Akhir Kisah 2 Warga Rebutan Tanah Selebar 33 CM Selama 4 Tahun

Akhir Kisah 2 Warga Rebutan Tanah Selebar 33 CM Selama 4 Tahun

author photo
Akhir Kisah 2 Warga Rebutan Tanah Selebar 33 CM Selama 4 Tahun



Kisah dua orang warga asal Dukuh Kawis Dulang RT 18, Desa Wonokerso, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen yang bersengketa terkait tanah selebar kurang lebih 33 centimeter (cm) akhirnya menemui titik terang. 


Kedua pihak memutuskan berdamai usai petugas dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengukur luas masing-masing tanah pada hari ini, Senin (23/11/2020). 


Ketua RT 18 sekaligus warga yang bersengketa, Suprapto menerima hasil pengukuran yang dilakukan BPN. 


“Kalau sudah ada keputusan yang resmi dari BPN begini kan beres masalahnya,” tuturnya, Selasa (24/11/2020). 


Ia menyatakan, patok yang ada di dekat sebuah bangku dari semen menjadi penanda pemisah tanah milik antara Suparmi dengan Suprapto.


“Jadi kalau ada bangunan sekecil apapun yang di luar batas patok harus dihancurkan,” ungkapnya. 


Setelah masalah ini usai, Suprapto mengajak Suparmi untuk kembali berkumpul bersama warga lainnya. 


Menurutnya, sejak ada sengketa ini, Suparmi tidak bersosialisasi lagi dengan warga. 


“Budaya di desa itu harus sering kumpul bersama, karena kalau ada apa-apa yang menolong juga warga sekitar,” katanya. 


Untuk diketahui, pada Juli 2020 lalu, Suparmi dan Suprato berselisih ihwal batas tanah mereka. 


Suparmi beranggapan bahwa batas rumah milik Suprapto lebih dari 33 sentimeter dari yang seharusnya. 


Bersengketa Sejak 4 Tahun Lalu

 

Idealnya, tetangga saling hidup rukun satu sama lain. 


Namun dua warga Sragen, Suparmi (61) dan Suprapto, tidak demikian. 


Keduanya tinggal bersebelahan rumah, tapi tidak akur lantaran terlibat sengketa tanah. 


Warga Dukuh Kawis Dulang, RT 018, Desa Wonokerso, Kedawung, Sragen itu berselisih tanah selebar 33cm dan sepanjang 100m sampai berlarut larut. 


Puncaknya, Suprapto merusak tembok batas rumah milik Suparmi. 


Bagaimana duduk perkara peristiwa ini sebenarnya?


Dari versi Suparmi, ia menuturkan asal muasal sengketa tanah tersebut terjadi saat anaknya sakit. 


Ia mengaku lupa tahun persisnya. 


Yang jelas, soal sengketa dan tidak akurnya dia dan tetangga sebelah, sudah berlarut selama bertahun-tahun. 


"Awalnya anak saya sakit, butuh biaya operasi, sehingga saya menjual tanah itu," katanya pada Kamis (16/7/2020). 


"Saat disertifikatkan, ternyata sisa luas tanah dan yang ada di sertifikat berbeda," imbuhnya. 


Suparmi yang kekeuh dengan sisa luas tanah yang ia miliki, lalu membangun sebuah tembok sekira di tahun 2000an awal. 


Masalahnya, tembok yang dia bangun melewati ukuran yang digariskan oleh kelurahan. 


"Saya yakin karena saya hafal dan ingat luas tanah saya sebelum saya jual," tegasnya. 


Ia pun memprotes ketidakadilan itu pada kelurahan sejak tahun 2016.


Ia bahkan meminta pihak kelurahan melakukan pengukuran tanah ulang. 


"Saya membayar Rp 400 ribu tapi hasilnya sama, saya masih tidak terima karena saya yakin itu ada sisa lebar 33 cm," terangnya. 


Beberapa perundingan pun dilakukan oleh kedua belah pihak pada tahun 2016 tersebut. 


"Dulu ada perjanjian dengan kepala desa juga, tapi hasilnya tetap nihil, sisa tanah saya tidak kembali," pungkasnya. 


Lantaran tak terima, ia pun membawa ke ranah Dinas Agraria Kabupaten Sragen. 


Tak hanya itu, ia pun membawa pengacara agar sengka tersebut lekas menemui titik temu. 


Hubungan dua tetangga ini pun memburuk. 


Dari semula kehidupan bertetangga yang normal dan baik-baik saja, menjadi tak saling bertegur sapa. 


Bahkan, pada akhir 2018, Suprapto, tetangga sebelah Suparmi, dilaporkan merusak tembok pembatas rumah yang dibangun Suparmi di sisa tanah selebar 33 cm itu. 


"Dilakukan dua kali, pertama yang depan akhir 2018, kedua yang bulan Maret tahun ini," aku Suparmi.


Suparmi pun tak terima dengan kejadian tersebut lalu melaporkan ke pihak Polsek Sragen pada 19 Mei 2020. 


"Katanya saat ini sudah naik ke Polres Sragen dan mau dibawa ke ranah pengadilan," ungkapnya. 


Dalam surat yang tertera, Suprapto dikenakan pasal 406 KUHP dengan pasar pengrusakan. 


Dikonfirmasi terpisah, Lurah Wonokerso, Suparno, membenarkan ada peristiwa ini di daerahnya. 


Ia mengaku sudah mendamaikan, tapi tetap buntu hasilnya. 


Ia juga menyesalkan warganya yang ngotot menempuh jalur hukum. 


"Sebenarnya saya sudah jengah, sebagai lurah tentu saya ada keinginan untuk mendamaikan, karena mereka berselisih sejak lama," 


"Tapi Ibu Parmi tidak mau memilih jalur kekeluargaan," sesalnya. 


"Akhirnya ya saya biarkan, biar diproses Kepolisian saja," ujar Suparno.

Next article Next Post
Previous article Previous Post