Hingga berita ini ditulis, jumlah pasien positif corona di Indonesia mencapai 3,512 kasus per 10 April 2020.
Sementara itu angka kesembuhan berada di 282 dan yang meninggal dunia mencapai 306 orang.
Perbandingan angka antara mereka yang sembuh dan meninggal ini sering jadi perhatian masyarakat luas.
Pasalnya, Indonesia sempat jadi negara dengan fatality rate tertinggi, yakni 10 persen.
Hal ini kemudian jadi pembahasan Deddy Corbuzier dengan dokter spesialis paru, Dr. Erlina Burhan dalam podcast terbarunya yang berjudul 'HEBOH VIRUS CORONA BISA REACTIVATED?! RAPID TEST TIDAK EFEKTIF?!' yang tayang pada Kamis (9/4/2020).
"Apakah ini virus sangat berbahaya sekali atau media saja yang membesar-besarkan?" tanya Deddy Corbuzier pada awalnya.
"Virus ini very infectious memang, mudah menular. Tapi itu bisa kita cegah. Obatnya memang tidak ada, tapi banyak orang yang sembuh sebetulnya. Kan data-data dari luar menyebutkan kematian antara 3, 4, 5 persen dan itu artinya-" jawab Dr. Erlina.
"Tapi di sini 10 persen, Dok?" potong Deddy saat itu juga.
"Nah, itu saya mau ngomong juga!" seru Dr. Erlina yang membuat keduanya tertawa.
Ternyata Dr. Erlina sendiri memiliki jawaban atas tingginya kematian di Indonesia.
Rupanya, Dr. Erlina dan beberapa dokter lainnya sempat tidak setuju dengan dijalankannya rapid test.
"Nah, kenapa 10 persen? Karena kita under detection, kita tidak cukup banyak mendeteksi. Jadi orang selalu pakai, contoh tuh Korea Selatan! Mereka tidak pembatasan, tapi mereka mendeteksi banyak banget. 15,000 per hari lo, deteksinya!" kata Dr. Erlina.
"Bukannya dokter yang sempat marah-marah di tv di mana-mana, yang mengatakan bahwa membeli rapid test itu buang-buang duit?" tanya Deddy Corbuzier yang sempat membuat Dr. Erlina terdiam.
Kemudian Dr. Erlina menjelaskan bahwa tes yang dipakai oleh Korea Selatan bukan rapid test.
Melainkan mereka langsung melakukan tes swab atau PCR yang jauh lebih akurat dalam mendeteksi Covid-19.
"Lah, betul. Tapi di Korea itu orang bukan pakai rapid test, pake PCR (tes swab). Jadi menurut saya lebih baik PCR itu yang diperbanyak. Karena kita kan gak bisa selalu bikin drive thru ya, karena drive thru itu artinya pakai mobil itu untuk kelompok tertentu, gak, kita bikin posko saya bilang. Orang nyamperin, pelayanannya gratis, tinggal mangap doang, nanti diswab. Lalu kan nanti ada datanya, nanti dihubungi," ujarnya.
"Tapi kalau seperti itu, artinya rapid test itu tidak berguna?" tanya Deddy Corbuzier.
"Kalau saya ditanya, dan teman-teman di perhimpunan, ini kalau saya bicara perhimpunan itu artinya organisasi profesi ya, dokter kan profesinya macam-macam tergantung spesialisasinya. Kita mengatakan ini kan kadung udah dibeli oleh pemerintah," jawab Dr. Erlina.
"Kalau kadung udah dibeli artinya dokter mengatakan tidak berguna dong?" cecar Deddy Corbuzier lagi.
"Kalau saya pribadi dan perhimpunan sih, mengatakan lebih baik PCR yang diperbanyak dibanding rapid test serologi ini karena dia mendetect antibodi, dan antibodi itu terbentuk gak dari awal. Setelah di atas 7 hari atau setelah ada gejala. Dan kalau positif belum tentu Covid, bisa aja corona biasa," jelasnya lagi.
Jadi itu berarti rapid tes yang dijalankan saat ini tidak terlalu efektif dalam mendeteksi Covid-19.
Soalnya jika hasil rapid tes negatif, maka kemudian baru akan dites swab.
Nah, menurut Dr. Erlina, tentu saja ini membuang-buang waktu dan juga uang sehingga seharusnya tes PCR yang berjalan sejak awal.
"Sekarang kan orang semua komplain hasil tesnya lama 7 hari, 10 hari, kenapa? Karena jumlah PCR-nya yang sedikit. Center yang bisa periksa sedikit. Tapi kalau center-nya diperbanyak, alatnya diperbanyak itu bisa cepat. Dan kalau cepat bisa dilakukan pemeriksaan yang cukup banyak, jadi kita tahu the real numbers, artinya yang ternyata meninggal sekarang sekian, tapi real numbers yang positif itu lebih banyak jadi gak 10 persen," jelasnya lagi.