Inilah Arsitek Dibalik Megahnya Bangunan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Tak Mau Dibayar Sepeserpun

Inilah Arsitek Dibalik Megahnya Bangunan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Tak Mau Dibayar Sepeserpun

author photo
Inilah Arsitek Dibalik Megahnya Bangunan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Tak Mau Dibayar Sepeserpun


Siapa yang tidak kagum dengan megahnya bangunan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Di balik kemegahannya itu, ada tangan-tangan ajaib yang mampu membuat masjid-masjid suci itu menakjubkan.

Tapi pernahkah terpikirkan siapa sosok di balik kemegahan dua Masjid Agung itu?

Dia adalah Dr Mohammad Kamal Ismail, seorang arsitek muda yang lahir di Provinis Dakahlia di Kota Mit Ghamr.

Insinyur asal Mesir itu diminta Raja Fahd bin Abdulaziz Al Saud untuk merencanakan dan melaksanakan perluasan dua masjid suci. Kamal, laki-laki kelahiran 13 September 1908 itu memang jauh dari sorotan, tapi buah karyanya tak bisa diragukan.

Ia merupakan seorang yang sangat pintar nan cerdas, bahkan kecerdasannya sudah terlihat sejak kecil. Buktinya, setelah lulus sekolah menengah, ia menyandang kandidat termuda yang dikirim ke Eropa untuk program doktoral.

Oleh karenanya, ia mendapatkan tiga gelar doktor dalam Arsitektur Islam. Bahkan ia juga mendapat syal “Nil” dan pangkat “Besi” dari sang raja.

Dr Mohammad Kamal Ismail


Suatu kali lelaki asal mesir tersebut diminta Raja Fahd bin Abdulaziz Al-Saud untuk merencanakan dan melaksanakan perluasan Masjidil Haram.

Ia pun memberi ide kepada raja untuk menggunakan marmer khusus agar dapat menutupi lantai di Masjidil Haram.

Adapun kelebihan dari marmer ini adalah berbahan anti panas, yang hanya tersedia di gunung kecil Yunani.

Marmer yang dibutuhkan untuk melapisi dasar Masjidil Haram hampir dari setengah gunung banyaknya.

Lalu demi mewujudkan arsitektur sesuai rancangannya, ia rela melakukan perjalanan ke Yunani.

Kontrak pembelian dengan perusahaan tertandatangani, saat kembali ke Makkah, ia mendapati marmernya telah datang dan segera menempatkan marmer-marmer tersebut di lantai Masjidil Haram hingga rampung.

Selang 15 tahun kemudian, pemerintah Arab Saudi kembali menguhubunginya untuk melapisi Masjid Nabawi dengan marmer yang serupa. Mendengar permintaan tersebut, ia bingung, karena transaksi yang dilakukan sudah terjadi sangat lama. Hingga akhirnya ia bergegas pergi ke perusahaan yang pernah ia sambangi, yakni di Yunani.

Pertemuan dengan pemimpin perusahaan pun terjadi. Namun sangat disayangkan, ketika ia bertanya sisa marmer, pemimpin perusahaan mengatakan semuanya telah terjual setelah ia membelinya 15 tahun yang lalu.

Rasa sedih pun muncul. Tak ambil pusing, ia kembali lagi menanyakan kepada sekretaris perusahaan untuk mengetahui keberadaan pembeli marmer terakhir. Sekretaris mengatakan bahwa hal tersebut cukup sulit, karena harus membuka kembali catatan lama beberapa tahun silam.

Pasrah dan berharap kepada Allah ia lakukan. Tak disangka, beberapa hari setelahnya sekretaris memberitahu lewat telepon, bahwa alamat pembeli marmer terakhir telah ditemukan. Seketika ia merasa kaget, lantaran alamat pembeli merupakan perusahaan yang berada di Arab Saudi.

Ia pun melanjutkan penerbangan dari Yunani ke ke Arab Saudi pada hari yang sama. Sesampainya, ia langsung pergi ke kantor perusahaan yang membeli marmer dan bertemu dengan Direktur Admin, dan bertanya kepadanya, “Apa yang telah dilakukan dengan marmer yang dibeli bertahun-tahun lalu dari Yunani.” Pemimpin perusahaan mengatakan “Saya tidak ingat.” Lalu pemimpin tersebut menghubungi bagian ruang stok perusahaan dan bertanya kepada mereka tentang marmer dari Yunani dan mereka mengatakan kepadanya bahwa semua jumlah tersedia dan tidak pernah digunakan.

Ia pun mulai menangis seperti halnya bayi, dan selanjutnya menceritakan kisah lengkapnya kepada pemimpin perusahaan. Setelah perusahaan mengetahui bahwa marmer tersebut akan dipergunakan untuk membangun perluasan Masjid Nabawi, pemimpin perusahaan tersebut menolak cek yang diberikan.

Rampungnya perluasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi membuat Raja Fahd dan Perusahaan bin Laden menawarkan cek kosong kepada Dr Mohammad Kamal Ismail. Namun ia juga menolaknya dengan sopan.

“Jika saya mengambil uang atas perluasan dua masjid suci, bagaimana saya akan menyembunyikan wajah saya ini dari Tuhan kita,” ujar Ismail.

Dr Mohammad Kamal Ismail menikah di usia 44 tahun. Ia dikaruniai seorang putra. Namun sangat disayangkan, ia kehilangan semuanya, baik istri maupun anaknya saat melahirkan. Selepas itu, ia memilih hidup sendiri, mengabdikan diri untuk beribadah sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Agustus 2008.

Semoga kisah ini menjadi teladan kita bersama, bahwa jalan menuju kebaikan sangatlah banyak, bahkan untuk perihal kecil pun.

Seperti yang dicontohkan Dr Mohammad Kamal Ismail, ia rela tak mendapatkan bayaran sama sekali demi membangun dua masjid yang suci yakni Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Next article Next Post
Previous article Previous Post