Mengenang KH. Ali Mustafa Yaqub: 'Wahabi dan NU Sama, Jangan Dibenturkan!'

Mengenang KH. Ali Mustafa Yaqub: 'Wahabi dan NU Sama, Jangan Dibenturkan!'

author photo
Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi mengusulkan agar kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di Indonesia.

Mengenang KH. Ali Mustafa Yaqub: 'Wahabi dan NU Sama, Jangan Dibenturkan!'


Hal itu karena selama ini dikesankan bahwa paham Wahabi yang dianut oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi itu berseberangan dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia.

Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU. Banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari sumber-sumber lain yang bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebaliknya, banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi.

Akibatnya, sejumlah orang Wahabi hanya melihat sisi negatif NU dan banyak orang NU yang melihat sisi negatif Wahabi. Penilaian seperti ini tentulah tidak objektif, apalagi ada faktor eksternal, seperti yang tertulis dalam Protokol Zionisme No 7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk menciptakan konflik dan kekacauan di seluruh dunia dengan mengobarkan permusuhan dan pertentangan.

Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca kitab-kitab yang menjadi rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan.

Sementara untuk mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, kita harus membaca, khususnya kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah dan lain-lain. Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih dari 20 poin persamaan ajaran antara Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan imam Ibnu Taymiyyah.

Bahkan, seorang kawan yang bukan warga NU, alumnus Universitas Islam Madinah, mengatakan kepada kami, lebih kurang 90 persen ajaran Nahdlatul Ulama itu sama dengan ajaran Wahabi.

Kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal yang selama ini dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi dan NU. Orang yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, maka ia tentu akan terkejut.

Namun, bagi orang yang mengetahui Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, mereka justru akan mengatakan, "Itulah persamaan antara Wahabi dan NU, mengapa kedua kelompok ini selalu dibenturkan?"

Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan itu adalah sebagai berikut. Pertama, sumber syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU, adalah Alquran, hadis, ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh keduanya adalah hadis yang sahih kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir.

Karenanya, baik Wahabi maupun NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi dan orang saleh pada hari kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu terdapat dalam hadis-hadis sahih.

Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat Islam, baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan shalat Tarawih 20 rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali, dan kami tidak menemukan shalat Tarawih di Saudi di luar 20 rakaat.

Ketika kami coba memancing pendapat ulama Saudi tentang pendapat yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu sama dengan shalat Zhuhur lima rakaat, ia justru menyerang balik kami, katanya, "Bagaimana mungkin shalat Tarawih 20 rakaat itu tidak benar, sementara dalam hadis yang sahih para sahabat shalat Tarawih 20 rakaat dan tidak ada satu pun yang membantah hal itu." Inilah ijma para sahabat.

Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut satu mazhab dari mazhab fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU bermazhab salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Baik Wahabi (Imam Ibnu Taymiyyah) maupun NU (Imam Muhammad Hasyim Asy’ari), sama-sama berpendapat bahwa bertawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh) itu dibenarkan dan bukan syirik.

Kendati demikian, Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mensyaratkan bahwa dalam berdoa dengan tawasul menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh, kita tetap harus yakin bahwa yang mengabulkan doa kita adalah Allah SWT, bukan orang yang namanya kita sebut dalam tawasul itu. Wahabi dan NU sama-sama memercayai adanya karamah para wali (karamat al-awliya) tanpa mengultuskan mereka.

Memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara Imam Ibnu Taymiyyah dan Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun, perbedaan itu sifatnya tidak prinsip dan hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi dan NU.

Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah.

Wahabi dan NU adalah dua keluarga besar dari umat Islam di dunia yang harus saling mendukung. Karenanya, membenturkan antara keduanya sama saja kita menjadi relawan gratis Zionis untuk melaksanakan agenda Zionisme, seperti tertulis dalam Protokol Zionisme di atas. Wallahu al-muwaffiq. (Titik Temu Wahabi-NU/KH. Ali Mustafa Yaqub/Republika)


KH. Ali Mushofa Ya'qub Tegas Terhadap Kesesatan Syiah

KH. Dr. Ali Musthofa Ya’qub M.A.,saat menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, sangat tegas berbicara tentang kesesatan dan bahaya Syiah. Dia dikenal sebagai tokoh Umat yang sangat lugas dan tegas dalam membela Islam dan Umat Islam. Kiai juga tak segan mengingatkan bahaya Syiah bagi Umat dan NKRI. Dirinya mengaku kecolongan saat ada pendeta Syiah berbicara di Masjid Istiqlal.

Kiai Ali Musthofa pernah mengatakan ceramah pendeta Syiah di Masjid Istiqlal yang meresahan kaum Muslimin Ahlus Sunnah sudah masuk dalam kategori membahayakan NKRI.

“Memang benar, ada ulama Syi’ah dari Iran yang memberikan ceramah di masjid Istiqlal hari Jum’at Kemarin. Cuma yang mempunyai wewenang untuk memberikan izin itu bukan saya tetapi Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal di bawah pengawasan Kementerian Agama,” kata Kiai Musthofa lansir hidayatullah.com, Sabtu (22/11/2014).

Menurutnya, ceramah salah satu pendeta Syi’ah asal Iran di Masjid Istiqlal hari Jum’at (21/11/2014) lalu telah membuat keresahan kalangan umat Islam, khususnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Dia membenarkan bila acara itu diadakan di Masjid Istiqlal pada hari Jumat kemarin, di mana ketika itu dirinya sedang ada urusan ke Pontianak. Awalnya informasi yang dia terima ada dua tamu, satu imam Masjid Kubah (Madinah), satunya lagi dari Iraq. Rupanya setelah datang dari Pontianak dia baru faham jika yang ceramah itu justru dari Iran, bukan dari Iraq.

Kiai Ali Musthofa mengatakan dirinya sudah berulangkali memberikan masukan kepada Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal untuk tidak memberikan kesempatan kepada ulama Syi’ah untuk berceramah di Masjid Istiqlal karena hal itu hanya akan menimbulkan kontroversi, kecuali hanya untuk melaksanakan shalat saja.

“Silahkan memberikan izin kepada tamu dari Iran (orang-orang Syi’ah,red) untuk melaksanakan shalat di masjid Istiqlal tapi jangan sampai memberikan kesempatan berceramah karena akan membahayakan umat Islam,” tegasnya mengulang nasehatnya yang diberikan kepada Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal Jakarta.

Apalagi menurut Kiai sudah jelas bahwa Syi’ah sendiri merupakan ancaman terbesar yang membahayakan umat Islam, khususnya NKRI. Jadi jangan sampai memberikan kesempatan kepada orang-orang Syiah untuk angkat bicara berceramah di masjid Istiqlal.

Hanya saja nasehatnya sering tidak diindahkan. Apalagi, kewenangan memberikan izin tamu-tamu internasional untuk berceramah di masjid Istiqlal Jakarta dipegang oleh Ketua Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal, langsung dalam pengawasan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) RI, ujar Kiai.

Karena itu Syiah bergembira atas digantinya KH Ali Mustafa Yaqub sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Hal itu dinyatakan lewat akun IJABI Pusat @ijabipp. KH Ali Mustafa Yaqub dicopot sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Jum’at, 22 Januari 2016, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengukuhkan Nasaruddin Umar, pendukung Islam liberal sebagai imam besar Masjid Istiqlal Jakarta menggantikan KH Ali Mustafa Yaqub.

Bongkar liberal dan Syiah di PBNU

Kia Ali juga pernah mengungkapkan bahwa aliran sesat Syi’ah dan kelompok Islam Liberal (Islib) sudah masuk dan menyusup ke salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni PBNU pimpinan Said Agil Siroj.

“Ada pengurus PBNU yang selalu membela Syi’ah dan selalu hadir dalam acara-acara Syi’ah. Paling tidak dia selalu hadir dalam acara Asyura dan selalu menjadi pembicara utama,” kata Ali Mustafa kepada bangsaomline.com, Jum’at (24/4/2015).

Menurutnya berbeda dengan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang toleran terhadap perbedaan, aliran sesat Syi’ah hanya memberi dua pilihan.

“Ikut saya atau saya bunuh,” ujar Ali Mustafa mencontohkan doktrin paham dan ajaran Syi’ah. Karena itu menurut dia, Syi’ah sangat bahaya jika berkembang di Indonesia.

Kiai Ali Mustafa mengungkapkan, indikasi aliran sesat Syi’ah sudah masuk ke dalam PBNU sangat jelas. “Dulu Jamiyatul Qurra Wal Huffadz (Jamqur) pernah kerjasama dengan Syi’ah, saya sempat baca MoU-nya. Tapi akhirnya ketahuan lalu dibatalkan,” ungkapnya.

MoU (Memorandum of Understanding) atau nota kesepahaman antara PBNU dengan Syi’ah ini sempat heboh. Banyak media online melansir berita MoU PBNU dengan Universitas al-Mustafa al-‘Alamiyah, Qom, Iran itu.

Dokumen kerjasama di bidang pendidikan, riset dan kebudayaan itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Syuriah PBNU. Dokumen tertanggal 27 Oktober 2011 itu dibuat dalam dua bahasa, Persia dan Indonesia. KH Sahal Mahfudz yang saat itu menjabat sebagai Rais ‘Aam marah dan membatalkan MoU tersebut.
Next article Next Post
Previous article Previous Post