Mengenang Kembali Alm Uje, Dari Maksiat Menjadi Ustadz

Mengenang Kembali Alm Uje, Dari Maksiat Menjadi Ustadz

author photo
Pagi dini hari Jum’at, 15 Jumadil Akhir 1434 H/ 26 April 2013 M, sekitar pukul 01.00 WIB, sebuah motor sport Kawasaki ER 650 CC bernomor polisi B 3590 SGQ melaju dari kawasan Kemang. Motor berwarna hijau itu melintas di Bundaran Pondok Indah arah jalan Gedong Hijau Raya. Tepat di depan rumah nomor 17 PB-38, motor tiba-tiba oleng. Sang pengendara motor terhunyung jatuh.

Ia kehilangan kontrol kendali motor dan menabrak trotoar samping kiri sebelum membentur pohon palem. Pengendara motor itu pun terpental 3 - 4 meter ke depan dalam posisi telungkup. Helmnya terlepas. Sang pengendara itu baru diketahui ternyata dai muda kondang yang akrab disapa Uje, ustad Jefri Al Bukhori.

Kasubdit Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Darmanto menduga pengendara mengantuk dalam posisi laju yang kencang.

Uje sempat dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah dan dipindahkan ke Rumah Sakit Fatmawati. Tapi nyawanya sudah ditakdirkan kembali ke sisi Allah SWT. Ia meninggal dalam usia 40 tahun.

Pelajaran Masa Lalu

Almarhum Ustad Jefri Al Bukhori semasa hidupnya memiliki nama populer Uje. Dilahirkan di Jakarta, 12 April 1973, kehidupan Uje penuh dengan dinamika. Ia melalui proses panjang sebelum kemudian dikenal sebagai seorang pendakwah atau ustad yang tampil mengemas bahasa dakwahnya dengan bahasa-bahasa anak muda. Ustad Gaul demikian kira-kira masyarakat menyebutnya.

Perjalanan hidup Jefry Al Buchori sungguh dahsyat. Penuh gejolak dan tikungan tajam. Proses pergulatan yang luar biasa ia alami sampai ia menemukan kehidupan yang tenang dan menenteramkan.

Ustad Jefri Al Bukhori
Uje Bersama Istri


Uje lahir dengan nama lengkap Jefry Al Buchori Modal pada 12 April 1973 di Jakarta. Waktu lahir, keluarganya sudah menetap di Jakarta. Uje terlahir sebagai anak tengah, anak ke-3 dari lima bersaudara. Tiga saudara kandungku laki-laki, dan si bungsu adalah perempuan.

Apih (panggilan Uje untuk ayahnya_red), M. Ismail Modal, merupakan pria bertubuh tinggi besar asli Ambon, sedangkan sang ibu, Tatu Mulyana asli Banten.

Berada di lingkungan keluarga yang taat agama membuat Uje menyukai pelajaran agama. Sewaktu kelas 5 SD, ia pernah ikut kejuaraan MTQ sampai tingkat provinsi. Selain agama, pelajaran yang juga disukai Uje adalah kesenian. Setelah kenaikan kelas 3, Uje langsung melompat ke kelas 5. Tidak tahu kenapa alasannya.

Saat masih duduk di bangku sekolah kelas 3-5 SD Uje pernah meraih prestasi sebagai Juara MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) sampai tingkat provinsi. Setelah lulus SD, bersama kedua kakaknya, Alm. Ustad H. Abdullah Riyad dan Ustad H. Aswan Faisal, melanjutkan studinya di Madrasah Pondok Pesantren Daar Al-Qolam, Gintung, Jayanti.

Semenjak masuk di Pesantren inilah, Uje mulai nakal. Di pesantren, ia sering berulah. Kabur dari pesantren untuk main atau nonton di bioskop adalah hal biasa dulu dilakukannya. Hukuman kepala dibotaki menjadi langganannya.

Dalam memoar yang dikisahkannya, Uje seperti merasa punya kepribadian ganda. “Di satu sisi aku nakal, di sisi lain keinginan untuk melantunkan ayat-ayat suci begitu kuat. Tiap ada kegiatan keagamaan, aku selalu terlibat,” tulisnya dalam kisahnya.

“Tinggal dalam lingkungan pesantren, kelakuan burukku bukannya berkurang, malah makin menjadi. Puncaknya, aku sudah bosan bersekolah di pesantren,” katanya mengisahkan masa lalunya.

Pada akhirnya, hanya empat tahun Uje betah di pesantren. Dua tahun sebelum menamatkan pelajaran, ia keluar. Ia pindah ke sekolah aliyah (setingkat SMA_red). Rupanya keluar dari pesantren juga tidak membuatnya lebih baik. Beranjak remaja Uje justru jadi makin nakal.

Di masa inilah Uje remaja mulai mengenal narkoba. Dia sering kabur dan pergi tanpa tujuan yang jelas. Ibarat burung yang lepas dari sangkar, terbang tak terkendali. Masa SMA seperti masa yang suram yang baginya. Di masa SMA, ia hampir tak punya teman sebaya. Ia lebih sering bergaul dengan pemuda berusia 20 tahunan. Berpacaran pun dengan yang lebih tua. Hanya bertahan setahun, ia pindah ke SMA lain.

Di tempat yang baru ia mulai mengenal dunia malam. Ia mengenal dunia ini di usia 16 tahun. Baginya saat itu, diskotek lebih menarik daripada sekolah dan apapun. Bertualang dari diskotik satu ke diskotik lain, Uje remaja sampai larut sebagai seorang penari (dancer). Bahkan ia beberapa kali berhasil memboyong piala ke rumah sebagai the best dancer. Dengan segala kenakalannya, tahun 1990 Uje masih mampu lulus SMA.

Tahun 1990, Uje mulai kenal dunia film. Ia pertama kali bermain dalam sinetron Pendekar Halilintar. Mengetahui Uje bermain sinetron, ayahnya mati-matian menentang. Ayahnya merasa tahu persis bagaimana lingkungan dunia film. Ayah Uje sendiri pernah bermain dalam film action Macan Terbang dan Pukulan Berantai.

Ditentang sang ayah tak membuatnya surut. Nasihat ayahnya tak lagi dia dengarkan. Sementara tawaran main sinetron yang berdatangan membuatnya makin yakin dengan jalan hidupnya. Akhirnya konflik antara dia dan orang tua.

Meski konflik dengan orangtua, kariernya di dunia seni peran terus melaju. Uje bahkan mendapat peran dalam sinetron drama Sayap Patah yang juga dibintangi Dien Novita, Ratu Tria, dan WD Mochtar. Penobatannya sebagai Pemeran Pria Terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja yang diadakan TVRI tahun 1991 makin membuatnya bangga dan jauh dari orangtua.

Suatu hari di tahun 1992, ayahnya meninggal karena sakit. Bukannya sadar, kesombongan Jeffri justru lebih besar dari sebelumnya. Ia merasa berprestasi dan punya uang banyak. Tak seorang pun yang ia dengarkan lagi nasihatnya.

Ia makin tenggelam sebagai pecandu narkoba. Ia makin jauh dari Tuhan. Bersebelahan rumah dengan masjid tak banyak membawanya kepada hal baik. Kejahatan demi kejahatan moral terus ia lakukan. Larangan agama dengan ringan ia terjang.

Titik balik

Titik balik Jefri bermula saat ia bermimpi melihat jasadnya sendiri dalam kain kafan pada suatu hari. Antara sadar dan tidak, ia terpana sambil bertanya pada diri sendiri.

“Benarkah itu jasadku? Aku juga disiksa habis-habisan. Begitulah, setiap tidur aku selalu bermimpi kejadian yang menyeramkan. Dalam tidur, yang kudapat hanya penderitaan. Aku jadi takut tidur. Aku takut mimpi-mimpi itu datang lagi,” tulisnya dalam memoar Uje tentang masa lalunya sebagai pelajaran orang lain.

Ketakutannya kepada kematian mulai perlahan menyadarkan Uje. Rasa takut mati itulah yang akhirnya membuatnya sadar bahwa ada yang tidak meninggalkanya dalam keadaan seperti itu, yaitu Allah.

Perlahan, Jefri mulai teringat kembali pada-Nya dan menyesali semua perbuatanku selama ini. Pelan-pelan, keadaannya membaik. Kesadaran-kesadaran itu datang kembali. Ia mulai menemui sang ibunda. Ia bersimpuh meminta maaf atas semua dosa yang kulakukan.

Melihat arah positif dari sang anak, ibunya pun langsung mengajak umrah. Dengan kondisi yang masih labil dan rapuh, Jefri berangkat ke Tanah Suci. Di sana, ia mengalami beberapa peristiwa yang membuatnya sadar pada dosa-dosa sebelumnya. Usai salat Jumat di Madinah, ibunda mengajaknya ke Raudhah.

Di Raudhoh, sang ibunda terus meminta ampunan pada Allah. Sedangkan Jeffri memilih keluar. Ia berjalan menuju makam Nabi Muhammad sambil bersalawat. Begitu keluar dari pintu masjid, ia merasa seperti ada yang menarik. Kekuatan itu dirasakannya sangat besar. Ia pun lalu bersandar pada tembok. Air matanya yang dulu tak pernah keluar, seketika mengalir deras. Ia menyesali dosa-dosanya, dan berjanji tak akan melakukan lagi semua itu.

Bagai sebuah film yang sedang diputar, semua dosa yang pernah ia lakukan terbayang jelas di pelupuk mata silih berganti, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Tiba-tiba dari mulutnya keluar kalimat permintaan ampunan pada Allah. Di Mekkah, di hadapan Kabah, ia rapatkan badan pada dindingnya.

Jeffri bersandar, menengadahkan tangan memohon ampun karena terlalu banyak dosa yang dilakukan. Ia berdoa, “seandainya sepulang dari Tanah Suci ini melakukan dosa lagi, aku minta pada Allah untuk mencabut saja nyawaku. Namun, seandainya punya manfaat untuk orang lain, aku minta disembuhkan.”

Pada tahun 1999, singkat kata Uje menikah dengan Pipik Dian Irawati. Pipik merupakan seorang model sampul sebuah majalah remaja tahun 1995, asal Semarang. Pipik adalah pacar lama Jeffri yang masih mencintainya saat Jeffri dalam keadaan terpuruk dan beranjak untuk bangkit.

Awal menikah, keduanya tinggal di rumah ibu Jeffri. Ibunya lah yang membiayai hidup keduanya. Keduanya tidak bekerja.

Perubahan besar terjadi pada tahun 2000. Saat itu, Fathul Hayat, kakak keduanya tiba-tiba meminta Jeffri menggantikannya memberi khotbah Jumat di Mangga Dua. Pada waktu bersamaan, dia diminta menjadi imam besar di Singapura. Dari sini lah, Jefri perlahan menjadi ustad menggantikan kakaknya.

Pertama kali ceramah, Jefri mendapat honor Rp 35 ribu. Kata Jeffri, ia adalah uang halal pertama yang bisa diberikan kepada istrinya.

Selanjutnya, sang kakak mantap memintanya mulai menjadi ustad tetap. Inilah jalan hidup yang kemudian dipilihnya. Jeffri mulai berceramah dan diundang ke acara seminar narkoba di berbagai tempat. Makin lama, ceramahnya makin bisa diterima banyak orang. Ia mulai dilirik televisi dan makin dikenal hingga Jeffri makin dikenal sebagai Uje. Kehidupannya yang sebelumnya dipenuhi maksiat berubah menjadi penuh sinar agama.

ustad jeffri
Ribuan Pelayat Yang Mengantar Uje Ke Pemakaman


Namun Allah SWT punya kehendak lain. Usia Uje di dunia hanya sampai umur 40 tahun. Jumat dini hari tanggal 26 April 2013, ia mengalami kecelakaan tunggal. Allah memanggilnya kembali ke sisi-Nya. Uje meninggal dunia. Namun petuah dan pelajarannya masih dikenang masyarakat dan umat. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan menempatkannya di tempat yang terbaik. Amin. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu.

Semoga kita semua bisa belajar dari sejarah Ustad Jefri Al Bukhori (Uje) [berbagai sumber]
Next article Next Post
Previous article Previous Post