Curhat Tukang Becak, Kami Bukan Mati Karena Corona, Tapi Mati Kelaparan

Curhat Tukang Becak, Kami Bukan Mati Karena Corona, Tapi Mati Kelaparan

author photo
Curhat Tukang Becak, Kami Bukan Mati Karena Corona, Tapi Mati Kelaparan


"Kalau begini terus, kami bukan mati karena corona, tapi mati karena kelaparan,"

Begitu suara hati Herman (63) seorang tukang becak di kawasan Taman Topi, Kota Bogor yang dua hari ini pulang ke rumah tanpa membawa uang.

Adanya imbauan untuk mengurangi aktivitas di luar rumah demi antisipasi virus corona membuat penghasilan tukang becak berkurang drastis.

Tak hanya Herman, ia dan kawan-kawan hanya duduk diam melamun, berharap masih ada beberapa orang yang datang menggunakan jasanya hanya sekadar untuk mendapat uang makan.

Herman misalnya, sudah sejak pukul 05.30 WIB mangkal di Taman Topi, namun hingga sore belum juga mendapat penumpang.

Sambil menunggu penumpang di dalam becaknya, Herman biasanya mendengarkan radio menggunakan handphone jadul, mendapatkan berita baru soal pandemi corona.

Sambil berharap-harap cemas kapan musibah ini akan berakhir supaya ia bisa kembali banyak mendapat penumpang seperti sedia kala.

"Biasanya sehari bisa dapat Rp 100 ribu, sekarang dapat Rp 10 ribu saja bersyukur," ungkap Herman, Minggu (29/3/2020).

Kejadian ini sering ia dapatkan semenjak pemerintah menerapkan WFH.

Tak banyak warga yang keluar dari rumah, berimbas pada pendapatan Herman dan kawan-kawan.

Alhasil, sehari pun ia mangkal, tak membawa uang sama sekali untuk anak dan istri di rumah.

"Kami masih bisa nahan makan, tapi enggak tega enggak kasih anak uang jajan," ucap Herman.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap hari, ia mengandalkan barang-barang di rumahnya untuk dijual.

Uang hasil penjualan tersebut, ia gunakan untuk makan seadanya.

"Udah kejual galon sama kompor. Belum aja baju-baju kita jual untuk makan," kata dia yang sudah 5 tahun menjadi tukang becak di Taman Topi.

Herman yang masih menghidupi istri dan anak bungsunya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD itu mengaku ikut prihatin dengan kondisi dunia akibat pandemi corona ini.

Namun ia tak memungkiri imbas dari keputusan pemerintah untuk isolasi diri di rumah cukup membuat ia dan rekan seprofesinya terpuruk.

"Jarang banget pulang bawa uang. Sekali dapat uang Rp 10 ribu. Biasanya saya belikan nasi untuk dimakan berdua istri dan anak. Ngopi aja saya ngutang, untung orangnya ngerti," jelas Herman.

Sebetulnya, ia mendukung pemerintah apabila harus diberlakukan karantina wilayah atau isolasi di rumah.

Ia percaya apa yang dilakukan pemerintah adalah sebuah usaha untuk mengembalikan Indonesia kembali seperti sebelum wabah ini muncul.

Namun ia berharap pemerintah menengok ke masyarakat kelas bawah yang pendapatan hari ini digunakan untuk makan hari ini.

"Kalau mau lockdown, lockdown saja lah tidak apa. Tapi pikirkan juga nasib kami gimana. Tidak dapat penghasilan, berarti kami tidak makan," ujarnya.

Herman mengaku saat ini hanya memasrahkan hidupnya pada Tuhan, meski ancaman virus corona berada di mana-mana.

Pasalnya, jika ia tidak keluar satu hari saja untuk berusaha mencari penumpang, ia tak bisa memberi keluarganya nafkah.

"Gimana ya, kalau begini terus, kami bukan mati karena virus corona, tapi mati karena kelaparan," ucap dia.
Next article Next Post
Previous article Previous Post