Pagi itu, aku berniat membangunkan suami. Dengan nada yang lembut dan sentuhan setulus jiwa, aku memanggilnya dengan panggilan kesayangannya, “Mas, bangun. Sudah siang.” Agak lama. Tapi, aku tidak menyerah.
Suamiku pun langsung bangun. Tapi, wajahnya terlihat memerah. Dan seketika itu juga melontarkan kalimat kasar, bernada tinggi. “Apa sih? Ganggu orang aja. sedang tidur nyenyak nih!”
Karena penyakit jantung yang kuderita sejak dulu, kalimat kasar nan kencang itu laksana petir yang menyambar. Degubnya mengencang. Tubuhku pun bergetar hebat. Dalam sejenak, kaki suamiku itu melayang. Dan tepat mendarat di perutku.
Deg. Sempurna sudah deritaku. Padahal, aku sedang mengandung anak pertama. Usianya memasuki bulan keenam. Entah, mengapa suamiku tega menendangku dengan keras. Aku pun semakin limbung. Perasaan bercampur baur. Tak menentu. Komplikasi. Hingga, pikiran bawah sadarku seketika mengajak melakukan tindakan yang menurut suamiku itu sebagai pembangkangan: Kabur.
Aku tak bisa berpikir dengan jernih. Hanya mengikuti langkah kaki. Menuju terminal. Padahal, aku tak memiliki uang sepeserpun. Ikut suami di daerah Jawa Timur, sedangkan orangtua dan keluargaku di ujung propinsi Banten yang kala itu masih ikut Jawa Barat.
Entah.. Aku hanya ingin pergi. Ingin kembali pada bapak dan ibuku. Untuk melipur hati yang tergores dan fisik yang tersakiti.
Tak tahunya, suamiku mengejar. Ingin mencegah kepergianku. Aku tak tahu apa yang ada di benaknya. Bahkan, aku tak berani memastikan, apa dalam hatinya itu masih ada kelembutan atau tidak.
Namun, pikiranku seketika berubah saat menyaksikan air mata menetes di pipinya. Terlihat seperti menyesali. Bahkan, ia memohon-mohon seraya mencegah langkah dengan memegangi pahaku. Ia bersujud dan mengiba, agar aku tak pergi.
Dasar wanita, aku pun terbujuk rayunya. Kembali ke kontrakan. Tak ada yang kuharapkan, kecuali ketulusan yang kulihat dari tiap tetes air matanya saat itu. Harapku, ia benar-benar berubah dari sebelumnya.
Waktu pun berjalan. Perubahan itu hanya terhitung beberapa hari. Rupanya, ia menipuku. Bukannya berubah, sikap buruknya justru semakin menjadi-jadi dan bertambah ganas. Aku pun semakin nelangsa. Tapi, apa daya? Aku hanyalah seorang wanita. Ajukan cerai berarti ajukan diri menjadi janda. Sedang bertahan pun tak mudah.
Maka, aku hanya bisa berharap dalam tiap doaku; semoga dia berubah menjadi shalih seperti tampilannya saban hari di pengajian-pengajian. Hanya itu. Meski akhirnya, ia benar-benar tak berubah. Hingga kini.
*Seperti dikisahkan oleh seorang muslimah baik hati yang kala itu diuji melalui suaminya. (Keluargacinta.com)
Suamiku pun langsung bangun. Tapi, wajahnya terlihat memerah. Dan seketika itu juga melontarkan kalimat kasar, bernada tinggi. “Apa sih? Ganggu orang aja. sedang tidur nyenyak nih!”
Karena penyakit jantung yang kuderita sejak dulu, kalimat kasar nan kencang itu laksana petir yang menyambar. Degubnya mengencang. Tubuhku pun bergetar hebat. Dalam sejenak, kaki suamiku itu melayang. Dan tepat mendarat di perutku.
Deg. Sempurna sudah deritaku. Padahal, aku sedang mengandung anak pertama. Usianya memasuki bulan keenam. Entah, mengapa suamiku tega menendangku dengan keras. Aku pun semakin limbung. Perasaan bercampur baur. Tak menentu. Komplikasi. Hingga, pikiran bawah sadarku seketika mengajak melakukan tindakan yang menurut suamiku itu sebagai pembangkangan: Kabur.
Aku tak bisa berpikir dengan jernih. Hanya mengikuti langkah kaki. Menuju terminal. Padahal, aku tak memiliki uang sepeserpun. Ikut suami di daerah Jawa Timur, sedangkan orangtua dan keluargaku di ujung propinsi Banten yang kala itu masih ikut Jawa Barat.
Entah.. Aku hanya ingin pergi. Ingin kembali pada bapak dan ibuku. Untuk melipur hati yang tergores dan fisik yang tersakiti.
Tak tahunya, suamiku mengejar. Ingin mencegah kepergianku. Aku tak tahu apa yang ada di benaknya. Bahkan, aku tak berani memastikan, apa dalam hatinya itu masih ada kelembutan atau tidak.
Namun, pikiranku seketika berubah saat menyaksikan air mata menetes di pipinya. Terlihat seperti menyesali. Bahkan, ia memohon-mohon seraya mencegah langkah dengan memegangi pahaku. Ia bersujud dan mengiba, agar aku tak pergi.
Dasar wanita, aku pun terbujuk rayunya. Kembali ke kontrakan. Tak ada yang kuharapkan, kecuali ketulusan yang kulihat dari tiap tetes air matanya saat itu. Harapku, ia benar-benar berubah dari sebelumnya.
Waktu pun berjalan. Perubahan itu hanya terhitung beberapa hari. Rupanya, ia menipuku. Bukannya berubah, sikap buruknya justru semakin menjadi-jadi dan bertambah ganas. Aku pun semakin nelangsa. Tapi, apa daya? Aku hanyalah seorang wanita. Ajukan cerai berarti ajukan diri menjadi janda. Sedang bertahan pun tak mudah.
Maka, aku hanya bisa berharap dalam tiap doaku; semoga dia berubah menjadi shalih seperti tampilannya saban hari di pengajian-pengajian. Hanya itu. Meski akhirnya, ia benar-benar tak berubah. Hingga kini.
*Seperti dikisahkan oleh seorang muslimah baik hati yang kala itu diuji melalui suaminya. (Keluargacinta.com)