Menguji Doktrin Sakti HTI

Menguji Doktrin Sakti HTI

author photo
Beberapa kali terlibat dalam diskusi dengan HTI, maka meme seperti ini selalu muncul. Ini semacam kartu As teman-teman HTI dalam berdiskusi, untuk mematahkan hujjah yang tidak sesuai dengan fikrah HTI. Perlu diketaui, fikrah, sebagaimana yang tergambar dalam meme ini termasuk materi-materi dasar dalam program halaqah HTI.

Menguji Doktrin Sakti HTI


Melalui pintu inilah, seorang pelajar SMA / mahasiswa menolak semua sistem dan hanya mau mengikuti sistem khilafah versi HTI. Artinya, mematahkan doktrin ini sama dengan menghancurkan pondasi pengaderan HTI yang paling asasi.

Sebuah premis dan gagasan itu perlu diuji dengan logika dan akal sehat. Jangan disakralkan, karena Al Qur’an sekalipun menantang bagi siapapun yang ragu akan kebenaran yang dibawanya. Dengan segala hormat, sebaiknya meme ini jangan lagi diposisikan sebagai kartu sakti dalam berdiskusi. Karena akibatnya memang fatal, bisa jadi senjata makan tuan. Mari kita analisis bersama.

Pertama, demokrasi bukan ajaran nabi dan rasul. Tidak ada nabi yang mengajarkan demokrasi. Jawabannya betul. Kalau mau lebih vulgar, tidak ada ayatnya dan tidak ada dalilnya. Lalu apa yang diajarkan oleh nabi dan rasul?

Nabi dan rasul, menyerukan tentang tauhid. Inilah metode yang diikuti oleh ikhwan salafi. Nabi dan rasul mengajarkan tentang tata cara beribadah (fiqih dan lainnya), inilah yang diikuti oleh kaum nahdliyin. Nabi dan rasul membicarakan tentang iman dan amal sholeh, inilah jalan yang ditempuh oleh jama’ah tabligh. Dan banyak hal lainnya.

Pertanyaannya sekarang berbalik ke HTI, apakah nabi dan rasul mengajarkan tentang membuat negara? Mana ayat yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan khilafah islamiyah? Kalau masalah pentingnya kepemimpinan, dalilnya melimpah ruah. Tapi kalau tentang lembaga kekhilafahan? Ayolah, itu ijmak para shahabat saat di Saqifah Bani Sa’idah. Kalau mau dibahas, bisa panjang lebar dan luas. Butuh tulisan tersendiri.

Kedua, demokrasi adalah ajaran Plato. Jawabannya betul. Apakah ini membuat kita jadi tidak bisa mengadopsi dan mengharamkan sama sekali? Jawabannya tidak.

Dalam urusan keduniaan (muamalah dan lainnya) kaidahnya semua halal sampai ada dalil yang melarang. Dalam urusan ubudiyah, semua haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Nah, teman-teman HTI sering melihat dengan cara terbalik.

Antum a’lamu bi umurid dun-yakum. Dalam urusan dunia, yang penting tidak menabrak nash. Tidak masalah kita mengadopsi ide dan praktik pihak di luar Islam, tentu harus ditimbang maslahat dan mudharatnya. Strategi perang Khandak, stempel, penanggalan dan lainnya adalah contoh sederhana. Sangat berlebihan juga jika dalam urusan seperti ini dihukumi dengan konsep tasyabbuh.

Lalu dimana jatidiri islamnya? Jadi dalil syara sudah memberikan rambu kepada kita agar identitas keislaman tidak hilang. Segala sesuatu ditimbang dengan kacamata syariat. Ada yang diterima (tahmil), ada yang ditolak (tahrim) dan adapula yang harus dimodifikasi dan diubah (taghyir). Dan yang berhak melakukan hal itu adalah para ulama, bukan anak kemarin sore. Produk pesantren atau ma’had jurusan syariah, bukan produk doktrinasi dalam forum liqoat. Supaya tidak muncul fatwa-fatwa yang serampangan.

Ketiga, dalam demokrasi manusia yang membuat hukum, bukan Allah. So, yang jadi masalahnya di sini bukan hanya pemimpinnya nanti nonIslam, sekuler dan lainnya. Jawabannya, premis ini perlu dikaji lebih dalam.

Allah adalah Musyarri. Namun untuk menerjemahkan hukum yang masih global, ada keterlibatan manusia. Rasulullah juga Musyarri, hanya saja beliau senantiasa terbimbing oleh Allah. Para mujtahid juga musyarri karena merekalah yang memberikan kesimpulan hukum polanya bisa dengan shahib asy syari’at, bisa pula dengan model isthimbat.

Teman-teman HTI selalu memosisikan pembuat hukum kepada pemerintah. Tidak salah, tapi kurang tepat. Karena dalam perkara agama, kita tunduknya pada ulama, bukan umara. Karena itu, meskipun tidak ada undang-undang tentang sholat, kita masih bisa sholat. Karena aturannya ada dalam kitab-kitab fikih. Jikapun pemerintah ikut membuat regulasi (seperti undang – undang zakat) maka statusnya hanya penguat.

Demokrasi itu cuma sistem. Ibarat mesin, berlaku hukum GIGO. Jika yang dimasukkan sampah, produknya sampah. Jika yang dimasukkan emas, produknya juga emas. Jika diisi orang baik, demokrasi melahirkan pemimpin yang shaleh, menghasilkan DPR yang shaleh. Demikian pula sebaliknya.

Keempat, siapapun yang memimpin jalur demokrasi, maka tidak akan mau menerapkan syariat Allah, hukum Islam dan lainnya. Jawabannya, mari kita lihat faktanya dilapangan.

Teman-teman HTI menjadikan semua hal harus menjadi regulasi negara. Istilah bekennya, formalisasi syariat. Anehnya, dulu yang diserang dengan istilah ini adalah PKS, melalui produk hukum perda syariah. HTI aman-aman saja, karena berstatus sebagai penonton di luar pagar.

Menerapkan hukum Allah bisa dilaksanakan secara mandiri. Zina, riba dan lainnya bisa kita terapkan baik dalam skala pribadi, keluarga dan seterusnya. Tidak harus diformalkan dalam bentuk peratiran perundangan negara. Karena nanti di akhirat, yang akan dihisab atas hukum-hukum taklif juga manusia secara individu, bukan pemerintahan atau negara.

Menerapkan peraturan yang dilandasi nilai syariat juga bisa dilakukan dalam skala lokal. Mulai perdes sampai perda. Tidak harus dalam skala nasional. Dan tidak harus mengubah negara menjadi bentuk khilafah dulu baru bisa dijalankan. Kisah Bu Risma menutup lokalisasi Gang Dolly di Surabaya adalah contoh yang mudah. HTI malah tidak jelas keberadaannya. Padahal Surabaya adalah salah satu markas HTI.

Dan semuanya perlu penahapan. Monggo lah belajar sendiri tentang bagaimana tahap pensyariatan jihad, pensyariatan zakat dan puasa, pensyariatan sholat, pelarangan khamr dan riba dan lainnya. Pembahasannya bisa panjang, lebar dan luas. Di sini diuji bagaimana konsep social engineering sebuah harakah.
Kelima, oleh sebab itu demokrasi adalah bentuk kemaksiatan yang perlu dijauhi sama sebagaimana zina dan riba. Bahkan karena demokrasi, zina dibolehkan. Jawabannya, ini kesimpulan yang berlebihan. Yang membuat meme harus menghadirkan dalil yang kuat.

Mengharamkan itu bukan perkara ringan. Imam Malik bin Anas (gurunya Imam Syafi’i) selalu berkeringat takut jika ditanya masalah halal haram. Lain dengan produk harokah zaman sekarang. Sedikit-sedikit haram.

Dan ini adalah satu doktrin paling awal yang ditanamkan kepada syabab HTI. Bahwa demokrasi akan menghalalkan riba, zina dan lainnya. Padahal kenyataanya tidak selalu demikian. Ini pengandaian yang saat diuji dgn fakta tidak selalu paralel. Padahal kalau dalam dunia ilmiah, sebuah premis jika diuji di lapangan mendapatkan kenyataan yang tidak selalu sama, maka premisnya batal.

Dan bagaimanakah kita seharusnya berdakwah kepada sesama manusia? Ayolah, mari kita buka kitab sirah nabawiyah bareng – bareng. Yang diajarkan bukan masalah membentuk khilafah. Dan sampai Rasul wafat, tidak ada satu wasiat pun untuk membentuk khilafah. Yang ada, dakwah dimulai dengan tauhid, beriman kepada hari akhir dan seterusnya. Baru meningkat ke peribadatan, halal haram dan seterusnya.

Keenam, jadi jangan dekati tempat maksiat. Yaitu tempat produk – produk demokrasi. Jawabannya, fakta di lapangan menunjukkan banyak kontradiksi atas seruan di poin ini.

Jika memang menganggap suatu negeri yang menerapkan pola demokrasi sebagai negeri yang kufur sebagaimana pesan tersirat atas status meme ini, maka semestinya HTI melakukan hijrah. Bukan sekadar hijrah secara maknawi, tapi hijrah secara makani. Monggo dibaca tesisnya Dr Ahzami Sami’un Jazuli yang bertajuk Al Hijrah fil Qur’anil Karim. Panjang lebar dibahas tentang apa itu hijrah.

Khatimah

Kami menulis ini tergerak atas rasa cinta. Bukan kebencian. Pesan kami cuma satu: jika ingin belajar agama, belajarlah kepada para ulama. Agar kita tidak menjadi kaum ruwaibidhah. Afwan minkum.

Oleh: Eko Jun
Next article Next Post
Previous article Previous Post