Naudzubillah, Inilah Akibat Anak Sering Dipukul dan Dibentak, Jangan Jadi Ibu Galak!

Naudzubillah, Inilah Akibat Anak Sering Dipukul dan Dibentak, Jangan Jadi Ibu Galak!

Naudzubillah, Inilah Akibat Anak Sering Dipukul dan Dibentak, Jangan Jadi Ibu Galak!




Karakter ‘galak’ tidak semata dimiliki oleh ibu saja. ‘Galak’ bisa pula tersematkan menjadi sebuah hiasan sikap yang nggegirisi dalam pribadi seorang ayah. Namun, melihat kedekatan anak dengan ibu yang secara fitrah jauh lebih lekat ketimbang dengan ayahnya, terutama di masa kanak-kanak, maka fenomena ‘ibu galak’ patut diperbincangkan secara serius.

Lebih serius lagi, kalau ternyata ayah dan ibu dalam sebuah keluarga sama-sama berkarakter galak dan keras dalam menyikapi perilaku anaknya. Sungguh, dentuman bentakan dan kegalakan yang terekspresikan dalam sikap ayah dan ibu, akan menjadi sebuah pupuk perdana yang akan menyemaikan watak keras dan nakal dalam diri anak. Dan, kerasnya anak maupun nakalnya anak merupakan bencana kehidupan bagi ayah-ibunya!

Dampak Buruk Sikap Galak

Banyak faktor yang menyebabkan ibu bersikap keras terhadap anaknya. Kondisi keluarga yang sedang dirundung masalah, atau suasana batin ibu yang tertekan oleh berbagai problema, sangat berpotensi memekarkan ‘sikap galak’ pada diri ibu. Sesekali bersikap keras mungkin masih bisa ditolerir, namun jika kegalakan itu hampir setiap hari ditembakkan kepada anaknya, maka jangan berharap kelembutan dan kesantunan budi akan menghiasi kepribadian anak Anda. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mememerintahkan pada kita untuk bersikap lembut dan kasih sayang? Beliau bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, kasih sayang dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR. Bukhari)

Salah satu bentuk kegalakan yang sering dilakukan oleh orang tua adalah mengeluarkan kata-kata kasar dan ungkapan-ungkapan buruk yang ditujukan kepada si anak. Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya Siyasat Tarbawiyyah Khathi’ah mengutip beberapa contoh kalimat yang kerapkali diucapkan para orang tua –umumnya ketika sedang marah– dan disinyalir dapat melukai jiwa anak. Yakni ungkapan-ungkapan seperti, “Goblok!”, “Kamu tolol!”, “Diam, dungu!”, “Kemarilah, hai anak nakal!”, “Kamu seperti keledai, tidak paham juga!”, “Aku tidak merasa bangga kamu jadi anakku!”, “Kamu orang paling bodoh yang pernah saya lihat!”, “Mengapa kamu tidak seperti adikmu!”, dan lain sebagainya.

Kalimat-kalimat semacam itu, menurut Rasyid Dimas, sangat berbahaya bagi jiwa dan pertumbuhan sel otak anak, dan hendaknya dihindari oleh para orang tua. Kalimat-kalimat seperti itu jika terlalu sering diucapkan akan menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan diitindas, sehingga menyebabkan luka di dalam jiwanya.

Luka tersebut tidak akan hilang dalam waktu yang cepat, melainkan akan menempel kuat dan membuat parit yang dalam pada perasaan dan jiwanya. Dan itu akan menghambat proses perkembangan jiwa si anak dan membuatnya menjadi orang yang introvert (tertutup), murung, merasa tidak aman dan membenci diri sendiri; serta akan menumbuhkan sikap aproiri, pembangkang, frustasi, pasif dan suka bermusuhan dengan orang lain. Yang lebih parah lagi, hal itu akan memangkas rasa percaya diri dan motivasi anak, sehingga anak menjadi mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.

Melihat efek negatif sikap galak terhadap kejiwaan anak, maka ibu (maupun ayah) dituntut harus bisa mengerem dan menahan diri. Jangan sampai kegalakan itu cepat tersulut setiap waktu, sehingga anak kerapkali menjadi bulan-bulanan kemarahan dan sikap keras orang tua. Kalau ini yang terjadi, maka sungguh kasihan si anak!!

La Taghdhab!

Islam sebenarnya telah mengajarkan kepada kita untuk menghindari sifat marah dalam hidup ini, apalagi itu ditujukan kepada anak. Diriwayatkan dari Abu Hurairah a, bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi n, “Berilah wasiat kepadaku.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki tersebut mengulang-ulang perkataannya beberapa kali. Beliau pun selalu menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari)

Seseorang mendatangi Ibnul Mubarak –semoga Allah merahmatinya– dan berkata, “Coba rangkumkan akhlak yang baik dalam satu kalimat!” Maka, Ibnul Mubarak menjawab, “Hindari marah!”

Sungguh, wasiat la taghdhab (jangan marah) yang disampaikan oleh Nabi kepada kita, akan membawa kemaslahatan yang berlimpah jika kita bisa ‘membumikannya’ dalam realitas kehidupan kita, termasuk dalam keluarga kita. Seorang ibu yang mengedepankan kelembutan dan membuang jauh-jauh kegalakan saat berinteraksi dengan anaknya, akan lebih berpeluang menggapai kesuksesan dalam mencetak anak shalih-shalihah. Karena, Allah Ta’ala akan mencintai dan mencurahkan kebaikan kepada keluarga yang dinaungi oleh sifat kelembutan. Nabi n bersabda, “Sesungguhnya Allah jika mencintai penghuni sebuah rumah, Dia akan menanamkan kepada mereka sikap lemah-lembut.” (HR. Ibnu Abi Dunya dan selainnya, terdapat dalam Shahihul Jami’, no. 1704)

Tips Meredam Kegalakan

Apabila suatu ketika, karena beberapa faktor, ketegangan tak dapat dihindarkan, marah telah membuncah, emosi telah meninggi, dan kegalakan telah terpancing untuk diledakkan, maka Islam memberikan tips syar’i untuk meredam kemarahan. Yang jelas, pertama kali, ia harus segera sadar bahwa marah adalah penyakit kronis yang akan menimbulkan berbagai bencana yang hebat. Lalu, hendaklah ia menjauhi hal-hal yang bisa semakin membakar emosinya, dan hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan.

Karena, pada hakikatnya, marah itu berasal dari setan. Berwudhu saat marah juga sangat positif untuk dilakukan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Maka, apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudhu.” (Sunan Abi Dawud, No. 4784, hal. 678)

Hendaklah ia tetap berada pada posisinya semula. Jika orang yang marah dalam kondisi duduk, maka janganlah ia berdiri, karena gerakan tertentu saat marah bisa membangkitkan emosi lebih besar lagi. Namun, mengubah posisi kepada yang lebih rendah lagi saat marah, bisa dilakukan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah dan ia sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk. Dan jika marahnya belum sirna dari dirinya, hendaklah ia berbaring” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Juga, hendaklah ia menahan diri dari berkata-kata saat sedang marah, karena ucapan yang meluncur dari bibir yang gemeretak karena marah, berpotensi untuk semakin menyulut emosi. Beliau bersabda, “Dan apabila salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah ia diam.” (HR. Ahmad)

Demikian. Semoga setelah membaca tulisan singkat ini, Anda tak lagi menjadi ibu yang galak. Anda akan berubah menjadi ibu yang ramah-menyejukkan saat berinteraksi dengan anak-anak dan suami Anda. Wallahul musta’an.
Next article Next Post
Previous article Previous Post