Kisah Ninuk Perawat Sebelum Wafat karena Corona: Masih Bisa Hidup Nggak Aku Ya?

Kisah Ninuk Perawat Sebelum Wafat karena Corona: Masih Bisa Hidup Nggak Aku Ya?

author photo
Kisah Ninuk Perawat Sebelum Wafat karena Corona: Masih Bisa Hidup Nggak Aku Ya?


Sebelum pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 pertama pada Maret 2020, tenaga medis di sejumlah fasilitas kesehatan menangani pasien seperti biasa, tanpa Alat Pelindung Diri (APD) khusus. Beberapa kemudian terinfeksi dan meninggal dunia.

Salah seorang tenaga medis yang meninggal adalah Ninuk, perawat RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di usianya yang ke-37 tahun.

“Yah, aku positif Covid-19… masih bisa hidup nggak aku ya?” tanya Ninuk kepada suaminya, Arul, di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Dr. Cipto Mangunkusumo pada 10 Maret lalu, sebagaimana dikenang Arul.

Salah seorang tenaga medis yang meninggal adalah Ninuk, perawat RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di usianya yang ke-37.

Kisah Ninuk Perawat Sebelum Wafat karena Corona

Setelah 12 tahun menjadi perawat di rumah sakit itu, tepatnya di ruang ICU, Ninuk terbaring lemah sebagai pasien di RSCM karena penyakit yang dideritanya sejak awal Maret.

Ia mengalami rasa lelah yang amat sangat, demam hingga 39 derajat Celcius, diare, hingga sesak napas. Ninuk akhirnya dirawat di RSCM, setelah sebelumnya dua kali rawat jalan di RS itu.

Pemerintah Indonesia sendiri baru mengungkapkan kasus Covid-19 pertama di Indonesia tanggal 2 Maret.

Di ranjang IGD, tubuh Ninuk tak hentinya berpeluh, sementara hidungnya terus berair. Ia juga mengeluh pinggangnya terasa nyeri.

Suaminya, Arul, menemaninya sambil menyeka keringatnya dan mencoba meredakan nyeri di pinggangnya dengan obat gosok.

“Saya bilang tenang saja. Allah yang memberikan sakit, Allah juga yang menyembuhkan. Saya hanya bisa menyemangati saat itu,” kata Arul, mengenang perbincangannya dengan istrinya.

Menjelang malam, Ninuk semakin kesulitan bernapas hingga ia harus dibantu dengan ventilator.

Kisah Ninuk Perawat Sebelum Wafat karena Corona

“Di ruang isolasi (IGD RSCM), kami panggil petugas medis, perawat, susah. Saya pantau saat almarhum dipasangi ventilator…Saya juga yang nengok-nengok, kadang-kadang (alatnya) eror karena dia gelisah, tercopot alatnya. Saya panggil petugas medis baru dipasang ulang,” ujar Arul.

Keesokan harinya, keluarga dilarang untuk bertemu dengan Ninuk.

Ninuk dibawa pihak RSCM ke RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta. Dia diisolasi di sana hingga akhirnya meninggal dunia (12/03).

Menurut data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ninuk adalah perawat pertama yang tercatat meninggal akibat Covid-19.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengatakan sebanyak 50 tenaga medis di Jakarta, yang terdiri dari dokter dan perawat, telah terinfeksi virus corona.

Sementara, menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), setidaknya lima orang dokter meninggal akibat Covid-19.

Dari mana Ninuk tertular virus?


Sebelum jatuh sakit, selain bekerja di RSCM, Ninuk tengah mengambil kuliah D-4 keperawatan di Jakarta Selatan serta menjalani praktik lapangan di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta Barat.

Ninuk, yang berdomisili di Cikarang, Bekasi, dan beraktivitas dengan kereta commuter line ini, pernah menderita radang paru-paru di masa lalu.

“Kalau saya pribadi (berpikir), mungkin dia (terinfeksi) di RSCM atau RS Grogol,” kata Arul.

Arul mengatakan sepengetahuannya, istrinya tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD) untuk menghadapi pasien yang mungkin mengidap Covid-19 saat bertugas. Apalagi RSCM bukan merupakan rumah sakit rujukan Covid-19.

Istrinya juga tidak tahu menahu apakah ia sedang atau pernah menangani pasien dengan Covid-19, kata Arul.

Jika pemerintah mengetahui adanya kasus Covid-19 lebih cepat, Arul yakin rumah sakit akan lebih sigap menangani penyakit itu.

“Kalau ada informasi, minimal rumah sakit kan pasti tau seperti apa manajemennya,” ujar Arul.

Ninuk sempat dikabarkan terkena virus corona setelah merawat seorang WNA Korea Selatan dengan gejala Covid-19 pada bulan Februari.

Namun, RSCM enggan mengonfirmasi hal itu, meski tidak membantahnya.

“Maaf, kami tidak dapat membahas hal tersebut. Semua kasus disampaikan melalui Jubir Nasional yang ditunjuk presiden. Demikian,” ujar Direktur Utama RSCM Lies Dina Liastuti dalam pesan tertulis.

Sejauh ini, Jubir Nasional yang ditunjuk Presiden Joko Widodo, Achmad Yurianto, tidak membuka keterangan terkait penelusuran (tracing) suatu kasus.

Lies juga tidak mau menjawab tentang apakah WNA Korea Selatan itu betul terinfeksi virus corona.

“Untuk positif dan negatif, data ada di Litbangkes (Kemenkes),” ujarnya.

Menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Dokter Ari Fahrial Syam, petugas kesehatan dapat tertular langsung dari pasien baik di poliklinik maupun di rawat inap.

“Terus terang ini juga sudah saya prediksi, bahwa model penyebaran kontak langsung seperti saat ini membuat petugas kesehatan bisa menjadi korban,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia baru mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia di awal Maret (02/03), meski ada laporan yang mengindikasikan kasus Covid-19 sudah ada di Indonesia sebelum Maret.

Singapura, misalnya, melalui website resmi moh.gov.sg mengungkapkan, beberapa warganya terinfeksi virus corona setelah kunjungan ke Jakarta dari pertengahan Februari hingga awal Maret (kasus 107, 148, 153, 162).

Seorang warga Cianjur, Jawa Barat, meninggal dunia (03/03) karena Covid-19, sebagaimana dikonfirmasi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, meski sebelumnya pemerintah mengatakan warga itu negatif terinfeksi kasus corona.

Salah seorang tenaga medis yang meninggal adalah Ninuk, perawat RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di usianya yang ke-37.

‘Belum terima hasil tes sampai sekarang’


Suami dan dua anak yang ditinggalkan Ninuk, hingga dua pekan setelah dia mengembuskan napas terakhir, belum mendapat kepastian dari Kementerian Kesehatan tentang status kesehatan mereka.

Arul mengatakan, ia dan keluarganya telah menjalani tes swab, yang diminta dinas kesehatan terkait, setelah Ninuk dinyatakan meninggal akibat terkena virus Covid-19.

“Prosesnya kok lama banget? Kami kasihan sama tetangga. Mereka sampai sekarang belum bisa berangkat kerja karena nunggu hasil tes saya,” ujarnya.

Padahal, kebanyakan dari tetangganya, kata Arul, adalah pekerja pabrik.

Kisah Ninuk Perawat Sebelum Wafat karena Corona

Hingga kini, Arul mengatakan dia dan anak-anaknya dalam keadaan sehat, meski kedua anaknya sangat terpukul dengan kepergian Ninuk.

Mereka tidak bisa memasuki ruangan isolasi maupun melihat wajah jenazah ibunya karena perlakuan khusus yang diterapkan pada pasien dengan Covid-19.

Arul hanya bisa memberi mereka pengertian.

“Saya sebagai ayahnya, saya bilang mama itu pahlawan. Mereka bangga punya ibu seperti itu, yang secapek apapun setelah dinas, nggak pernah marah atau menunjukkan dia lelah,” ujarnya.

Menjelang ajal, Arul juga mengingat apa yang disampaikan Ninuk.

“Dia mengatakan ‘saya hidup untuk orang yang saya sayangi dan mati untuk orang yang saya sayangi, termasuk (untuk) profesi saya’,” ujarnya.

‘Perawat yang harus benar-benar pakai APD’


Setelah melonjaknya angka kasus Covid-19 di Indonesia, sejumlah rumah sakit, baik yang rujukan maupun bukan, memperketat pengamanan terhadap tenaga medis dengan pemakaian APD.

Annisa, seorang dokter paru-paru yang bertugas di rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah di Jakarta, mengatakan kini petugas kesehatan diminta memperlakukan seorang suspek sebagai positif Covid-19, sampai terbukti sebaliknya.

Ia menambahkan perawat lah yang paling penting memakai APD.

“Yang harus benar-benar pakai itu ya perawat karena mereka kontak erat (dengan pasien). Mereka yang ambil darah, ganti popok pasien, mereka yang benerin infus. Kalau dokter mungkin sekadar periksa, observasi, tapi kalau perawat itu benar-benar intens dengan pasien, mereka harus pakai,” ujar Annisa.

Meski begitu, kata Annisa, keberadaan APD terbatas, apalagi di rumah sakit swasta, yang bukan rujukan pemerintah.

“Seperti (contohnya), yang dipakai bukan goggle medis… tapi goggle untuk industrial pun kita pakai karena tidak ada yang lain. Sedangkan kita itu shift-nya bisa sampai 8 jam dan APD tidak bisa dilepas karena udah nggak ada lagi (stok APD-nya),” ujar Annisa.

Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, mengatakan hingga 26 Maret masih banyak perawat yang mengeluhkan langkanya APD.

Sebelumnya, tenaga medis di sejumlah daerah, seperti Serang di Banten, dan Surabaya, Jawa Timur, mengenakan jas hujan karena keterbatasan APD.

Dalam pernyataan bersama IDI, PPNI, dan sejumlah organisasi lainnya, mereka mendesak terjaminnya APD bagi para petugas medis karena dalam kondisi wabah, setiap pasien mungkin adalah orang dalam penularan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP).

“Bila hal ini tidak terpenuhi, maka kami meminta kepada anggota profesi kami untuk sementara tidak ikut melakukan perawatan penanganan pasien Covid-19 demi melindungi dan menjaga kesehatan Sejawat,” ujar organisasi itu dalam pernyataan tertulis (27/03).

Apa yang dilakukan pemerintah?


Pemerintah mengklaim telah mendistribusikan 151.000 APD ke seluruh provinsi di Indonesia, termasuk ke wilayah yang kesulitan transportasi seperti di Papua dan Papua barat serta wilayah perbatasan.

“Pertama, APD tersebut akan didorong khususnya kepada daerah-daerah yang memiliki kesulitan transportasi dan di perbatasan,” kata Paban IV/Operasi Dalam Negeri Staf Operasi TNI, Kolonel Aditya Nindra (27/3).

“Dari rumah sakit-rumah sakit yang ada di daerah, bisa berkomunikasi kepada gugus tugas daerah sehingga mereka bisa mendapatkan alokasi dari APD yang sudah didistribusikan itu,” kata Aditya.

Sementara di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan menyediakan Hotel Grand Cempaka untuk ditempati para petugas medis.

Ia mengatakan hal itu dilakukan untuk mengakomodasi tenaga medis yang khawatir pulang ke rumah masing-masing karena takut membawa penyakit.

Anies mengatakan, dalam waktu dekat tiga hotel milik BUMD DKI juga akan segera menyusul, dengan jumlah total 261 kamar tambahan dan 361 tempat tidur.
Next article Next Post
Previous article Previous Post