Astagfirullah, Pak Polisi!, Jangan Tembaki Ulama Kami

Astagfirullah, Pak Polisi!, Jangan Tembaki Ulama Kami

author photo
Suara tembakan menggelegar di atas langit Ibu Kota, tepat di Depan Istana. Mobil Barracuda itu menyemburkan cahaya yang bercabang ke atas langit dan kembali bercabang menukik mengkilat keemasan. “Blush..” asap menyebar melayang-layang menyergap hidung dan mata.

Astagfirullah, Pak Polisi!, Jangan Tembaki Ulama Kami


“Dor..” “dug..” Dor..” susulan tembakkan terdengar super keras berdebam. Takbir menggema di segala penjuru di hamparan Jalan Merdeka Barat selemparan batu dari Istana Negara kita. Polisi memegang pentungan dan perisai mulai merangsek maju.

Lampu – lampu mobil baja itu berkelap-kelip. Gemuruh riuh di sana-sini. “Brrrmmmm…” mobil Water Cannon itu mulai menderung menyemburkan ribuan kubik air tak henti-hentinya.

Takbir bercampur haru di tengah hampir satu juta massa Aksi Bela Islam atau Aksi Bela Al-Quran Jumat malam (04/11/2016) tepat pukul 19.30 WIB.

Inilah sedikit kericuhan aksi damai Aksi Bela Islam Jumat sore, 04 Nopember 2016 atau populer disingkat 411. Berdasarkan laporan pandangan mata di lapangan, aksi kericuhan diperkirakan dipicu banyak hal. Diantaranya bermula karena ketidak-pastian Presiden Joko Widodo menemui massa umat Islam yang menuntut penegakkan hukum atas dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

Sebelumnya, Bahtiar Nasir, Jurubicara Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) mengabarkan mereka hasil pertemuan dengan Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla bahwa sudah ada komitmen pemerintah memproses Basuki Tjahaja Purnama dalam waktu dua minggu.

Tenggat waktu yang dinilai lama ini rupanya ikut memicu kemarahan massa yang datang hampir dari seluruh propinsi di Indonesia.

“Kenapa Pak Presiden tidak mau menemui kami yang jumlahnya hampir satu juta orang? Sementara GIDI pelaku pembakaran Masjid di Tolikara justru diundang ke Istana?’ ujar seorang pria berbaju putih berjenggot tipis.

Kericuhan lain diduga dipicu kepanikan perwakilan Himpunan Mahasiswa Muslim (HMI) MPO   di posisi depan dengan teriakan dan lemparan-lemparan benda.  Kala itu, posisi HMI terjepit di depan massa.

Massa mulai panik ketika dimulai tembakan gas air mata di tengah massa.

“Jangan tembak kami, jangan tembak kami,” kata massa dengan tenang. Namun, suara-suara minor itu terkalahkan dengan suara menggelegar yang memenuhi awan. “dor..dor..dor..” Berpuluh-puluh gelegar menggantung di atas langit Jakarta.

Korban gas air mata banyak terjadi di pihak massa Aksi Bela Al-Quran.

Air mata menggeliat tak terasa dari sudut mata. “Ya Rabb…itu kiai dan habib kami ditembaki,” ujar seorang peserta massa melihat mengapa polisi menembaki kea rah mobil yang ditempati para tokoh Islam, kiai dan habaib. Termauk diantaranya ada KH Bachtiar Nasir, Arifin Ilham, Habib Rizieq Shihab dan beberapa lainnya.

Di atas mimbar, Habib Rizieq masih tak bergeming dan tetap menenangkan massa.

“Apa salah para ulama kami ya Allah,” lirih massa lainnya. Sementara massa terus menutup hidung dan mengucek mata. Hawa yang memekakkan mata membuat air mata terus berderai. Sebagian lari mencari tempat aman.

Para jurnalis terhenyak, menutup telinga, suara tembakkan yang berseru tak berhenti sekejappun. Semua menepi, mulai mengoleskan secuil odol di kantung-kantung mata dan apasaja yang bisa menjadi pengaman tubuh. Sebagian membasahi wajahnya dengan air. Gas air mata sudah mengambang di pelataran Medan Merdeka.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar, “teriak para wartawan yang ketakutan.

Sementara itu, di atas pick up, para ulama terus berseru takbir, beristigfar bahkan sempat menyeru melafalkan Kalimat Tauhid. “Lailahailallah..lailahailallha..lailahailallah..” ujar suara Habib Rizieq. Sementara tembakan gas air mata tak berhenti dan beberapa peserta aksi ada yang tumbang.

Nampaknya, seruan jangan tembak menguap dan sirna di udara malam yang semakin memanas. Satu per satu peserta aksi tumbang, mual, hingga batuk-batuk dan muntah. Nyala keemasan menyala di atas langit, membentuk kabut merah.

Gemuruh semakin hebat. Massa hanya bisa pasrah ditembaki hingga para kiai dan tokoh-tokoh Islam yang  berdiri di mobil komando Aksi Bela Islam. Kalimat takbir, tahlil, tahmid masih terus terlafal. Habib Rizieq bahkan masih berkali-kali menenangkan massa sambal berlafal kalimat tauhid lirih.

Tiba-tiba suara ketukan mikrophone  menggelegar. “Saya Panglima TNI, semua dengarkan saya, komando ada di saya,” ujar Jenderal TNI Gatot berusaha menenangkan suasana di tengah tembakkan yang terus terjadi. “Ini ada Kapolri ingin bicara, coba dengarkan,” kata Panglima TNI menyerahkan mikrophone ke Kapolri.

“Saya Tito Karnavian, Kapolri kalian, kepada setiap anggota kepolisian tolong hentikan tembakan,” kata Jenderal Tito yang datang memerintahkan kepada anggotanya untuk tak menembak. Bukannya mereda, suara tembakan justru semakin banyak.

“Tolong dengarkan saya sebagai Kapolri, hentikan tembakkan sekarang juga,” kata Tito kembali mengulang.

Namun, imbauannya tak digubris, suara tembakkan masih terus menggelegar. Polisi masih terus menembaki demonstran.

Jam 20.30 WIB suasana makin tak terkendali, massa sebagian mundur dan banyak terluka, terutama kena pengaruh gas air mata.

Pukul 21.00 malam massa umat Islam  menarik diri beristirahat di Masjid Istiqlal, sebagian terus melaku menuju Kantor DPR-MPR Jalan Gatot Subroto – Jakarta untuk menginap dan beristirahat. Sementara itu, suasana sekitar Istana Negara mulai sepi.

Pukul 12.00 malam, Presiden Joko Widodo memberi pernyataan langsung di depan TV dan mengucapkan terima kasih pada pada kiai, habaib dan ustad atas aksi damai yang berjalan tertib juga aparat yang mampu mengawal aksi damai. Namun ia menyayangkan ada aksi di luar massa Aksi Bela Islam usai shalat Isya’ yang menurutnya ditunggangi aktor politik.*/Laporan pandangan mata wartawan JITU, Rizki L, M Pizzaro dan Daus
Next article Next Post
Previous article Previous Post