Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap sejumlah keganjilan dalam kasus tembak mati 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek (Japek) KM 50.
Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar mengatakan keganjilan ini terbagi dalam tiga hal. Pertama, dalam praperistiwa ditemukan keganjilan di mana aparat mengintai Habib Rizieq Shihab. Lalu dalam perjalanannya, enam orang pengawal pentolan FPI tutup usia karena ditembak aparat.
"Kalau misalkan Polda mengincar Rizieq dipantau pergerakannya, dia tidak mungkin mematikan enam orang tersebut karena tujuannya penggalian informasi. Itu ada dalam manajemen penyelidikan polisi," ucap Rivanlee, Selasa (15/12/2020).
Ia mengatakan, pengintaian polisi yang berakhir dengan peristiwa tembak mati enam orang justru tidak sesuai tujuan awal penyelidikan.
Pasalnya, pengintaian atau surveillance biasanya dilakukan untuk menggali informasi.
"Nah pra peristiwa ini menunjukkan bahwa adanya kejanggalan. Jangan-jangan ada tujuan untuk mematikan mereka. Kalau 6 orang memiliki info penting, polisi harusnya melumpuhkan, bukan mematikan, karena kembali ke tujuan, menggali informasi penting. Tapi fakta berkata lain, dimatikanlah, jadi informasi apa yang akan dicari? Itu tidak sesuai tujuan awalnya," jelasnya.
Kedua, keganjilan pada saat peristiwa adalah banyaknya informasi sumir atas hal itu. Keterangan pihak Kepolisian dengan FPI berbeda. Polisi menyebut adanya penyerangan dari korban. Sedangkan FPI mengatakan sebaliknya.
Lalu, Rivanlee menilai informasi yang disampaikan Bareskrim Polri pasca-rekonstruksi juga nampak mengada-ngada.
Semisal, 4 anggota FPI yang disebut-disebut bersenjata itu dibawa ke dalam mobil polisi tanpa diborgol. Lalu dari situ terjadi perlawanan sehingga terpaksa dibedil.
"Info hasil rekonstruksi yang disampaikan Bareskrim itu juga kelihatannya mengada-ngada, penuh dengan pertanyaan, setiap mengeluarkan pernyataan ada pertanyaan lanjutannya," imbuhnya.
"Empat orang yang diduga memiliki sajam atau senpi kok ditangkap biasa aja dan dimasukkan ke mobil tanpa pertimbangan di luar mobil, itu kan alasan mereka mematikan. Apakah polisi tidak mengukur bagaimana kondisi di luar atau sebelumnya? Kalau punya sajam, senpi pasti ada langkah yang diambil untuk menjaga yang di dalam mobil. Ini terkesan seperti tak siap. Padahal pengintaian harus ada persiapan sebelumnya," tambahnya.
Terakhir, keganjilan pasca peristiwa, Rivanlee melihat banyak sekali keterlibatan polisi dalam pembentukan tim investigasi.
Seharusnya, kata dia, tim untuk menyelidiki kasus tersebut harus didominasi oleh pihak nonpolisi. Tujuannya untuk menjaga independensi serta memastikan kasus ini dituntaskan sehingga tidak terjadi keberulangan.
"Tim indendepan harus lebih banyak diisi oleh non polisi. Tugas polisi ya menjamin setiap aksesnya. Menjamin akses info, dukungan bukti , dan sebagainya, untuk sampaikan seada-adanya. Kalau polisi gak menjamin itu, harus ada jaminan dari yang lebih tinggi, Presiden. Dia harus bisa beri jaminan itu kepada tim independen ini," tutup Rivanlee.