Bagi Presiden Jokowi, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) tampaknya jauh lebih menakutkan dibanding Covid-19.
Sejauh ini, korban yang terpapar Covid-19 sudah melampaui angka 500 ribu orang.
Meninggal dunia di atas angka 16 ribu. Belum ada satupun pejabat yang dipecat.
Menteri Kesehatan Terawan juga bisa dengan anteng duduk di jabatannya.
Padahal ucapan maupun kebijakannya, berkali-kali blunder.
Sebaliknya, hanya beberapa hari setelah HRS kembali ke Indonesia, dua pejabat tinggi kepolisian dipecat.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Rudi Sufahriadi dicopot dari jabatannya. Mereka dinilai gagal mencegah adanya kerumunan massa.
Sejumlah perwira menengah Polri pada posisi Kapolres juga dirotasi.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tengah malam mengumpulkan para panglima dan komandan pasukan tempur.
Menggelar press breifing, nyampaikan ancaman untuk kelompok-kelopok yang memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Tak hanya berhenti sampai disitu. Panglima TNI melakukan sidak ke markas Pasukan Khusus dari ketiga angkatan TNI.
Semacam show of force kepada musuh negara.
Rombongan kendaraan taktis Pasukan Komando Operasi Khusus (Koopsus), tiba-tiba berhenti tak jauh dari pintu masuk markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat.
Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman bertindak cepat.
Memerintahkan prajurit Kodam Jaya mencopoti baliho ucapan selamat datang HRS.
Dia tak mau ketiban apes dicopot seperti koleganya di kepolisian.
Sejauh ini jabatan Dudung aman. Dia dinilai berani pasang badan. Termasuk soal wacana pembubaran FPI.
Tak kalah sigap, Mendagri Tito Karnavian segera menerbitkan instruksi (Inmen).
Para kepala daerah, mulai Gubernur sampai Bupati dan Walikota bisa dicopot dari jabatannya bila tidak menegakkan protokol Kesehatan dan penanggulangan Covid.
Gubernur DKI Anies Baswedan dipanggil polisi, untuk klarifikasi akibat kerumunan massa yang sangat besar pada acara Maulid Nabi, dan pernikahan putri HRS.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga dipanggil polisi. Dia diklarifikasi adanya kerumunan pada acara Maulid Nabi di pesantren milik HRS, di kawasan Mega Mendung, Bogor.
Semua instansi pemerintah tiba-tiba bergerak sangat sigap. Seolah adu unjuk kerja ke Jokowi.
Sampai-sampai Walikota Bogor Bima Arya Sugianto bertindak over-acting.
Mengancam dan melaporkan Rumah Sakit UMMI tempat HRS dirawat dan menjalani swab.
Berbagai kehebohan itu menunjukkan betapa besarnya pengaruh HRS.
Tidak berlebihan bila wartawan asing John McBeth menulis sebuah artikel di laman Asiatime dengan judul yang sangat provokatif.
"The Islamic Cleric Who Widodo Fears the Most". Ulama yang paling ditakuti oleh Presiden Jokowi!
Belum pernah dalam 9 bulan terakhir masa pandemi, pemerintah mengerahkan begitu besar sumber dayanya.
Mulai dari TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri, dan berbagai sumber daya lain yang tidak kasat mata.
Pesan yang sampai ke publik, justru pemerintah seperti kebingungan menghadapi pandemi.
Ada perasaan mendua yang bercampur. Mixed Felling.
Antara mengutamakan kesehatan, atau mempertahankan ekonomi.
Aspek kesehatan seperti kita sudah saksikan dikalahkan oleh kepentingan ekonomi.
Pada kasus HRS, instruksi Jokowi sangat tegas dan jelas.
Mulai dari Kapolri, Panglima TNI, sampai Mendagri harus bertindak tegas. Bersatu padu menghadapi HRS.
Penanggulangan dan penegakkan protokol kesehatan jadi argumen.
Skenario yang disiapkan sangat jelas dan terbuka. Penolakan HRS untuk membuka hasil swab di RS UMMI menjadi pintu masuk.
Menko Polhukam Mahfud MD bahkan sampai harus menggelar konperensi pers bersama Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo dan pejabat dari Depkes.
Secara tegas Mahfud menyebut ada ketentuan pidana yang bisa diterapkan bila HRS menolak bekerjasama.
Bersamaan dengan itu polisi juga telah melayangkan surat panggilan. HRS akan diperiksa Polda Metro Jaya Selasa (1/12) berkaitan dengan kerumunan massa di Petamburan.
Dalam surat panggilan disebutkan soal adanya dugaan tindak pidana penghasutan, dan menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Melihat besarnya penyambutan HRS di bandara, kali ini pemerintah pasti tidak ingin kembali kecolongan.
Para pejabat Polri dan TNI tak mau lagi kehilangan jabatan.
Pemeriksaan HRS oleh Polda diperkirakan akan menarik bagi para pendukungnya untuk memberi dukungan.
Semua pasti sudah diantisipasi.
Penulis: Hersubeno Arief