Cerita Dibalik Peci Presiden, Kenapa Presiden Indonesia Selalu Pakai Peci?

Cerita Dibalik Peci Presiden, Kenapa Presiden Indonesia Selalu Pakai Peci?

author photo
Cerita Dibalik Peci Presiden, Kenapa Presiden Indonesia Selalu Pakai Peci?


Jika Anda berkesempatan mampir ke Istana Presiden, coba perhatikan deretan foto-foto Presiden Indonesia. Selain Megawati, Adakah diantara mereka yang tidak memakai peci hitam?




Di Indonesia, penutup kepala bernama peci (picis dalam bahasa jawa) bukan lagi sekadar alat untuk beribadah, lebih jauh ia sudah menjadi bagian dari sejarah negara Indonesia.




Bahkan, Gubernur Jawa Barat H. Mochamad Ridwan Kamil mengatakan, peci hitam atau songkok merupakan penutup kepala khas Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan agama Islam.




Jika kita telusuri, Sejarah peci sendiri tidak kalah panjangnya dengan sejarah negara ini. Walaupun asal usulnya masih simpang siur, yang jelas peci sudah lazim digunakan sebagai penutup kepala pria di tanah Melayu sejak abad ke-13.




Simbol Kepribadian Indonesia





Tak bisa dipungkiri lagi kalau Bung Karno lah pelopornya. Dalam otobiografinya, Bung Karno bercerita bagaimana beliau bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan.




Menjelang pertemuan Jong Java di Surabaya, Bung Karno datang memakai peci. Tapi di dalam hati beliau ragu karena khawatir ditertawakan, mungkin beliau kira rekan-rekannya akan berpikir penampilannya konyol.




Ketika hari sudah mulai gelap, Bung Karno berhenti sejenak. Beliau berkata kepada dirinya sendiri:




"Ayo maju. Pakailah pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuk Sekarang!"




Ketika beliau mulai melangkah masuk ke ruang rapat, setiap orang memandang heran. Untuk mengatasi rasa kikuknya, Bung Karno berkata,




"… Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."

Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia - Cindy Adams




Bung Karno menjelaskan, istilah 'peci' sendiri berasal dari kata pet (topi) dan je (istilah dalam bahasa Belanda untuk menggambarkan 'kecil'). Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya, peci mencerminkan kepribadian Indonesia. Maka jangan heran bila siapapun bisa menggunakan peci di Indonesia, terlepas dari apapun latar belakang agamanya.




Sejak itu, Sukarno selalu mengenakan peci hitam ketika tampil di depan publik. Peci kemudian menjadi simbol nasionalisme, yang mempengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual, termasuk pemuda Kristen.







Peci Miring Ala Bung Karno




Karena itulah, dalam The Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia, George Quinn mendefinisikan cap (peci) dengan mengambil contoh Sukarno: Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Sukarno duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam).




Sebenarnya Sukarno bukanlah tokoh yang pertama kali menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga tokoh dari Indonesia, yang kebetulan lagi menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Kyai Hajar Dewantoro.




Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Kyai Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan kaum nasionalis setelah munculnya gerakan Turki Muda di tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto memakai kopiah dari beludru hitam. Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala sama sekali.




Tampaknya Sukarno mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.




Pengaruh Sukarno saat itu begitu luas. Pada tahun 1932, Partindo melancarkan kampanye nasionalisme yang diilhami gerakan swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat Indonesia hanya memakai barang-barang yang dibuat orang Indonesia. Orang-orang mengenakan pakaian dari bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk peci –sebagai pengganti fez– yang dikenakan umat Islam di Indonesia. Peci lurik ini mulai terlihat dipakai terutama dalam rapat-rapat Partindo.




“Tapi Bung Karno tak pernah memakainya. Dia tetap memakai peci beludru hitam, yang bahannya berasal dari pabrik di Italia,” seperti ditulis dalam Spanning A Revolution.




Sebenarnya, darimana asal usul peci? Bung Karno pernah menyebut peci asli milik rakyat kita mirip dengan yang dipakai para buruh bangsa Melayu. Namun belum ada data valid penggunaan peci di kalangan buruh saat itu. Di Indonesia orang menyebutnya peci. Orang Melayu di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan selatan Thailand, dan sebagian Indonesia menyebutnya songkok.




Menurut “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok pertama kalinya diperkenalkan di Melayu oleh pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam.




Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para intelektual Islam atau alim ulama, bukan orang biasa.




“Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,” seperti ditulis dalam The Brunei Times.




Asal songkok menimbulkan perdebatan karena tak lagi terlihat di antara orang-orang Arab. Di beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman.




Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman.




Peci tampaknya sudah dikenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan.




“Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III.




Kini, peci dipakai dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun keseharian umat Islam di Indonesia seperti upacara pernikahan, lebaran, atau acara peribadatan. Di Malaysia dan Brunei, songkok dipakai tentara dan polisi pada upacara-upacara tertentu. Pada 19 Juni 2008, anggota dewan DAP Gwee Tong Hiang disingkirkan dari Dewan Majlis Johor karena tak mematuhi aturan pakaian resmi dan songkok.




Peci tak lagi menjadi identitas Islam dan kesalehan seseorang. ia bertransformasi menjadi busana formal seluruh rakyat Indonesia.

Next article Next Post
Previous article Previous Post