300 Polisi Positif Setelah Dicek, Kapusdokkes: Ternyata Alatnya Tak Akurat

300 Polisi Positif Setelah Dicek, Kapusdokkes: Ternyata Alatnya Tak Akurat

author photo
300 Polisi Positif Setelah Dicek, Kapusdokkes: Ternyata Alatnya Tak Akurat


Sebanyak 300 siswa Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa) Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri dinyatakan positif setelah menjalani rapid test. Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Kapusdokkes) Polri Brigadir Jenderal Musyafak menceritakan, ratusan siswa itu positif setelah tujuh orang sebelumnya mengalami gejala mirip corona.

"Batuk, pilek, demam. Lalu positif dan sekarang dirawat di Rumah Sakit Polri. Nah karena tujuh sebelumnya itu positif, kami lakukan rapid test terhadap 1.550 siswa lainnya," ucap Musyafak saat dikonfirmasi pada Rabu, 1 April 2020.

Dari ribuan siswa itu, 300 kemudian dinyatakan positif. Namun, Musyafak menegaskan, bahwa mereka hanya positif dari hasil rapid test.

"Bukan Covid-19. Ini harus diluruskan," ucap dia.

Apalagi, kata dia, rapid test itu hanya memeriksa antibodi saja, bukan memeriksa virus corona. Alhasil, ratusan siswa itu kini tengah dirawat dengan penanganan terhadap orang dalam pengawasan (ODP).

"Mereka diisolasi, di asrama khusus. Satu orang satu ruangan. Saya kasih vitamin C, imboost, dan lainnya dengan harapan 300 orang ini ada peningkatan imunitas," kata Musyafak.

Selain itu, 300 siswa ini juga sudah dilakukan tes rontgen. Beruntung, kata Musyafak, tidak ada siswa yang ditemukan mengalami gangguan pernafasan.

"Jadi kondisi mereka sehat, tidak ada gejala," ucap Musyafak. Sementara untuk siswa lainnya sudah dipulangkan ke daerah masing-masing.

Jubir Corona, Achmad Yurianto, juga menegaskan bahwa rapid test bukan untuk penegakan diagnosis, sehingga hasilnya tetap harus dikonfirmasi dengan RT PCR (real time polymerase chain reaction).

Jika hasil rapid test yang dilakukan dengan pengambilan tes darah menunjukkan dugaan positif, pasien akan menjalani RT PCR dengan swab atau usapan lendir hidung dan tenggorokan untuk mendeteksi keberadaan virus yang sesungguhnya.

Perlu diketahui bahwa pemeriksaan dengan rapid test memiliki kelemahan karena tes bisa memberikan hasil 'false negative' yakni tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi bila tes dilakukan pada fase yang tidak tepat.

Selain itu dalam jurnal berjudul 'Antibody Responses to SARS-COV-2 in patients of novel coronavirus disease 2019', Ahmad Rusdan Handoyo Utomo PhD, Principal Investigator, Stem-cell and Cancer Research Institute. mengatakan sensitivitas rapid test serologi sekitar 36 persen dari 100 kasus COVID-19.

Baca Juga: Profesor Unair: Alat Rapid Test Corona Yang Diimpor Indonesia Keliru

"Sensitivitas tes serologi itu sekitar 36 persen, kalau tidak salah. Jadi dari 100 kasus yang terkonfirmasi COVID-19 dia bisa mendeteksi sekitar 30. Jadi itu harus hati-hati," jelasnya.

Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mengimpor alat uji cepat virus Corona atau rapid test kid Covid-19. PT RNI (Persero) telah mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan untuk mengimpor 500 ribu unit alat yang akan digunakan untuk menggelar rapid test corona massal.

Pemerintah pun akan segara melakukan pemeriksaan massal terhadap 700.000 orang yang berisiko terjangkit virus corona. Pemeriksaan akan dilakukan dengan mengambil darah pasien sebagai sampel.

Pemerintah menyediakan 1 juta kit untuk memeriksa pasien secara massal. Langkah ini dilakukan melalui analisa risiko, sehingga hanya masyarakat berisiko tinggi yang akan diperiksa. Masyarakat juga akan dilihat aktivitas selama 14 hari terakhir untuk diketahui tingkatan risikonya.

“Apabila dia berada di rumah maka seluruh rumah akan diperiksa. Apabila dia pernah melakukan aktivitas di kantor maka orang di kantor, di ruang kerja itu akan kita periksa. Ini adalah langkah penjajakan awal di dalam kaitan dengan pemeriksaan massal,” kata Yuri di Graha BNPB, Jakarta, Jumat 20 Maret 2020.

Yuri mengatakan saat ini pihaknya telah menyebar 125 ribu kit untuk pemerikasaan cepat di 34 Provonsi

"Kita sudah mendistribusikan 125 ribu kit untuk pemeriksaan cepat yang didistribusikan di 34 provinsi. Nanti pemerintah provinsi yang bisa menentukan untuk kontak tracing dan petugas kesehatan yang kontak langsung. Kemudian kalau sudah lebih banyak bisa berbasis ke daerah," katanya.

Bahaya Rapid Test: Bisa Negatif Palsu


Sementara itu, Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Erlina Burhan mengkritik impor satu juta alat tes cepat (rapid test) corona yang dilakukan pemerintah.

Menurut Erlina, sekali pun disebut tes cepat, tidak semua orang bisa begitu saja diuji mengidap virus yang berasal dari Wuhan, China itu.

"Kalau saya boleh saran, ini kan (alat rapid test) sudah kadung dibeli, ke depan jangan," ujar Erlina dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne, Jakarta, Selasa (24/3/2020).

Erlina menyampaikan, rapid test hanya bisa digunakan mendiagnosa keberadaan corona jika ada antibodi yang terbentuk saat seseorang menunjukkan gejala. Dengan demikian, persepsi publik bahwa tes besar-besaran harus dilakukan untuk menghambat penyebaran corona, adalah salah.

"Kalau seseorang dalam masa inkubasi, kemudian diperiksa rapid test serologi belum terdeteksi, nanti jadi seolah-olah negatif, ini disebut negatif palsu," ujar Erlina.
Erlina mengemukakan, salah diagnosa akan berakibat fatal di masyarakat. Karena tidak merasa mengidap virus, masyarakat bisa saja kembali beraktivitas normal, kemudian malah menjadi penyebar virus.

"Nanti masyarakat kadung bahagia, gembira, bahwa dia negatif, lalu bikin lagi keramaian, bikin pesta lagi, jalan-jalan lagi, padahal mungkin dalam masa inkubasi. Nanti suatu ketika bergejala, menularkan kepada yang lain," ujar Erlina.

Erlina menyarankan, pemerintah lebih baik melakukan pengadaan besar alat polymerase chain reaction (PCR) untuk digunakan di rumah sakit atau laboratorium kesehatan. Hal itu akan membuat lebih banyak fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan melakukan tes akurat corona lebih banyak lagi daripada saat ini.

"Saya juga tidak setuju tadi dikatakan seluruh masyarakat Indonesia akan dites (dengan menggunakan rapid test). Tidak bisa. Hanya yang bergejala saja yang bisa dites," ujar Erlina.
Next article Next Post
Previous article Previous Post