Muslimah Harus Tahu! Ini Hukum Menyambung Rambut Dalam Islam

Muslimah Harus Tahu! Ini Hukum Menyambung Rambut Dalam Islam

author photo
Assalamualaikum, Sekarang ini marak salon kecantikan yang menyediakan layanan Hair Extension atau menyambung rambut. Saya sempat tertarik ingin coba pasang juga, sebab rambut saya memang agak tipis dan merasa kurang menarik di hadapan suami. Sebagai istri saya juga ingin selalu tampil menarik di depan suami. Lalu bagaimana Hukum Menyambung Rambut Dalam Islam?

Jazakallah Khair.

Muslimah Harus Tahu! Ini Hukum Menyambung Rambut Dalam Islam


Jawaban :

Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh


Saat ini banyak salon kecantikan yang menyediakan layanan Hair Extension, yakni memanjangkan rambut secara instan. Hal ini karena para wanita modern cenderung ingin agar 'mahkota' mereka tampil menarik, terlebih bagi mereka yang kesulitan memanjangkan rambut secara alami, entah karena rambut tipis atau sering rontok. Atau hanya sekedar ingin merubah penampilan.

Secara teknis pemasangan rambut sambung ini cukup mudah. Tinggal pilih rambut seperti apa yang diinginkan, apakah rambut tiruan (hair syntetic) atau rambut asli (human hair), lalu rambut sambungan tadi direkatkan pada rambut asli.

Nah, beda bahan untuk memanjangkan rambut beda pula hukumnya, Berikut kami jelaskan secara mendetail Hukum Menyambung Rambut Dalam Islam beserta dalil-dalilnya.



1. HUKUM MENYAMBUNG RAMBUT DENGAN RAMBUT MANUSIA

Jumhur (mayoritas) ulama Fiqih sepakat bahwa apabila wanita menyambung rambutnya dengan menggunakan rambut asli manusia (human hair), maka hukumnya HARAM. Baik itu rambut manusia yang masih hidup atau yang sudah meninggal.

Pendapat para ulama diatas berdasar pada hadits-hadits berikut:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang meminta agar rambutnya disambung. (HR. Bukhari)

عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ عَامَ حَجَّ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَنَاوَلَ قُصَّةً مِنْ شَعَرٍ وَكَانَتْ فِى يَدَىْ حَرَسِىٍّ فَقَالَ يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذِهِ ، وَيَقُولُ  إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَهَا نِسَاؤُهُم

Dari Humaid bin Abdirrahman, dia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan saat musim haji di atas mimbar lalu mengambil sepotong rambut yang sebelumnya ada di tangan pengawalnya lantas berkata, “Wahai penduduk Madinah di manakah ulama kalian aku mendengar Nabi  SAW bersabda melarang benda semisal ini dan beliau bersabda, ‘Bani Israil binasa hanyalah ketika perempuan-perempuan mereka memakai ini (yaitu menyambung rambut’).- (HR. Bukhari & Muslim).

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَتْ إِنِّى أَنْكَحْتُ ابْنَتِى ثُمَّ أَصَابَهَا شَكْوَى فَتَمَرَّقَ رَأْسُهَا وَزَوْجُهَا يَسْتَحِثُّنِى بِهَا أَفَأَصِلُ رَأْسَهَا ؟ فَسَبَّ رَسُولُ اللَّهِ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

Dari Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahuanha bahwa ada seorang perempuan yang menghadap Rasulullah SAW lalu berkata, “Telah kunikahkan anak gadisku setelah itu dia sakit sehingga semua rambut kepalanya rontok dan suaminya memintaku segera mempertemukannya dengan anak gadisku, apakah aku boleh menyambung rambut kepalanya. Rasulullah lantas melaknat perempuan yang menyambung rambut dan perempuan yang meminta agar rambutnya disambung” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. HUKUM MENYAMBUNG RAMBUT DENGAN RAMBUT TIRUAN (Hair Syntetic)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyambung rambut dengan SELAIN rambut manusia, misalnya: rambut atau bulu hewan, rambut palsu yang dibuat dari plastik atau dari benda lain.

Pertama, Madzhab Hanafi:

Ulama dari madzhab Hanafi membolehkan wanita menyambung rambutnya apabila ia sambung bukanlah rambut manusia. Misalnya apabila ia menyambung rambutnya dengan bulu / rambut hewan, atau rambut dari bahan plastik.

Ulama dari madzhab ini berpendapat bahwa dalil dari nash hanya menyebut pelarangan untuk menyambung dengan rambut manusia saja.

Dasarnya adalah atsar dari Aisyah RA yang menjelaskan detail maksud dari larangan Nabi SAW:

Dari Sa’ad al Iskaf dari Ibnu Syuraih, Aku berkata kepada Aisyah bahwasanya Rasulullah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya. Aisyah lantas berkomentar:

قَالَتْ يَا سُبْحَانَ اللهِ وَمَا بَأْس باِلمَرْأَةِ الزَّعْرَاء أَنْ تَأْخُذَ شَيْئًا مِنَ صُوْفٍ فَتَصِلَ بِهِ شَعْرَهَا تَزَيَّنَ بِهِ عِنْدَ زَوْجِهَا إِنَّمَا لَعَنَ رَسُولُ اللهِ المَرْأَةَ الشَّابَّةَ تَبْغِى فيِ شَيْبَتِهَا حَتىَّ إِذَا هِيَ أَسَنَّتْ وَصَلَتْهَا بِالقِلاَدَةِ

Subhanallah, tidaklah mengapa bagi seorang perempuan yang jarang-jarang rambutnya untuk memanfaatkan bulu domba untuk digunakan sebagai penyambung rambutnya sehingga dia bisa berdandan di hadapan suaminya. Yang dilaknat Rasulullah SAW hanyalah seorang perempuan yang rambutnya sudah dipenuhi uban dan usianya juga sudah lanjut lalu dia sambung rambutnya dengan lilitan (untuk menutupi ubannya)

Riwayat ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam Jami’ al-Ahadits dan beliau komentari sebagai riwayat Ibnu Jarir.

Kedua, Madzhab Maliki:

ulama dari madzhab Maliki berbeda pendapat. Madzhab ini secara mutlak mengharamkan wanita untuk menyambung rambutnya dengan apapun. Baik dengan rambut manusia atau dengan yang lain.

Pendapat ini berdasar pada hadits berikut:

جَاءَ رَجُلٌ بِعَصًا عَلَى رَأْسِهَا خِرْقَةٌ قَالَ مُعَاوِيَةُ أَلاَ وَهَذَا الزُّورُ. قَالَ قَتَادَةُ يَعْنِى مَا يُكَثِّرُ بِهِ النِّسَاءُ أَشْعَارَهُنَّ مِنَ الْخِرَقِ

Dari Qotadah, dari Said bin Musayyib sesungguhnya Muawiyah pada suatu hari berkata, “Sungguh kalian telah mengada-adakan perhiasan yang buruk. Sesungguhnya Nabi kalian melarang perbuatan menipu”. Kemudian datanglah seseorang dengan membawa tongkat. Diujung tongkat tersebut terdapat potongan-potongan kain. Muawiyah lantas berkata, “Ingatlah, ini adalah termasuk tipuan”. Qotadah mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah potongan-potongan kain yang dipergunakan perempuan untuk memperbanyak rambutnya (HR. Muslim).

Ketiga, Madzhab Syafi'i:

Sedangkan ulama dari madzhab syafi'i membedakan hukum menyambung rambut antara wanita yang bersuami dan wanita yang masih lajang. Menurut madzhab ini, wanita lajang yang tidak memiliki suami haram untuk menyambung rambutnya, meski dengan rambut hewan atau yang lain.

Adapun wanita yang bersuami dibolehkan untuk menyambung rambutnya dengan rambut hewan atau rambut palsu, dengan syarat ia diizinkan oleh suaminya. Meskipun sebagian ulama dari madzhab ini tetap mengharamkan.

Madzhab ini membedakan rambut yang disambung antara yang najis dan yang tidak. Apabila rambut hewan atau rambut palsu itu najis maka haram secara mutlak untuk digunakan. Sedangkan bila tidak najis, maka hukumnya dibedakan antara wanita bersuami dan yang tidak, sebagaimana dijelaskan tadi.

Rambut atau bulu yang termasuk najis menurut mazhab ini adalah yang diambil dari bangkai, atau dari hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan ketika terlepas dari tubuh hewan itu saat masih hidup.

PENUTUP

Dari pemaparan di atas kita dapat mengetahui pendapat-pendapat dari ulama mengenai hukum menyambung rambut. Semua ulama Fiqih sepakat bahwa menyambung rambut dengan menggunakan rambut asli manusia (human hair) haram hukumnya, berdasarkan hadits-hadits dari Nabi SAW.

Akan tetap jika rambut yang disambung itu BUKAN terbuat dari rambut asli manusia, para ulama berbeda pendapat: ada yang mengharamkan secara mutlak (Madzhab Maliki) dan ada yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu (Madzhab Hanafi & Syafi'i)

Jika kita mengikuti pendapat dari ulama madzhab Syafi'i dan Hanafi, maka berarti wanita muslimah boleh menyambung rambut dengan syarat-syarat berikut:


  1. Rambut sambungan itu TIDAK terbuat dari rambut manusia, dan juga tidak terbuat dari benda yang najis.
  2. Menyambung rambut itu hanya dengan seizin suami.
  3. Rambut yang sudah disambung dengan rambut tiruan itu tidak boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya, baik terlihat secara langsung ataupun tidak langsung (misalnya dari foto, dll).


Wallahu A'lam Bishshawab.

Baca Juga:





Dijawab Oleh Aini Aryani, Lc.
Next article Next Post
Previous article Previous Post