Ada beberapa ayat dalam kitab suci Al Qur'an yang menjelaskan tentang percakapan antara penduduk surga dengan penduduk neraka,
Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka: “Sesungguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami menjanjikannya kepada kami. Maka apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?” Mereka (penduduk neraka) menjawab: “Betul”. Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: “Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim (al A’raf: 44)
Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah dikaruniakan Allah padamu”. Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir (Al A’raf: 50)
kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat” (al Mudatsir: 39-43)
Mungkin akan timbul beberapa pertanyaan dalam pikiran kita: “Apakah penduduk surga tidak merasa sedih melihat penduduk neraka di siksa? Apalagi kalau yang mereka lihat itu adalah orang yang pernah mereka kenal di dunia, bahkan orang terdekat mereka, seperti anak, istri, ibu, ayah atau saudara mereka sendiri.
Apakah Nabi Nuh tidak merasa sedih ketika melihat anak dan istrinya di neraka? Apakah saudara-saudara Kan’an tidak sedih melihat ia disiksa? Apakah Nabi Ibrahim tidak merana melihat ayahnya di Jahanam? Apakah Nabi Muhammad tidak menangis melihat paman kesayangannya memakai sandal api?
Jawabannya mungkin bisa kita dapatkan: bahwa sunnatullah ketika di surga sudah berbeda. Di saat itu penduduk surga hatinya betul-betul sudah bening, sesuai fitrah yang diciptakan Allah. Tidak ada noda sedikitpun.
Oleh karena itu wala’ dan bara’ (loyalitas dan anti/berlepas diri) mereka murni hanya untuk Allah saja. Hingga rasa cinta dan benci mereka sangat sesuai dengan keinginan Allah, tanpa cacat sedikitpun.
Mereka akan mencintai orang yang dicintai Allah, sekalipun orang itu musuh dan orang yang paling ia benci ketika di dunia. Begitu juga, mereka akan tidak suka kepada orang yang tidak disukai Allah, sekalipun dia adalah orang yang paling ia cintai ketika hidup di dunia.
Loyalitas dan cinta mereka benar-benar sesuai dengan yang diinginkan Allah, tanpa dikotori hawa nafsu dan angkara murka walaupun secuil.
Oleh karena itu.. penduduk neraka jangan sekali-kali menaruh harapan sedikitpun kepada penduduk surga, sekalipun mereka adalah keluarga yang sangat mereka cintai. Karena itu harapan tinggal harapan yang tidak akan pernah terpenuhi seperti di dunia.
Hamba-hamba Allah yang betul-betul bertakwa pada Allah akan mampu melakukan hal seperti itu di dunia sebelum di akhirat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Abu Ubaidah al Jarrah yang membunuh ayah kandungnya di perang Uhud. Begitu juga Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul yang siap memenggal kepala ayahnya, gembong munafik, jika diizinkan Rasulullah. Seperti Mus’ab bin Umair yang membunuh saudara kandungnya ‘Ubaid bin ‘Umair pada perang Uhud. Dan banyak amsal lainnya.
Ya Allah, selamatkan kami dan seluruh orang yang kami cintai dari api nerakaMu.. Amiin
Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka: “Sesungguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami menjanjikannya kepada kami. Maka apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?” Mereka (penduduk neraka) menjawab: “Betul”. Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: “Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim (al A’raf: 44)
Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah dikaruniakan Allah padamu”. Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir (Al A’raf: 50)
kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat” (al Mudatsir: 39-43)
Mungkin akan timbul beberapa pertanyaan dalam pikiran kita: “Apakah penduduk surga tidak merasa sedih melihat penduduk neraka di siksa? Apalagi kalau yang mereka lihat itu adalah orang yang pernah mereka kenal di dunia, bahkan orang terdekat mereka, seperti anak, istri, ibu, ayah atau saudara mereka sendiri.
Apakah Nabi Nuh tidak merasa sedih ketika melihat anak dan istrinya di neraka? Apakah saudara-saudara Kan’an tidak sedih melihat ia disiksa? Apakah Nabi Ibrahim tidak merana melihat ayahnya di Jahanam? Apakah Nabi Muhammad tidak menangis melihat paman kesayangannya memakai sandal api?
Jawabannya mungkin bisa kita dapatkan: bahwa sunnatullah ketika di surga sudah berbeda. Di saat itu penduduk surga hatinya betul-betul sudah bening, sesuai fitrah yang diciptakan Allah. Tidak ada noda sedikitpun.
Oleh karena itu wala’ dan bara’ (loyalitas dan anti/berlepas diri) mereka murni hanya untuk Allah saja. Hingga rasa cinta dan benci mereka sangat sesuai dengan keinginan Allah, tanpa cacat sedikitpun.
Mereka akan mencintai orang yang dicintai Allah, sekalipun orang itu musuh dan orang yang paling ia benci ketika di dunia. Begitu juga, mereka akan tidak suka kepada orang yang tidak disukai Allah, sekalipun dia adalah orang yang paling ia cintai ketika hidup di dunia.
Loyalitas dan cinta mereka benar-benar sesuai dengan yang diinginkan Allah, tanpa dikotori hawa nafsu dan angkara murka walaupun secuil.
Oleh karena itu.. penduduk neraka jangan sekali-kali menaruh harapan sedikitpun kepada penduduk surga, sekalipun mereka adalah keluarga yang sangat mereka cintai. Karena itu harapan tinggal harapan yang tidak akan pernah terpenuhi seperti di dunia.
Hamba-hamba Allah yang betul-betul bertakwa pada Allah akan mampu melakukan hal seperti itu di dunia sebelum di akhirat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Abu Ubaidah al Jarrah yang membunuh ayah kandungnya di perang Uhud. Begitu juga Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul yang siap memenggal kepala ayahnya, gembong munafik, jika diizinkan Rasulullah. Seperti Mus’ab bin Umair yang membunuh saudara kandungnya ‘Ubaid bin ‘Umair pada perang Uhud. Dan banyak amsal lainnya.
Ya Allah, selamatkan kami dan seluruh orang yang kami cintai dari api nerakaMu.. Amiin