Menyingkap Makna Dan Hakikat Haji

Menyingkap Makna Dan Hakikat Haji

Adalah Ali Syari'ati, salah seorang pemikir kontemporer Islam, dalam bukunya "Haji", telah mengulas secara mendalam mengenai makna ritualitas ibadah haji. Tulisan berikut ini ingin mengemukakan percikan pemikirannya mengenai makna ritualitas haji.

Menurut Ali Syari'ati, pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, keakuan, dan keegoisan. Pakaian telah memecah belah anak-anak keturunan Adam, karena itu, kata Ali Syari'ati, pakaian model ibadah ihram bukanlah penghinaan tetapi penggambaran kualitas manusia di hadapan Tuhan. Pakaian ihrom telah menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena kelas, status, kedudukan, dan ras.

Thowaf merupakan kegiatan ibadah mengelilingi Kabah. Di hadapan Ka'bah yang berbentuk kubus ini, kata Ali Syari'ati, para pelaku thowaf akan merenungkan keunikan Ka'bah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan kemutlakan Tuhan; suatu sifat Tuhan yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam (Q. S. 106: 21). Dengan thowaf, umat manusia dididik aktif bergaul menjaring komunikasi dengan Tuhan dan antar manusia (Q. S. 112: 2).

Haji
Jamaah Haji Sedang Berthowaf


Berbicara mengenai Sa'i, Ali Syari'ati melambangkan sa'i dengan kegigihan dan keperkasaan manusia dalam menempuh perjuangan hidup. Sai yang merupakan rekonstruksi peristiwa Siti Hajar mencari air Zamzam dari Bukit Shafa menuju Marwa, merupakan lambang figur manusia yang berjuang dari niat yang tulus (shafa), tanpa patah semangat mencapai tujuan (marwa).

Selanjutnya, setiap calon haji diharuskan untuk  berwuquf di Arofah. Arofah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini manusia singgah sebentar (wukuf). Lalu bermalam (mabit) di Muzdalifah dan tinggal di Mina. Arafah berarti pengetahuan dan Mina artinya cinta. Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabit.

Wukuf dilakukan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Siang, demikian Syari'ati, melambangkan sebuah hubungan objektif ide-ide dengan fakta yang ada, sedangkan malam melambangkan tahap kesadaran diri dengan lebih banyak melakukan konsentrasi di keheningan malam. Kemudian di Mina, jamaah melempar Jumrah. Ini merupakan lambang perlawanan manusia melawan penindasan dan kebiadaban. Demikianlah makna ritualitas haji yang penuh dengan simbol kejuangan hidup manusia.

Dalam suatu hadits Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang pergi haji dan dia tidak mengeluarkan kata-kata keji serta tidak melakukan perbuatan dosa, maka akan diampunkan dosa-dosanya seperti dia baru dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah dan at-Tirmizi daripada Abu Hurairah).

Selain daripada hadits diatas, doa orang yang melaksanakan ibadah haji dapat mengampunkan dosa orang yang didoakannya. Artinya, haji itu menjadi alat untuk mengampunkan dosa dan mengampunkan dosa orang lain. Hal ini dinyatakan langsung oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Dosa orang yang menunaikan ibadah haji diampunkan Allah, dan Allah juga mengampunkan orang yang didoakan oleh orang yang menunaikan ibadah haji.” (HR. Tabrani dan Hakim).

Pada hakikatnya, haji adalah proses evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukan tentang ‘penciptaan’, ‘sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.

Haji  merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.

Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk hidup dan berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.

Semua ini, pada akhirnya akan mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal.  Dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Baca Juga: Jadwal Keberangkatan Dan Kepulangan Jamaah Haji Seluruh Indonesia

Haji juga perhimpunan agung sesama Muslim dari berbagai penjuru dunia. Mereka melaksanakan ibadah yang sama menghadap ke arah kiblat yang sama. Keadaan seperti ini akan menimbulkan sikap perpaduan serta persaudaraan.

Jamaah haji pergi menuju Mekkah dengan hanya berbekal barang-barang terbatas. Di tanah air masing-masing mereka memiliki keluarga, rumah, kendaraan, kebun, ladang dan sebagainya. Tetapi, ketika pergi haji, semua itu mereka tinggalkan. Mereka pergi dengan hanya berbekal beberapa helai pakaian dan keperluan tertentu.

Ini adalah gambaran kecil bahwa ketika meninggalkan alam ini, manusia tidak akan membawa apa-apa. Meninggalkan sanak saudara. Harta benda menjadi hak ahli waris yang ditinggalkan. Hanya iman dan amal yang menjadi bekal dalam menghadapi perjalanan panjang di akhirat.

Pada waktu memakai kain ihram, jemaah haji hanya memakai dua helai kain putih sebagai penutup badan dan pelindung pada waktu panas dan dingin. Mereka dilarang memakai pakaian berjahit. Tidak melihat yang kaya atau miskin, jenderal maupun presiden, mereka tetap memakai pakaian yang sama.


Menyingkap Makna Dan Hakikat Haji
Mantan Presiden Suharto Ketika Berhaji


Antara hikmah yang tersimpan daripada pakaian ihram adalah persamaan. Pada mata Allah tidak ada perbedaan antara seorang hamba dengan hamba yang lain. Tidak ada perbedaan antara seorang Raja dengan rakyat jelata, tidak beda antara Jenderal dengan Kopral dll. Hanya takwa yang menjadi pemisah dan pembeda, seperti firman-Nya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah mereka yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujuraat : 13).

Di samping itu, ihram menjadi gambaran bahwa pada saat meninggalkan alam fana ini, meskipun memiliki pakaian, bahkan harta yang banyak, yang dipakai hanya beberapa lapis kain kafan sebagai penutup badan ketika berada dalam kubur.

Di tempat Miqot, tempat ritual ibadah haji dimulai dngan niat, perbedaan-perbedaan status sosial dlsb  tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.

Di Miqot ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.

Dengan hanya mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini.  Seorang yang berihram akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selepas ihrom, melaksanakan thawaf. Di Baitullah ini kita menjadi tamu Allah SWT. Thawaf merupakan sarana pertemuan kita sebagai tamu dengan Sang Kholiq, dengan mengelilingi ka’bah disertai dengan dzikir dan berdoa dengan khusuk.

Ka’bah menjadi pusaran dan pusat peribadatan kita kehadirat Allah SWT, karena thawaf identik dengan sholat dimana kita berkomunikasi secara langsung dengan Allah SWT.

Makna Dan Hakikat Haji
Makna Dan Hakikat Haji


Putaran thawaf sebanyak 7 kali merefleksikan rotasi bumi terhadap matahari yang menandai putaran terjadinya kisaran waktu, siang dan malam, yang menunjukkan waktu, hari, bulan dan tahun.

Thawaf (mengelilingi Ka'bah), menurut Ali Syari'ati adalah subsistem ritual haji yang menggambarkan penjabaran tauhid dengan simbol Ka'bah sebagai pusat konsistensi dan kekokohan. Ka'bah adalah simbol Tuhan dan lautan manusia di sekelilingnya adalah simbol aktivisme umat manusia. Keduanya (Ka'bah dan manusia) berjarak tetapi tidak dapat berpisah. Dalam gemuruh thawaf, komunitas umat manusia disatukan dalam pola yang sama dan sederajat.

Warna pakaian dan polanya sama. Di dalamnya tidak ada identifikasi individual; tidak dapat membedakan yang perempuan dan laki-laki, berkulit hitam dan berkulit putih, berbadan besar dan berbadan kecil. Inilah transformasi seoarang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua "aku" bersatu menjadi "kita" yang merupakan "ummah" dengan tujuan sama; menghampiri Allah. Di luar Ka'bah seoarang manusia dikenal dengan nama, bangsa, atau rasnya. Tetapi ketika berada di Ka'bah ciri-ciri tersebut digantikan dengan konsep totalitas dan universalitas. Jadi yang melakukan thawaf adalah "orang-orang" yang mewakili "keseluruhan umat manusia".

Baca Juga: Kisah Nyata Naik Haji Bermodal 100 Rupiah

Aktivitas thawaf dengan demikian, mewartakan bahwa dimata Allah, perbedaan duniawi tidaklah berarti. Pluralitas baru akan dirasakan hikmahnya justru ketika berada dalam kebersamaan yang padu dan tunduk dalam sebuah kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan yang memancarkan energi kebenaran universal

Dalam thawaf, jamaah Haji berlari-lari kecil atau berjalan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Berlari mengelilingi Ka’bah antara ratusan ribu manusia bukanlah hal yang mudah. Pada saat itu, jemaah akan didorong, terhimpit dan terinjak, bahkan ada yang meninggal dunia karena tidak mampu menahan gelombang manusia.

Hanya sikap hati-hati dan sabar serta mengharap pertolongan daripada Allah yang dapat menyelamatkan jemaah daripada kejadian tidak diinginkan.

Apa yang berlaku pada saat tawaf adalah gambaran kecil daripada keadaan yang akan ditempuh ketika berada di akhirat nanti. Pada saat itu, manusia tidak dapat bergantung kepada orang lain. Hanya amal dan pertolongan daripada Allah dan syafaat Rasulullah yang dapat membantu.

Dalam thawaf, kita akan didorong dan terhimpit hingga susah bagi kita untuk selalu mendekat ke Ka’bah. Terkadang kita mendekat ke Ka’bah, terkadang kita menjauh dari Ka’bah. Ka’bah Ibarat Tuhan, begitulah diri kita, dalam menjalani kehidupan terkadang kita dekat dengan Tuhan, terkadang kita menjauh dari-Nya.

Puncak daripada pelaksanaan haji adalah wukuf di Arafah. Ulama bersepakat mengatakan bahwa wukuf di Arafah adalah rukun haji yang terpenting. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Haji itu adalah Arafah.” (HR. Ahmad).

Di Arafah, manusia berhimpun di bawah terik panas matahari yang membakar kulit. Mereka masih memakai pakaian ihram yang sekadar menutup badan. Pada waktu itu, setiap orang akan merasakan bagaimana penderitaan yang pernah dialami oleh sahabat ketika berperang atau berdakwah diatas terik panas matahari.

Keadaan di Arafah ini juga sebenarnya gambaran kecil daripada suasana di Padang Mahsyar. Di mana manusia tidak dapat berlindung dan bernaung. Tidak ada tempat untuk meminta pertolongan. Hanya amal dan takwa serta naungan daripada Allah dan syafaat rasul-Nya yang akan menjadi pelindung.

Jika semua rahasia dan hikmah ini disadari, maka apa pun yang dihadapi ketika berada di Tanah Suci akan dilalui dengan sabar, seraya memohon ampunan dan perlindungan dari Allah. Kita juga mengharapkan ihsan-Nya agar haji yang dilaksanakan menjadi haji mabrur.

Sebagai tamu Allah, jemaah haji sewajarnya menyerahkan dirinya kepada Allah dengan ikhlas dan meninggalkan segala beban pemikiran yang mungkin merusak kekhusyuan dalam beribadah. Mereka berangkat menuju Tanah Suci seolah-olah sedang berjalan memenuhi panggilan Ilahi ketika meninggalkan alam fana ini. Datang dengan niat dan hati yang suci semata-mata mencari keridhaan Ilahi.

Perjalanan Haji bukanlah suatu perjalanan piknik untuk sebuah kepuasan duniawi, justru kepuasan duniawi terkorbankan dalam rangka mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi.

Haji dalam Islam memiliki nilai plus, yaitu dengan terbitnya kepuasan jiwa dan perasaan semakin dekat dengan sang Pencipta. Perasaan dekat ini melebihi cintanya pada harta, tahta, keluarga dan saudara. Bahkan ketika seorang hamba menginjakkan kaki dari tempat tinggalnya menuju rumah Allah (Baitullah), ia sudah berniat untuk bebas dari belenggu yang mengikatnya, hatinya tunduk kepada Yang Maha Kuasa, sehingga ia merasa bahwa dunia dan isinya, luluh dan rapuh di hadapanNya. Dengan ungkapan “Labbaika Allahumma Labbaika (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah)”, seorang hamba telah menancapkan bendera syukur atas karunia yang melimpah-ruah. Dan Maha Besar Allah atas seluruh karunia-Nya.

Jika umat Islam menghadap kiblat (ka'bah) lima kali sehari dari jarak jauh, namun pada musim haji mereka dapat melihat Ka'bah dengan mata kepala secara langsung ketika sedang memasuki Al-Baitullah al-Haram dan bertawaf di sekelilingnya, tanpa terasa air mata telah bercucuran. Cucuran air mata saat itu, bukan tanda kesedihan atau kemurungan, seperti yang terjadi dalam hidup sehari-hari, ketika ditimpa musibah misalnya. Banyak orang tidak tahu, apa sebab dan rahasia di balik peristiwa ini.

Peristiwa ini merupakan sebuah ungkapan wajar, saat seseorang meninggalkan keangkuhan dan kesombongan, yang selama ini menyelimuti kehidupannya. Keadaan semacam ini kian menumbuhkan perasaan tunduk seseorang kepada Sang Pencipta, dan kehadirannya di depan Ka'bah hanya untuk menyampai kan penyesalan atas perbuatan-perbuatan yang telah dikerjakan, dengan harapan kiranya Allah mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.

Perasaan dekat dengan Allah setiap saat, niscaya akan menjadikan tangis sebuah dinamo untuk melahirkan kebahagiaan dan kemerdekaan dari lumuran dosa. Dengan taubat yang tulus, seorang hamba enggan untuk kembali pada kejahatan. Lebih dari itu, tangis seorang hamba di depan Ka'bah merupakan barometer kuatnya iman yang mendorongnya untuk meninggalkan hal- hal yang dapat meracuni akidah dan akhlaknya.

Sesungguhnya menanggalkan rasa keangkuhan adalah kekuatan, seperti halnya memohon rahmat dan ampunan adalah kekuatan pula. Apabila dua kekuatan tersebut menyatu, keyakinan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan menjadi semakin kokoh.

Wuquf di Arafah, Refleksi Padang Mahsyar. Di bukit yang membentang luas ini, seorang hamba diantarkan untuk membayangkan dan merenungi peristiwa yang bakal terjadi pada hari kiamat , yaitu hari dikumpulkannya kembali semua makhluk Allah di "Padang Mahsyar", yang merupakan terminal terakhir untuk menghitung amal baik dan buruk yang telah dikerjakan, selama di dunia. Di hadapan Allah seluruh manusia adalah sama, baik konglemerat maupun fakir miskin, semuanya akan menghadap kepada Yang Maha Esa, Allah Swt.

Jumroh Aqabah, Melawan Bisikan Setan. Haji merupakan salah satu proses pembentukan insan kamil, yang mampu melawan bisikan setan. Sebab dalam setiap gerak kehidupan, orang tak lepas dari godaan setan. Banyak contoh yang menjelaskan tentang betapa gigihnya godaan makhluk ini. Diantaranya adalah godaan terhadap manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, dan juga terhadap Nabi Ibrahim saat menjalani perintah Allah, yang kemudian beliau berusaha menghardiknya dengan cara melempari makhluk jahat tersebut. Untuk itu, melempar jumrah yang dikenal dengan Jumrah Aqabah, juga merupakan salah satu protret perlawanan terhadap setan.

Selanjutnya, sambil melempar batu kecil di Aqabah, hendaknya disertai niat untuk selalu melawan bisikan setan yang sangat membahayakan. Karenanya, dengan Jumrah Aqabah, kita berharap agar umat Islam senantiasa mampu membaca rahasia-rahasia dibalik setiap peristiwa dalam kehidupan ini. Apakah tiap muslim sudah memiliki missi dalam aktivitas kesehariannya? missinya baik atau tidak ? dan missinya bermanfaat atau tidak ? Ini sebuah pelajaran yang harus diingat.

Antar sesama manusia, ketika melaksanakan haji banyak pelajaran yang mengarah pada pembentukan persamaan derajat. Apabila seseorang di tempat tinggal nya menjadi tokoh masyarakat, pedagang kaki lima dan lain-lain, namun di musim haji mereka sama. Persamaan yang semacam ini akan lebih menciptakan suasana harmonis dan dinamis.

Sesungguhnya Allah tidak akan melihat pada wajah seorang hamba, namun melihat kepada hatinya. Hati merupakan standar derajat manusia antara satu dan yang lain. Suasana haji menciptakan keakraban yang lebih dekat dan lebih membahana di relung hati yang paling dalam. Semoga para jamaah haji dapat menangkap makna simbol-simbol itu dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Next article Next Post
Previous article Previous Post