Kala Sang Istri Hanya Dianggap Sebagai Gedebog Pisang Dalam Rumah Tangga

Kala Sang Istri Hanya Dianggap Sebagai Gedebog Pisang Dalam Rumah Tangga

author photo
Kala Sang Istri Hanya Dianggap Sebagai Gedebog Pisang Dalam Rumah Tangga


Komunikasi di dalam rumah tangga tak akan berjalan baik jika sejak awal pasangan suami-istri merasa tak nyaman lantaran salah satu pihak tertekan dan ditekan terus dalam berbagai kesempatan.

Baru membuka mulut sedikit di meja makan, pasangan tak memberi kesempatan kepada lawan bicara mengungkapkan isi hati.

Baru berniat menyampaikan isi hati, seolah pasangan sudah mengetahui apa yang hendak diutarakan. Lalu, ia mengomentarinya dengan berbagai "bumbu" sehingga lawan bicaranya merasa kewalahan untuk menjadi pendengar yang baik.

Bisa jadi, kala terjadi demikian, salah satu pihak dari pasangan suami dan istri bagai tengah terpojok di sudut ring. Sementara sang lawan bicara terus menerus menghujani pukulan dari berbagai arah.

Pada momen seperti itu lawan bicara seperti tengah menunggu pukulan mematikan untuk segera KO.

Dalam berumah tangga, bisa jadi sang suami seperti raja. Bicaranya tak boleh dipotong. Sang suami seperti berada di sebuah istana kala berada di rumah. Sepulang dari kantor, ia harus disambut istri.

Padahal istri tengah repot urus anak. Sibuk ini dan itu di dapur. Lebih buruk lagi jika dipandang mata, untuk melepas sepatu pun sang suami minta dicopot oleh istri sendiri.

Wuih. Alasan sang suami, itu sesuai dengan tuntunan agama. Masih ada loh orang kaya' gituan di zaman now! Kala hendak makan, yang menyendok ke atas piring harus istri. Jika tidak, urusan bisa panjang hingga ke kamar dan ke atas kasur.

Tapi jangan dikira, di zaman now masih ada istri tak mau kalah. Terlebih ia punya peran seperti wanita karir. Sama-sama kerja meski tidak satu kantor. Posisinya terbalik, istri cerewet kelewat banget. Apa lagi jika penghasilan istri lebih tinggi.

Sang istri bicaranya nyerocos seperti petasan cabe rawit. Ada yang menyebut istri seperti itu bagaikan radio rusak dengan volume tinggi tapi suaranya melengking diselingi batuk-batuk.

Sulit memang menggambarkan wanita seperti ini. Yang jelas, terasa bikin kepala pusing.

**

Komunikasi dalam rumah tangga tak semudah seperti membalikan telapan tangan. Suami salah ucap bicara di hadapan istri dapat berurusan panjang.

Terlebih jika hal itu menyangkut mitra kerja yang kebetulan wanita di kantor. Keadaan tambah repot kalau istri punya kelakuan cemburuan.

Hal ini tak saja terjadi pada pasangan usia muda. Pada pasangan suami-istri yang sudah menjalani rumah tangga di atas 10 tahun pun bisa terjadi. Apakah keluarga itu dari sisi ekonomi sudah mapan, salah satunya sudah menjadi pejabat.

Pokoknya, urusan rumah tangga bisa tidak stabil dapat berdampak luas pada urusan pekerjaan di kantor. Bagi kalangan pedagang, juga sama saja.

Mau bercerita tentang dia dalam menyelesaikan pekerjaan, bisa disikapi beragam, salah satunya, sang istri merasa dibandingkan dengan si dia. Bisa ditebak arahnya, si dia dianggap lebih cantik. Repot, kan? Padahal tak bermaksud demikian.

Dalam berumah tangga, baik dan buruk patut diceritakan kepada istri atau kepada suami tanpa diembel-embeli perasaan begini dan begitu. Pokoknya, apa adanya disampaikan agar jika ada persoalan istri dapat memberi solusinya. Bukan membikin runyem. Idealnya, siapa pun dia, entah suami atau istri, patut menjadi pendengar yang baik.

Penulis punya pengalaman terkait lemahnya komunikasi pasangan suami-istri yang berujung pada perceraian. Kita tahu di Tanah Air kasus perceraian lebih banyak diajukan pihak istri. Bukan suami menceraikan istri. Namun ada pula suami berlaku semena-mena, menceraikan istri dengan mengirim SMS seperti yang dilakukan seorang pejabat di Jawa Barat tempo lalu.

Sebelum itu ada baiknya kita tengok data yang dikutip detikcom dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019). Tercatat sebanyak sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak wanita yaitu 307.778 wanita. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Data tersebut merupakan angka perceraian yang dilakukan atas dasar pernikahan pasangan muslim. Belum termasuk pasangan nonmuslim, yang melakukan perceraian di pengadilan umum.

Perceraian sesungguhnya sangat menyakitkan. Sebab, kita pun tahu bahwa pernikahan merupakan ikatan yang sakral. Sayangnya tak semua insan yang sudah menjalin cinta dalam ikatan tak mampu mempertahankannya. Sedih, kan? Sayangnya, ada kalangan yang menghadapi kasus perceraian mengumbar rasa gembiranya.

**

Penyebab perceraian beragam. Bisa faktor ekonomi, tak saling mempercayai hingga kesenjangan penghasilan di antara pasangan.

Bahkan kadang beda pilihan politik pun bisa berujung pada perceraian. Yang terakhir ini masih terasa, jika sang suami membicarakan sukses Presiden Joko Widodo akan disambut nada minor oleh istri.

Begitu sebaliknya, kala ucapan pendukung Prabowo mengemuka di media massa dengan cepat dikomentari dengan nada miring.

Tapi, kita bersyukur, pasangan itu masih tetap bertahan dengan segala dinamika warnanya.

Nah, namun yang ini beda banget. Istri dipandang sebagai gedebog alias batang pohon pisang. Di pihak lain, suami lebih banyak mengambil sikap kalem dengan masa bodo apa yang terjadi dengan anak-anak di rumah.

Sang suami ingin diperlakukan seperti juga anak-anaknya. Tak mau ngalah. Makan harus disediakan dan dilayani. Padahal sang istri selain harus bekerja mencari nafkah, juga harus merawat tiga anak kecil.

Sang suami, ketika tiba di rumah usai urusan kantornya, lebih suka pekerjaan dirinya sendiri. Sementara anak-anaknya tak pernah diajak komunikasi. Apa lagi dengan sang istri.

Komunikasi antara suami dan istri baru terwujud, hadir, kala keduanya berada di dalam kamar. Pembicaraannya pun seputar kebutuhan biologis. Lain dari itu, seperti membicarakan kebutuhan anak-anak, keuangan dan lainnya, tidak ada.

Kesal diperlakukan demikian terus menerus, muaranya sang suami digugat cerai. Penulis yang menyaksikan proses perceraian di pengadilan merasa sedih. Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, perkawinan pun bubar dengan membawa luka dan penderitaan pada anak-anaknya yang bekepanjangan.

Sungguh, ternyata dari sisi kesejahteraan dan tingkat pendidikan tinggi tak menjamin rumah tangga dapat langgeng.

Nah, karena itu, bagi yang hendak membangun rumah tangga, penting diyakini bahwa rumah tangga yang sakinah mawadah dan warohmah tak turun dari langit begitu saja. Ia perlu diperjuangkan.

Caranya bagaimana?

Salah satunya selain membangun pengertian satu sama lain di antara suami dan istri, juga perlu keterbukaan. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing sangat penting.

Jadi, perlu ditekankan sekali lagi, membangun Komunikasi Rumah Tangga itu sangat penting. Sesulit apa pun harus terus menerus dibangun. Jangan lupa, doa harus terus menerus dipanjatkan baik ketika dalam keadaan sedih maupun gembira sepanjang perjalanan hidup.

Salam berbagi.
Next article Next Post
Previous article Previous Post