Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ182 dilaporkan hilang kontak setelah lepas landas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Pesawat dilaporkan meluncur cepat dari ketinggian 10 ribu kaki hanya dalam waktu puluhan detik.
Informasi proses perjalanan pesawat tersebut diunggah akun twitter resmi Flightradar24, sebuah situs yang memantau semua pergerakan pesawat yang sedanag melakukan penerbangan.
Dalam unggahan di akun Twitternya, pesawat Sriwijaya Air SJ182 dengan rute Jakarta-Pontianak itu hilang kontak setelah 4 menit terbang dari Bandara Soekarno-Hatta.
Masih dari situs tersebut dilaporkan penerbangan Sriwijaya Air itu menggunakan pesawat Boeing 737-500 classic dengan nomor registrasi PK-CLC (MSN 27323). Pesawat itu terbang pertama kali pada Mei 1994.
Juru Bicara Menteri Perhubungan, Adita Irawati, menyebut posisi terakhir pesawat diketahui berada di atas Kepulauan Seribu.
Aditia menambahkan, pada pukul 14.37 WIB, pesawat melewati ketinggian 1.700 kaki dan melakukan kontak dengan Jakarta approach. Saat itulah, seperti disebut Budi, pesawat minta izin menambah ketinggian menuju ketinggian jelajah.
"(Pesawat mengarah) ke barat laut (north west). Karenanya ATC menanyakan untuk melaporkan arah pesawat. (Namun), dalam hitungan detik, pesawat hilang dari layar radar," ungkap Aditia.
Lalu, lanjut Aditia, pada pukul 14.40 WIB, menara pengatur lalu lintas penerbangan (ATC) Jakarta melihat arah penerbangan pesawat bukan 0,75 derajat seperti seharusnya bila menuju Pontianak.
Deputi Bidang Operasi dan Kesiapsiagaan Badan SAR Nasional Mayjen TNI (Mar) Bambang Suryoaji di Kantor Basarnas, menyatakan informasi hilangnya pesawat ini mereka terima pada pukul 14.55 WIB.
Mulai pukul 17.00 WIB, upaya pencarian langsung digelar bersama oleh Basarnas, TNI, Polri, Kementerian Perhubungan, dan masyarakat di lokasi yang diduga sebagai titik terakhir pesawat terpantau radar.
Data FlightRadar24 mendapati pesawat hilang kontak hanya berselang sekitar empat menit sejak lepas landas. Penurunan ketinggian pesawat dari posisi yang sudah di posisi jelajah hingga hilang dari radar terpantau sekitar setengah menit saja.
Serpihan yang diduga bagian dari pesawat ini ditemukan di sekitar perairan Kepulauan Seribu menjelang Maghrib. Sriwijaya Air SJY 182 pun dipastikan jatuh.
Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJY 182 menggunakan pesawat Boeing 737-500. Pesawat teregistrasi dengan kode PK-CLC.
Pesawat ini ditenagai dua mesin CFM56-3C1 besutan CFMI, yaitu perusahaan milik bersama Safran Aircraft Engine dari Prancis dan GE Aviation dari Amerika Serikat.
"Tapi sayapnya sudah ada flip, jadi ini termasuk keluaran akhir dari Boeing 737 seri 500," ujar pemerhati penerbangan, Yayan Mulyana, saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu petang.
Pesawat ini belum masuk keluarga Boeing next generation alias masih dari keluarga Boeing klasik. Namun, kata Yayan, kondisi pesawat masih sangat layak dan dipakai oleh banyak maskapai hingga hari ini.
Seharusnya, pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada pukul 13.25 WIB. Namun, pesawat mengalami penundaan terbang (delay) selama sekitar satu jam dan baru mengudara pada pukul 14.36 WIB dengan pertimbangan cuaca.
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, dalam jumpa pers yang digelar Sabtu selepas Isya, menyebut pesawat mengangkut 43 penumpang dewasa, 7 penumpang anak, 3 penumpang bayi, dan 12 kru.
Pesawat Boeing 737-500 yang digunakan di penerbangan ini diketahui terbang perdana pada 13 Mei 1994, dengan kapasitas maksimal 112 penumpang.
20 detik terakhir
Hingga tulisan ini tayang, dalam semua konferensi pers yang telah digelar tak muncul adanya komunikasi dari pilot ke menara kendali penerbangan (ATC) di Bandara Soekarno Hatta terkait penurunan ketinggian terbang di detik-detik terakhir sebelum hilang dari radar.
Yayan menyebut data ketinggian dan kecepatan pesawat Sriwijaya Air berkode penerbangan SJY 182 yang hilang kontak pada Sabtu (9/1/2021) pukul 14.40 WIB ini cukup janggal.
"Perhatikan di 20 detik terakhir," ujar Yayan yang sudah mencermati teknis penerbangan selama beberapa dekade ini.
Penurunan ketinggian dan kecepatan pesawat hingga hilang kontak sempat melalui fase landai. Lalu, lanjut Yayan, tiba-tiba kecepatan melonjak tinggi saat ketinggian makin rendah.
"Ini langka dan perlu didalami," kata Yayan.
Bila dirinci, dari data di atas yang telah disederhanakan dengan hanya memuat ketinggian dan kecepatan, "keanehan" perilaku pesawat tampak selepas pukul 14:40:05 WIB.
"Ini data bicara sampai satuan detik ya," tegas Yayan.
Pada waktu itu, ketinggian pesawat adalah 10.900 feet, dengan kecepatan 287 knot. Ketinggian dan kecepatan ini sudah dicapai tiga detik sebelumnya.
Buat catatan, karena ada penyebutan satuan berbeda, satu meter setara sekitar tiga feet, sementara satu knot setara dengan sekitar 1,85 kilometer (km) per jam.
Lalu, pada pukul 14:40:09, ketinggian turun ke 10.725 feet tetapi kecepatan masih sama. Penurunan ketinggian berlanjut ke posisi 8.950 feet dan kecepatan mulai turun ke 224 knot, lalu turun lagi ke 8.125 feet dan kecepatan 192 knot.
"Sampai di sini, data masih bisa dibilang bagus," kata Yayan.
Namun, lanjut dia, bagus di sini adalah dalam hal kepatuhan pada regulasi dan pengaturan komposisi antara ketinggian dan kecepatan.
Regulasi penerbangan mengatur ketinggian di bawah 10.000 feet tidak boleh di atas 250 knot. Artinya, ketika ketinggian berkurang dari 10.000 feet, kecepatan pun harus diturunkan.
Namun, Yayan menyebut data menjadi cukup unik ketika ketinggian terus turun sampai 5.400 feet dan kecepatan turun pula hingga 115 feet.
"Ini seperti pesawat kehilangan tenaga. Posisi moncong pesawat turun, karena ketinggian terus berkurang, tapi kecepatan juga terus turun," ungkap Yayan.
Puncaknya, sebut dia, pesawat bisa diduga mengalami stall pada pukul 14.40:27, yaitu ketika ketinggian terpantau radar tinggal 250 meter tetapi kecepatannya melejit hingga ke 359 knot.
"Moncong pesawat diduga ke bawah tapi kecepatannya lalu mendadak bertambah teramat tinggi dan stall, ini langka," ujar Yayan.
Dalam kasus-kasus insiden penerbangan yang melibatkan stall, moncong pesawat mengangkat ke atas bahkan bisa tegak lurus ke atas.
Kejadian terakhir semacam ini antara lain terjadi pada musibah Air Asia QZ 8501 rute Surabaya-Singapura yang jatuh di perairan Selat Karimata beberapa waktu lalu.
Dalam kejadian tersebut, pesawat seketika hilang dari posisi ketinggian terakhir tanpa ada penurunan bertahap setelah stall berkepanjangan, dengan kecepatan terakhir yang lalu seketika nol.
Penyelidikan KNKT atas insiden tersebut mendapati ada komponen sensor yang pemasangannya tak lagi sempurna. Akibatnya, bacaan sensor tak stabil dan mode autopilot meresponsnya dengan mengubah posisi moncong pesawat hingga ke posisi ekstrem.
Meski detail membaca data-data angka ketinggian dan kecepatan itu, Yayan tak mau berspekulasi bahwa posisi moncong sudah pasti ke bawah.
Dugaan bahwa posisi moncong itu mengarah ke bawah, ulang dia, semata dari ketinggian dan kecepatan yang sempat berkurang dengan grafik landai.
"Hanya data FDR (flight data recorder) yang nanti bisa membuktikan yang sebenarnya," ujar dia.
Yayan juga menyebut, ada banyak kemungkinan penebab ketinggian pesawat turun setelah sempat melebihi 10.000 feet itu.
Namun, lagi-lagi menurut dia kepastian hanya bisa didapat setelah FDR dan rekaman percakapan di kokpit pesawat (cockpit voice recorder atau CVR) dibuka oleh Komiten Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT).
Bicara kemungkinan, penyebabnya bisa beraneka ragam. Sejarah mencatat sejumlah insiden dipicu burung masuk ke mesin dan menjadikannya mati.
Ada pula kejadian mesin mati karena masuk ke ketinggian di tengah cuaca tertentu yang membuat es terbentuk di dalamnya.
Namun, Yayan pun memberi catatan bahwa bila persoalan yang terjadi adalah mesin mati maka ada sederet pertanyaan yang muncul lagi. Misal, apakah seketika dua mesin mati atau hanya salah satu?
Katakanlah kedua mesin mati, Boeing 737 klasik pernah mencatatkan sejarah penyelamatan besar ketika pilot Garuda berhasil mendaratkannya di tengah Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah.
Peristiwa tersebut memang melibatkan seri Boeing yang berbeda, yaitu Boeing 737-300, tetapi masih sama-sama dari seri klasik dengan karakteristik tak jauh berbeda.
"Di situ jelas terlihat, kalau mesin mati pun masih ada peluang pilot mengambil opsi gliding (melayang tanpa dorongan mesin)," sebut Yayan.
Terlebih lagi, posisi terakhir ketinggian Sriwijaya Air SJY 182 saat mulai mengurangi ketinggian ada di kisaran 10.000 feet. Menurut dia, dari ketinggian itu berputar balik ke Bandara Soekarno Hatta dalam mode gliding pun masih memungkinkan.
Yayan menyebut besar kemungkinan penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya SJY 182 ini jauh berbeda pula dengan insiden Lion Air JT 610 pada pengujung 2018.
Dalam kejadian yang sampai mengguncang industri penerbangan global itu, penyebab kecelakaan adalah teknologi yang masih baru, asing, dan kurang sosialisasi penggunaan.
Dalam kasus Boeing 737 Max 8—yang tidak hanya terjadi di Indonesia—sematan teknologi baru maneuvering characteristic augmentation system (MCAS) jadi pangkal persoalan utama.
Fitur ini hadir karena Boeing 737 Max 8 punya kapasitas mesin yang melonjak dibanding seri klasik sehingga pengaturan manuver pesawat menjadi lebih kompleks.
Gambarannya, tenaga pesawat yang bertambah besar memberikan kemungkinan pula moncong mendongak laiknya saat hendak lepas landas.
Boeing membuat MCAS sebagai solusi otomatis untuk menurunkan arah moncong pesawat. Sekalipun, pilot sejatinya dapat menangani secara manual kecenderungan moncong mendongak, meski itu lebih banyak makan energi pilot.
Saat sosialisasi dan pelatihan tak mencukupi, MCAS justru jadi bencana. Moncong yang sebenarnya sudah di posisi tepat justru terbaca mendongak oleh MCAS. Karenanya, MCAS merespons dengan upaya otomatis mengarahkan moncong pesawat ke bawah.
Jawaban atas misteri penyebab jatuhnya Boeing 737-500 yang digunakan untuk penerbangan Sriwijaya Air berkode SJY 182 pada Sabtu (9/1/2021) ini tinggal bisa menanti penyidikan KNKT.
"Biasanya (penyidikan KNKT) makan waktu sembilan bulan sampai 1,5 tahun," sebut Yayan.