Suamiku, Jangan Sakiti Aku dengan Marahmu!

Suamiku, Jangan Sakiti Aku dengan Marahmu!

Suamiku, Jangan Sakiti Aku dengan Marahmu!


Semua orang pasti pernah marah. Karena marah merupakan sifat alamiah yang dimiliki oleh semua manusia. Bohong besar jika ada orang di dunia ini yang mengklaim dirinya tak pernah marah.

Secara kodrati, diciptakannya manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan orang lain, sangat memungkinkan sekali terjadinya perbedaan opini dan watak yang bisa memicu kejengkelan dan kemarahan. Hal ini sangat wajar. Apalagi dalam kehidupan rumah tangga, perselisihan suami-istri seringkali tak bisa dihindari.

Lebih Dahsyat Bila Suami yang Marah 

Dalam hubungan suami-istri, kemarahan suami acapkali lebih dahsyat efeknya bagi kehidupan rumah tangga. Dan tak sedikit gejolak emosi seorang suami yang akhirnya membuahkan kekerasan fisik yang meretakkan ketenteraman hati semua anggota keluarga. Hati istri pun tersayat tatkala bentakan dan kemarahan suami menjadi ‘menu harian’ yang disuguhkan suaminya kepadanya. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda :


لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ




“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat. Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari)

Suami atau istri harus bisa mengendalikan amarahnya, agar ketenteraman keluarga tetap terjaga.

Umar bin Khaththab pernah berkata di dalam khutbahnya, “Orang yang beruntung di antara kalian adalah orang yang terjaga dari ketamakan, hawa nafsu, dan amarah.”

Bagaimana bila ia terlanjur marah? Hendaklah ia segera sadar, dan berusaha mengekang dirinya agar kemarahannya tidak terus berkelanjutan. Segera minta maaf merupakan langkah tepat untuk meredam suasana, agar kemarahan tidak berbuntut dengan sederet efek negatif yang mengancam keutuhan keluarga.

Bila suami yang khilaf terbelenggu oleh nafsu amarah, segeralah meminta maaf kepada istri. Istri juga harus lapang dada untuk memaafkan sang suami. Semoga amarah yang disesali dan dimintakan maaf akan menjadi pembersih dosa orang yang dimarahinya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah manusia biasa. Oleh karena itu, siapa pun kaum muslimin yang telah aku maki, aku laknat, atau aku cambuk, jadikanlah hal itu sebagai penyucian dan rahmat baginya.” (HR. Muslim)

Kita semua berharap, bila suatu ketika kita khilaf dan terlanjur marah, semoga kemarahan kita menjadi rahmat bagi orang lain. Yakni saat kita segera sadar, menyesal dan meminta maaf dengan kekhilafan kita. Namun, tak dipungkiri bahwa menahan amarah tatkala emosi kita mulai meninggi merupakan perkara yang lebih mulia.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menahan amarah sedang ia mampu melakukannya, Allah akan memanggilnya di hadapan makhluk-Nya hingga membuatnya memilih bidadari mana saja yang dikehendakinya untuk dinikahinya.” (Shahihul Jami’, no. 3518)

Marah yang Berkualitas

Marah sering diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, marah yang terpuji, yakni bila dilakukan dalam rangka membela diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang dizhalimi. Kedua, marah yang tercela, yakni marah sebagai tindakan balas dendam demi dirinya sendiri.

Dalam kehidupan keluarga, seorang istri akan bisa lebih ridha menerima kemarahan suami, bila suaminya marah dengan landasan keagamaan yang kental. Suami marah karena ingin membela prinsip agama yang mungkin dilalaikan oleh istrinya. Inilah marah yang berbobot, marah yang berkualitas. Suami marah tidak semata karena perkara-perkara yang bersifat keduniaan, atau hal-hal remeh yang tidak memiliki kaitan dengan dien. Suami marah karena didasari alasan yang bersifat syar’i, walaupun itu harus tetap dalam batas kewajaran dan tidak berlebihan. Marah seperti inilah yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hidupnya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud a bahwa ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melewati sebuah sarang semut yang telah dibakar. Nabi lalu marah dan bersabda, ‘Sesungguhnya tidak patut bagi manusia untuk menyiksa dengan siksaan Allah’.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Seorang perempuan Anshar menceritakan, “Aku pernah bertamu ke rumah Ummu Salamah. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang kepadanya dalam keadaan seakan-akan marah. Melihat hal itu, aku pun bersembunyi di balik perisai. Beliau lalu berbicara (kepada Ummu Salamah) dengan pembahasan yang tidak aku pahami. Setelah itu, aku lalu bertanya, ‘Wahai Ummul Mukminin, seakan-akan aku melihat Rasulullah marah?’ Ia menjawab, ‘Ya, tidakkah kamu tadi mendengarnya?’ Aku balik bertanya, ‘Apa yang beliau sabdakan?’ Ia menjawab, ‘Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya jika kejahatan sudah menyebar di muka bumi dan tidak ada yang mencegahnya, maka Allah akan menurunkan siksa-Nya terhadap penduduk bumi.’ Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bukankah di dalamnya banyak orang-orang shalih?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Di dalamnya banyak orang-orang shalih, tetapi mereka akan ikut terkena bencana sebagaimana orang lain. Kemudian Allah akan mematikan mereka dan mengembalikan mereka kepada maghfirah dan rahmat-Nya’.” (HR. Ahmad)

Abdurrahman bin Al-Qasim meriwayatkan dari ayahnya (Abu Bakar Ash-Shiddiq) bahwa ia mendengar Aisyah x berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masuk ke rumahku dan aku telah menutupi kamarku dengan kain penutup tipis yang ada gambar-gambarnya (gambar makhluk bernyawa). Begitu melihatnya, beliau lalu merusak gambar-gambar itu dan wajah beliau pun langsung berubah warna (karena marah). Beliau kemudian bersabda, ‘Wahai Aisyah, orang yang paling dahsyat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang meniru ciptaan Allah’. Aisyah berkata, ‘Kami lalu memotong kain penutup itu dan menjadikannya satu atau dua bantal’.” (HR. Bukhari dan Muslim)


***

Jika hanya karena urusan sepele, seperti masakan yang kurang asin, rumah yang kurang rapi dan lain sebagainya, sang suami cepat sekali naik pitam dan bersikap kasar kepada istri, tentu hal ini akan sangat menyakitkan hati sang istri.

Namun, jika kemarahan suami dilandasi alasan syar’i, tentu para istri akan lebih bisa berlapang hati. Semoga marah seperti ini yang akan mendatangkan rahmat Ilahi. Dengan syarat, asalkan masih dalam batas kewajaran, tidak berlebihan, dan tidak terus-terusan. Walau diakui juga, bahwa menahan amarah itu jauh lebih mulia dan lebih menenteramkan jiwa. Wallahu a’lam bish shawab.
Next article Next Post
Previous article Previous Post