Pemuka Agama se-Indonesia Sepakat Tolak UU Cipta Kerja dan Minta Seluruh Umat Menggugatnya

Pemuka Agama se-Indonesia Sepakat Tolak UU Cipta Kerja dan Minta Seluruh Umat Menggugatnya

author photo
Pemuka Agama se-Indonesia Sepakat Tolak UU Cipta Kerja dan Minta Seluruh Umat Menggugatnya


Pemuka Agama se-Indonesia sepakat untuk secara tegas menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagian dari mereka bahkan ada yang menjadi inisiator pembuatan petisi daring yang per Selasa (6/10) pukul 14.20 WIB sudah ditandatangani 827 ribu lebih orang.

Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Mery Kolimon yang merupakan salah satu inisiator menyatakan kesiapannya dalam mendorong masyarakat untuk melakukan melakukan gugatan terhadap undang-undang kontroversial itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Sangat penting bahwa kita menempuh proses-proses, kalau sekarang menjadi UU maka masih dimungkinkan kalau secara konstitusional untuk judicial review," kata Mery dalam diskusi daring yang disiarkan melalui kanal YouTube Fraksi Rakyat ID, Selasa (6/10).

Mery pun mengecam langkah yang dilakukan dewan legislatif ini. Sebab, menurutnya, beberapa poin dalam UU Ciptaker ini berisiko meresahkan warga, merugikan lingkungan, dan juga melanggar HAM. Sehingga, sambungnya, wajar bilamana gelombang aksi penolakan menggeliat dari lintas sektor.

"Kami mendorong masyarakat sipil menempuh proses Judicial Review UU Ciptaker demi hal yang sangat mendasar bagi kehidupan bangsa, keadilan sosial dan juga bagi kelestarian hidup," sambungnya.

Mery juga mengaku heran sebab beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan seperti RUU Penghapusan kekerasan seksual malah tidak segera dibahas DPR. Padahal, menurutnya, urgensi RUU PKS dibutuhkan dari dulu hingga sekarang.

Lebih lanjut, Mery menyebut UU Ciptaker ini sudah memangkas hak-hak buruh atau pekerja. Sebab, nantinya pekerja akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan.

"Sebagai aktivis perempuan kami juga melihat RUU yang sekarang menjadi UU ini akan makin memperkuat kerentanan pekerja perempuan," kata Mery.

Masih dalam diskusi daring yang sama, Pentolan JIL, Ulil Abshar Abdalla mengaku prihatin atas kejadian yang terjadi dalam beberapa tempo terakhir ini.

Menurutnya, sudah sepatutnya wakil rakyat mendengarkan suara rakyat dalam memutuskan sebuah kebijakan.

Namun, alih-alih melakoni kewajiban itu, wakil rakyat malah memangkas ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi.

"Akhir-akhir ini dalam beberapa tahun terakhir, DPR semakin tidak bisa dengar suara rakyat sendiri, bagi saya ini merupakan penyelewengan kekuasaan," kata Ulil.

Ulil menambahkan, di saat-saat seperti inilah, para pemuka agama harus hadir dalam memberikan koreksi dan peringatan kepada para pemimpin rakyat.

Pemuka agama juga harus mengetahui seluk beluk permasalahan yang pada akhirnya merugikan umat.

"Tugas kaum beragama bukan memberikan legitimasi kepada orang-orang yang punya kekuasaan besar, baik politik, ekonomi, dan budaya. Tugas orang beragama adalah menyuarakan suara kenabian yaitu suara prosetif," kata dia.

Oleh sebab itu, para pemuka agama yang diwakili Busyro Muqodas, Pendeta Merry Koliman, Ulil Absar Abdalla, Engkus Rusana, Roy Murtadho dan Pendeta Penrad Sagian sepakat meminta DPR RI membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis guna mengembalikan peran legislatif yang semestinya di tanah air.
Next article Next Post
Previous article Previous Post