Macron Keluarkan Ultimatum 15 Hari untuk Pemimpin Muslim

Macron Keluarkan Ultimatum 15 Hari untuk Pemimpin Muslim

author photo

 

Macron Keluarkan Ultimatum 15 Hari untuk Pemimpin Muslim


Presiden Prancis Emmanuel Macron meminta para pemimpin Muslim menerima 'piagam nilai-nilai Republik', sebagai bagian dari tindakan keras terhadap Islam radikal. Pada Rabu (18/11), Macron memberikan ultimatum 15 hari kepada Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFCM) untuk menerima piagam tersebut.


Piagam ini dikeluarkan Macron menyusul tiga serangan kurang dari sebulan ini. Macron memang begitu membela sekulerisme Prancis setelah serangan itu, termasuk soal pemenggalan terhadap seorang guru yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad selama kelas kebebasan berekspresi bulan lalu.


Piagam tersebut akan menyatakan Islam adalah agama dan bukan gerakan politik, di samping juga melarang campur tangan asing dalam kelompok Muslim. Pada Rabu lalu, Macron dan Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin bertemu dengan delapan pemimpin CFCM di Istana Elysee.


"Dua prinsip akan tertulis hitam di atas putih dalam piagam itu, yakni penolakan atas politik Islam dan campur tangan asing," kata satu sumber kepada surat kabar Le Parisien setelah pertemuan itu, dilansir di BBC, Jumat (20/11).


Pembentukan Dewan Imam Nasional juga disepakati. CFCM sendiri dilaporkan telah sepakat membentuk Dewan Imam Nasional, yang kabarnya akan memberikan akreditasi resmi bagi para imam yang dapat ditarik.


Macron juga telah mengumumkan langkah-langkah baru untuk mengatasi apa yang disebutnya "separatisme Islam" di Prancis. 


Langkah-langkah tersebut termasuk RUU yang luas yang berupaya mencegah radikalisasi. RUU itu diresmikan pada Rabu.


Ada sejumlah langkah-langkah pencegahan radikalisasi di antaranya, pembatasan sekolah di rumah dan hukuman yang lebih keras bagi mereka yang mengintimidasi pejabat publik atas dasar agama, dan memberi anak nomor identifikasi berdasarkan undang-undang yang akan digunakan untuk memastikan mereka bersekolah. Orang tua yang melanggar bisa menghadapi hukuman enam bulan penjara serta denda besar.


Selanjutnya, ada larangan berbagi informasi pribadi seseorang dengan cara yang memungkinkan mereka ditemukan oleh orang-orang yang ingin menyakitinya. Rancangan undang-undang tersebut akan dibahas oleh kabinet Prancis pada 9 Desember 2020.


"Kita harus menyelamatkan anak-anak kita dari cengkeraman kaum Islamis," kata Darmanin kepada surat kabar Le Figaro, Rabu.


Samuel Paty, guru yang dibunuh di luar sekolahnya bulan lalu, menjadi sasaran kampanye kebencian online sebelum kematiannya pada 16 Oktober 2020. Surat kabar Le Monde telah menerbitkan email yang dikirim antara Paty dan koleganya beberapa hari setelah dia menunjukkan kartun Nabi di kelas.


"Ini benar-benar menyedihkan dan terutama karena berasal dari keluarga yang anaknya tidak ada dalam pelajaran saya dan bukan seseorang yang saya kenal. Ini menjadi rumor yang berbahaya," tulis Paty.


Dia kemudian menulis dalam email terpisah, bahwa ia tidak akan mengajar lagi tentang topik tersebut. 


"Saya akan memilih kebebasan lain sebagai subjek untuk mengajar," katanya.


Awal tahun ini, Presiden Macron menggambarkan Islam sebagai agama dalam krisis dan membela hak majalah satir Prancis Charlie Hebdo untuk menerbitkan kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad. Penggambaran seperti itu secara luas dianggap tabu dalam Islam dan dianggap sangat ofensif oleh banyak Muslim.


Menyusul komentar tersebut, Macron menjadi sosok kebencian di beberapa negara mayoritas Muslim. Para pengunjuk rasa juga menyerukan boikot produk Prancis.


Di Prancis, sekularisme negara (laicite) merupakan pusat identitas nasional negara tersebut. Kebebasan berekspresi di sekolah dan ruang publik lainnya adalah bagian dari itu, dan mengekangnya untuk melindungi perasaan agama tertentu dipandang merusak persatuan nasional. 


Sementara itu, Prancis sendiri memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa Barat.

Next article Next Post
Previous article Previous Post