KabarMakkah.Com – Tak banyak wanita yang berani berhenti kerja untuk taat sepenuhnya pada suami. Namun mudah-mudahnya sedikitnya kisah ini bisa menyadarkan betapa ketaatan pada suami lebih mulia dibandingkan memiliki harta yang banyak dari hasil kerja.
Namaku Arini dan saat itu aku tengah duduk di teras Masjid sehabis menunaikan shalat Dzuhur sekaligus menunggu temanku yang akan mengajak ke sebuah toko buku. Terlihat dari ujung mataku ada seorang wanita berjilbab yang tengah berada di teras Masjid tersebut juga dan di sampingnya ada sebuah tas besar dan juga tas laptop yang biasa dipakai para wanita karir. Karena cuma aku dan dia saja yang tersisa di teras tersebut, akhirnya kuberanikan diri untuk mengajaknya mengobrol dengan sebelumnya kuucapkan salam pula.
“Assalamualaikum. Mbak lagi nunggu juga yah? Nunggu siapa?” Tanyaku.
“Waalaikumsalam…Saya lagi nunggu suami. Kalo Ukhti lagi nunggu siapa?” Tanyanya balik.
“Oh saya lagi nunggu teman, Mbak. Oh iya, maaf Mbak kerja dimana? Saya lihat Mbak bawa laptop dan juga tas kantoran gitu.” Tanyaku penasaran.
Wanita berjilbab tersebut menjawab dengan tenang dan penuh senyum“Baru 2 jam yang lalu saya berhenti kerja dan mulai mengabdikan diri pada suami dengan sepenuhnya.”
“Lho kenapa berhenti? Bukannya masih bisa Mbak, kita taat pada suami meski kita bekerja sebagai wanita karir juga?” Semakin penasaran aku terhadap jawaban tenang dari perempuan yang baru kukenal namun penuh keakraban tersebut.
“ Ukhti jika diperbolehkan, saya ingin berbagi cerita yang mudah-mudahan bisa menjadi sebuah pelajaran sekaligus hikmah bagaimana seorang muslimah bersikap terhadap suaminya.” Jawabnya
“Dulu saya seorang pekerja sebuah perusahaan yang memiliki gaji sekitar 8 juta perbulan. Gaji yang terhitung besar untuk sebuah pekerjaan di saat ini. Sementara itu saya menikah dengan suami yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang gerobakan yang memiliki penghasilan 800 hingga 1 juta setiap bulannya. Bisa dibayangkan bahwa dengan gaji saya yang tinggi, rasanya saya tak perlu lagi meminta nafkah dari suami. Namun suami saya selalu memberikan hasil usahanya dengan kata-kata yang lembut dan penuh”
“Umi ini ada uang titipan Allah melalui Abi semoga bisa cukup yah..” Begitulah kata suami dari Ukhti tersebut.
Selanjutnya ia menuturkan bahwa pada satu waktu dimana ia pulang kerja larut malam karena lembur, sudah dipastikan bahwa ia ingin segera beristirahat di kamar karena rasa lelah dan sedikit sakit kepala karena capenya pekerjaan. Ternyata sang suami pun juga pulang telat dan pulang dalam keadaan sakit. Suaminya hanya minta diambilkan segelas air minum untuk melepaskan sedikit rasa sakitnya. Namun karena rasa lelah juga yang menghinggap akibat pekerjaan, Ukhti tersebut justru malah berbicara “Ambil saja sendiri, saya juga tengah lelah dan ingin segera istirahat”.
Setelah Ukhti tersebut bangun sekitar jam 12 malam karena lupa menunaikan shalat Isya, ternyata semua piring telah dicuci bersih, pakaian juga telah dibersihkan. Siapa lagi kalau bukan suaminya yang melakukan semua hal tersebut. Lantas terlihat sang suami tengah tidur dan saat dipegang dahinya, sungguh sangat panas suhu tubuh dari suami ukhti tersebut.
Rasa penyesalan pun muncul karena melalaikan kewajiban untuk taat sepenuhnya pada suami. Kucuran air mata seakan tak bisa terhenti karena kebaikan dan kelembutan sang suami yang harus dibalas dengan kata-kata tak pantas Ukhti tersebut malam itu.
Setelah hari itu, ia niatkan untuk berhenti kerja untuk berkhidmat kepada sang suami, meski ia tahu bahwa penghasilan sang suami bisa dikatakan belum mencukupi. Namun setidaknya dengan taat kepada suami, sebuah keberkahan bisa terasa dalam keluarga.
Niat untuk berhenti kerja tersebut lantas ia bicarakan juga pada orangtua dan saudaranya. Namun benar saja, keluarga dan saudaranya justru menyalahkan kenapa ia harus berhenti kerja. Mereka juga menyalahkan tentang keputusan Ukhti tersebut yang lebih memilih suami yang tidak jelas penghasilannya meski dari segi kesolehan dan kebaikan sudah sangat terlihat jelas. Mereka lebih menyayangkan sikap sang suami yang menolak untuk dimasukkan kerja ke salah satu perusahaan karena sang suami lebih suka berdagang.
Alhasil tidak ada yang mendukung keputusan Ukhti tersebut. Namun ia tetap berkeyakinan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh yang Kuasa. Termasuk diantaranya adalah taat kepada suami sepenuhnya untuk mencapai keberkahan hakiki.
Sesaat setelah itu percakapan pun terhenti karena suami Ukhti tersebut telah menjemput dengan motor bututnya namun dengan raut muka yang penuh kasih sayang. Ukhti tersebut pun membalasnya dengan senyum penuh keikhlasan.
Semenjak itu aku pun mulai berpikir kembali tentang mencari pasangan yang benar menurut Islam. Kini kuhilangkan jauh-jauh dalam memilih pasangan yang banyak harta namun mengesampingkan agama dan akhlak.
Moga kita semua bisa memilih imam yang bisa menghantarkan kita bahagia di dunia dan di akherat kelak serta menjadikan rumah ibarat “Rumahku Surgaku”. Aamiin.
Namaku Arini dan saat itu aku tengah duduk di teras Masjid sehabis menunaikan shalat Dzuhur sekaligus menunggu temanku yang akan mengajak ke sebuah toko buku. Terlihat dari ujung mataku ada seorang wanita berjilbab yang tengah berada di teras Masjid tersebut juga dan di sampingnya ada sebuah tas besar dan juga tas laptop yang biasa dipakai para wanita karir. Karena cuma aku dan dia saja yang tersisa di teras tersebut, akhirnya kuberanikan diri untuk mengajaknya mengobrol dengan sebelumnya kuucapkan salam pula.
“Waalaikumsalam…Saya lagi nunggu suami. Kalo Ukhti lagi nunggu siapa?” Tanyanya balik.
“Oh saya lagi nunggu teman, Mbak. Oh iya, maaf Mbak kerja dimana? Saya lihat Mbak bawa laptop dan juga tas kantoran gitu.” Tanyaku penasaran.
Wanita berjilbab tersebut menjawab dengan tenang dan penuh senyum“Baru 2 jam yang lalu saya berhenti kerja dan mulai mengabdikan diri pada suami dengan sepenuhnya.”
“Lho kenapa berhenti? Bukannya masih bisa Mbak, kita taat pada suami meski kita bekerja sebagai wanita karir juga?” Semakin penasaran aku terhadap jawaban tenang dari perempuan yang baru kukenal namun penuh keakraban tersebut.
“ Ukhti jika diperbolehkan, saya ingin berbagi cerita yang mudah-mudahan bisa menjadi sebuah pelajaran sekaligus hikmah bagaimana seorang muslimah bersikap terhadap suaminya.” Jawabnya
“Dulu saya seorang pekerja sebuah perusahaan yang memiliki gaji sekitar 8 juta perbulan. Gaji yang terhitung besar untuk sebuah pekerjaan di saat ini. Sementara itu saya menikah dengan suami yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang gerobakan yang memiliki penghasilan 800 hingga 1 juta setiap bulannya. Bisa dibayangkan bahwa dengan gaji saya yang tinggi, rasanya saya tak perlu lagi meminta nafkah dari suami. Namun suami saya selalu memberikan hasil usahanya dengan kata-kata yang lembut dan penuh”
“Umi ini ada uang titipan Allah melalui Abi semoga bisa cukup yah..” Begitulah kata suami dari Ukhti tersebut.
Selanjutnya ia menuturkan bahwa pada satu waktu dimana ia pulang kerja larut malam karena lembur, sudah dipastikan bahwa ia ingin segera beristirahat di kamar karena rasa lelah dan sedikit sakit kepala karena capenya pekerjaan. Ternyata sang suami pun juga pulang telat dan pulang dalam keadaan sakit. Suaminya hanya minta diambilkan segelas air minum untuk melepaskan sedikit rasa sakitnya. Namun karena rasa lelah juga yang menghinggap akibat pekerjaan, Ukhti tersebut justru malah berbicara “Ambil saja sendiri, saya juga tengah lelah dan ingin segera istirahat”.
Setelah Ukhti tersebut bangun sekitar jam 12 malam karena lupa menunaikan shalat Isya, ternyata semua piring telah dicuci bersih, pakaian juga telah dibersihkan. Siapa lagi kalau bukan suaminya yang melakukan semua hal tersebut. Lantas terlihat sang suami tengah tidur dan saat dipegang dahinya, sungguh sangat panas suhu tubuh dari suami ukhti tersebut.
Rasa penyesalan pun muncul karena melalaikan kewajiban untuk taat sepenuhnya pada suami. Kucuran air mata seakan tak bisa terhenti karena kebaikan dan kelembutan sang suami yang harus dibalas dengan kata-kata tak pantas Ukhti tersebut malam itu.
Setelah hari itu, ia niatkan untuk berhenti kerja untuk berkhidmat kepada sang suami, meski ia tahu bahwa penghasilan sang suami bisa dikatakan belum mencukupi. Namun setidaknya dengan taat kepada suami, sebuah keberkahan bisa terasa dalam keluarga.
Niat untuk berhenti kerja tersebut lantas ia bicarakan juga pada orangtua dan saudaranya. Namun benar saja, keluarga dan saudaranya justru menyalahkan kenapa ia harus berhenti kerja. Mereka juga menyalahkan tentang keputusan Ukhti tersebut yang lebih memilih suami yang tidak jelas penghasilannya meski dari segi kesolehan dan kebaikan sudah sangat terlihat jelas. Mereka lebih menyayangkan sikap sang suami yang menolak untuk dimasukkan kerja ke salah satu perusahaan karena sang suami lebih suka berdagang.
Alhasil tidak ada yang mendukung keputusan Ukhti tersebut. Namun ia tetap berkeyakinan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh yang Kuasa. Termasuk diantaranya adalah taat kepada suami sepenuhnya untuk mencapai keberkahan hakiki.
Sesaat setelah itu percakapan pun terhenti karena suami Ukhti tersebut telah menjemput dengan motor bututnya namun dengan raut muka yang penuh kasih sayang. Ukhti tersebut pun membalasnya dengan senyum penuh keikhlasan.
Semenjak itu aku pun mulai berpikir kembali tentang mencari pasangan yang benar menurut Islam. Kini kuhilangkan jauh-jauh dalam memilih pasangan yang banyak harta namun mengesampingkan agama dan akhlak.
Moga kita semua bisa memilih imam yang bisa menghantarkan kita bahagia di dunia dan di akherat kelak serta menjadikan rumah ibarat “Rumahku Surgaku”. Aamiin.