Innalillahi, KH Noer Muhammad Iskandar SQ Meninggal Dunia

Innalillahi, KH Noer Muhammad Iskandar SQ Meninggal Dunia

author photo

 

Innalillahi, KH Noer Muhammad Iskandar SQ Meninggal Dunia


Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, KH Noer Muhammad Iskandar SQ, telah meninggal dunia pada usia 65 tahun. Para santri dan alumni diharapkan mengikhlaskan kepergian Sang Kiai.


"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Allahummahjurni fi mushibati wakhluf li khairan minha. Telah wafat guru, Abah kami tercinta: Abah Dr. K.H Noer Muhammad Iskandar, SQ, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah," demikian kabar duka yang disampaikan akun Instagram Ponpes Asshiddiqiyah, Minggu (13/12/2020).


KH Noer Muhammad wafat di Rumah Sakit (RS) Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, sekitar pukul 13.41 WIB tadi. Segenap keluarga besar Pesantren Asshiddiqiyah berbela sungkawa atas berpulangnya KH Noer Muhammad.


"Untuk para alumni, santri, dan khalayak umum, kami meminta keikhlasan do'a, semoga beliau khusnul khatimah dan semua perjuangan beliau berkhidmah untuk umat diridhai Allah SWT. Semoga keluarga besar Pondok Pesantren Asshiddiqiyah diberikan ketabahan dan hati yang lapang. Aamiin," demikian imbau Ponpes lewat akun Instagramnya.


Pihak Ponpes memohonkan maaf atas semua kesalahan KH Noer Muhammad. Perjuangan Sang Kiai harus dilanjutkan bersama-sama supaya sukses dunia-akhirat.


KH Noer Muhammad mendirikan Ponpes Asshiddiqiyah pada Rabiul Awal 1406 Hijriah atau 1985 Masehi. 


Ponpes ini beralamat di Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Namun ada 11 pesantren Asshiddiqiyah yang tersebar di beberapa daerah, yakni Batu Ceper, Tangerang; Cimalaya, Karawang; Serpong, Tangerang; Cijeruk, Bogor; Musi Bayuasin, Sumsel; Way Kanan, Lampung; Gunung Sugih, Lampung; hingga Cianjur, Jawa Barat.


Jenazah Kiai Noer Iskandar saat ini disemayamkan di kompleks Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya. 


Almarhum merupakan putra kesembilan dari sebelas bersaudara, dari pasangan KH Iskandar dengan Nyai Robiatun. 


KH Noer Muhammad Iskandar memulai pendidikannya di pesantren tradisional Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur, yang langsung di asuh oleh ayahnya sendiri KH Iskandar. 


Setelah menamatkan pendidikan dasar di madrasah ibtidaiyah, tahun 1967 beliau melanjutkan ke Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang pada waktu itu diasuh oleh KH Mahrus Aly.


Di Pesantren Lirboyo beliau pernah memimpin ikatan santri Banyuwangi. 


Pada 1974 beliau lulus dari Pesantren Lirboyo kemudian melanjutkan kuliah di PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) Jakarta. 


Dikutip dari laman resmi Pesantren Asshidiqiyah, Kiai Noer Iskandar merupakan sosok ulama yang sukses membangun tradisi keilmuan pesantren di jantung Ibu Kota Jakarta. 


Upaya membangun pesantren di ibu kota bukan tanpa perjuangan. Perjalanan dan perjuangan panjang pun harus dilalui dengan berbagai tantangan yang berat. 


Namun berkat dukungan dan dorongan yang begitu kuat dari Kyai Mahrus Ali, Pimpinan Pesantren Lirboyo Kediri, Kiai Noer Muhammad Iskandar, SQ pun berhasil. 


“Ia banyak membuka wawasan dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Kiai Noer tentang Kiai Mahrus Ali dikutip asshiddiqiyah.com. 


Bukan hanya itu, dalam upaya membuka cakrawala berpikir dan memahami Al-Qur'an, umumnya metode yang diterapkan di pesantren-pesantren berkembang dengan pendekatan dogmatis. 


Akibatnya, pemahaman Al-Qur'an sebagai way of life seringkali menjadi terbatas dipahaminya, yaitu hanya menyentuh aspek ubudiyah. Sementara di sisi lain, kelompok akademisi yang berbasis di kampus sekuler, memahami Al-Qur'an dengan pendekatan rasionalistik. 


Kondisi inilah yang memperkuat dirinya untuk tidak bergabung dengan pesantren, baik yang didirikan ayahnya, Kiai Iskandar, maupun di Pesantren Lirboyo Kediri sebagai staf pengajar, melainkan ia merantau ke Jakarta untuk kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Jakarta. 


Kiai Noer Muhammad Iskandar menikah dengan Ibu Hj Siti Nur Jazilah, putri KH Mashudi asal Tumpang, Malang, Jawa Timur. 


Ibu Hj Nur Jazilah pernah memimpin Pesantren Putri Cukir, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Bersama dengan beberapa teman, KH Noer Muhammad Iskandar mendirikan Yayasan Al-Muchlisin di Pluit sebelumnya menempati sebidang tanah di bilangan Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 


Beliau mulai merintis lembaga pendidikan pesantren seadanya. Namanya Asshiddiqiyah. Pesantren ini dirintis dengan keprihatinan, namun dalam keprihatinan ini ia punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak lembaga pendidikan ini akan bisa maju dan berkembang. 


Bahkan kini, di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000 meter, telah berkembang menjadi 2,4 hektare, yang di Batu Ceper sudah berkembang menjadi enam hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 hektare, dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektare. Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk pengembangan Asshiddiqiyah masa depan.


Next article Next Post
Previous article Previous Post