Kisah Sahabat Nabi: Anak Kecil Ini Berani Menghunuskan Pedang Pada Ayahnya Sendiri

Kisah Sahabat Nabi: Anak Kecil Ini Berani Menghunuskan Pedang Pada Ayahnya Sendiri

author photo
KabarMakkah.Com - Kisah sahabat Nabi berikut ini menggambarkan bagaimana kecintaan anak-anak pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Subhanallah, mereka tidak rela jika Nabi yang mereka cintai dihina sedemikian rupa oleh orang lain. Seperti kisah 2 anak kecil di bawah ini yang kiranya bisa dijadikan suri tauladan, bahkan oleh kita sebagai orang dewasa.

Abdullah bin Ubay ialah seorang munafik yang pintar menunjukkan pada orang-orang bahwa dia adalah muslim sejati. Pada tahun ke-5 Hijriah terjadi peperangan Bani Musthaliq yang dipicu dari pertengkaran seorang Muhajir dan seorang Anshar. Melihat ketegangan diantara dua kaum muslimin itu, Abdullah bin Ubay mengambil kesempatan untuk membuat suasana semakin panas.

Kisah Sahabat Nabi: Anak Kecil Ini Berani Menghunuskan Pedang Pada Ayahnya Sendiri

Dia berkata pada kaum Anshar: “Apa yang kalian lakukan? Kalian mengizinkan orang-orang ini (Muhajirin) tinggal di sini. Kalian memberikan harta kalian kepada mereka. Jika kalian menghentikan bantuan kepada mereka sekarang juga,tentu mereka akan meninggalkan kota Madinah ini. Demi Allah, kita sebagai orang yang terhormat akan mengusir mereka yang hina untuk meninggalkan Madinah”.

Seorang anak kecil bernama Zaid bin Arqom menyaksikan peristiwa tersebut. Dia merasa tidak senang atas ucapan Abdullah bin Ubay. Dia berkata: “Demi Allah, kamulah yang hina, kamu hina dalam pandangan kaummu. Tidak akan ada yang bersedia membantumu. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah seorang yang terhormat. Bahkan menurut Allah pun beliau terhormat dalam pandangan kaumnya”.

Abdullah bin Ubay menyahut: “Sssst.... diamlah. Saya hanya bercanda”.

Namun Zaid bin Arqom tidak merasa puas. Dia melaporkan hal ini pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Mendengar laporan tersebut, Umar Radhiyallahu ‘Anhu marah dan meminta izin pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam untuk memenggal leher Abdullah bin Ubay.

Ketika Abdullah bin Ubay mengetahui bahwa Rasulullah telah mendengar perkataannya, dia segera menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan memberikan alasan-alasan bohong.

Dia berkata: “Ya Rasulullah.... saya tidak pernah berkata demikian. Zaid telah memfitnah saya.”

Sebagian orang yang ada di situ membela Abdullah bin Ubay. Mereka berkata: “Ya Rasulullah, Abdullah adalah pembesar kaum kami dan dia adalah orang yang terhormat. Bagaimana kita dapat mempercayai ucapan anak kecil itu? Mungkin dia salah mendengar atau salah memahaminya.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menerima pembelaan mereka. Berita ini pun sampai di telinga Zaid. Dia begitu kecewa karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam malah menerima sumpah palsu Abdullah bin Ubay yang menyatakan dirinya tidak bersalah dan malah menuduh bahwa Zaid memfitnahnya.

Akhirnya Zaid pun meninggalkan majelis Rasulullah dan tidak pernah menghadirinya lagi. Akan tetapi, Allah menurunkan pertolongan-Nya dengan turunnya wahyu Qur’an surat Al Munafiqun pada Nabi Muhammad. Dengan turunnya surat tersebut, terbongkarlah kebohongan Abdullah bin Ubay, dan terbuktilah bahwa Zaid yang benar.

Kebetulan Abdullah bin Ubay tengah pergi ke luar kota Madinah. Ketika ia kembali dan hendak memasuki pintu gerbang Madinah, ia disambut oleh putranya sendiri yang bernama Abdullah juga. Namun ia begitu terkejut, putranya yang masih kecil itu bukannya menyambut dengan senyuman tapi justru menyambutnya dengan hunusan pedang.

Putranya berkata: “Kamu tidak akan dapat memasuki Madinah sebelum kamu menyatakan bahwa dirimulah yang bersalah dan kamu adalah orang yang hina, sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah orang yang terhormat.”

Keterkejutan Abdullah bin Ubay semakin bertambah mendengar ucapan putranya itu. Padahal putranya adalah anak yang shaleh yang selama ini selalu menghormatinya. Akhirnya Abdullah bin Ubay terpaksa beriqrar: “Saya adalah orang yang hina dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang terhormat.” Setelah mengucapkan pengakuan itu, barulah dia dapat memasuki kota Madinah.

Demikianlah kecintaan anak-anak di zaman Nabi terhadap diri Rasul utusan Allah. Mereka berani melawan orang dewasa, bahkan ayahnya sekali pun. Kecintaan yang begitu besar hingga tidak rela Nabinya ada yang menghina. Maka seberapa besarkah kecintaan kita terhadap Rasulullah dibandingkan anak-anak ini?

Next article Next Post
Previous article Previous Post