikut-ikutan perdebatan yang nyaris tidak ada manfaatnya ini, apalagi kalau diiringi dengan sikap yang kurang baik, seperti merendahkan, mencemooh, menghina bahkan saling meledek dengan dasar yang masih merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Sikap yang paling elegan adalah menerima kenyataan bahwa semuanya bisa saja menjadi lebih afdhal bagi masing-masing orang dengan masing-masing keadaan dan kondisi yang boleh jadi tiap orang pasti punya perbedaan.

Sikap saling menghormati dan saling menghagai justru menjadi ciri khas para ulama, meski mereka saling berbeda pandangan. Kalau sesama para ulama masih bisa saling menghargai, kenapa kita yang bukan ulama malah merasa paling pintar untuk sebuah masalah yang memang halal dan diperbolehkan bagi kita berbeda pendapat di dalamnya?


Dari berbagai sumber

Next article Next Post
Previous article Previous Post