Menjadi yatim piatu miskin semenjak kecil, tak membuat Sanipan patah semangat hidup. Dia tekun belajar dan kemudian mampu membangun pesantren.
Dia kini tak ingin melihat anak miskin tak bisa belajar, sehingga menggratiskan biaya mondok dan sekolah formal bagi para santrinya yang kesulitan masalah biaya.
Dia ditinggal wafat ayahnya ketika umur 6 tahun, disusul kematian ibunya 2 tahun kemudian. Sanipan dan adik perempuannya lalu diasuh kakeknya.
Namun 6 bulan kemudian, kakeknya tutup usia. Sanipan lalu bertekad hidup mandiri. Mencari nafkah untuk diri sendiri dan adiknya sembari terus belajar agama.
Setelah menikah, dia mengirim keenam anaknya ke berbagai pesantren. Salah satu anaknya, Hamdan, dikirimnya nyantri ke Situbondo.
Dia ditinggal wafat ayahnya ketika umur 6 tahun, disusul kematian ibunya 2 tahun kemudian. Sanipan dan adik perempuannya lalu diasuh kakeknya.
Namun 6 bulan kemudian, kakeknya tutup usia. Sanipan lalu bertekad hidup mandiri. Mencari nafkah untuk diri sendiri dan adiknya sembari terus belajar agama.
Setelah menikah, dia mengirim keenam anaknya ke berbagai pesantren. Salah satu anaknya, Hamdan, dikirimnya nyantri ke Situbondo.
Setelah itu Sanipan dan putranya itu mewujudkan cita-citanya semenjak kecil yaitu pendidikan pesantren untuk anak-anak miskin di sekitar kampungnya.
Mbah Sanipan tidak mau nasib yang dialami masa kecilnya terulang bagi anak-anak sekarang. Di pesantren yang dia kelola bersama anaknya yang berada di Desa Jatisono, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak, itu dia menggratiskan biaya untuk santri dari kalangan bawah dan yatim piatu.
Selain itu, dari 125 santrinya, 5 anak diantaranya selain digratiskan selama hidup di pesantren, juga ditanggung biaya pendidikannya selama bersekolah di MTs Negeri Gajah, Demak.
Pesantren Salafiyah Syafiiyah yang tersebut menitikberatkan pada pengkajian kitab kuning.
Mbah Sanipan tidak mau nasib yang dialami masa kecilnya terulang bagi anak-anak sekarang. Di pesantren yang dia kelola bersama anaknya yang berada di Desa Jatisono, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak, itu dia menggratiskan biaya untuk santri dari kalangan bawah dan yatim piatu.
Selain itu, dari 125 santrinya, 5 anak diantaranya selain digratiskan selama hidup di pesantren, juga ditanggung biaya pendidikannya selama bersekolah di MTs Negeri Gajah, Demak.
Pesantren Salafiyah Syafiiyah yang tersebut menitikberatkan pada pengkajian kitab kuning.
Banyak santrinya yang masih duduk di MTs saat ini sudah mampu membaca dan memahami kitab kuning dengan baik dan lancar.
"Saat ini kami memiliki memiliki 125 santri. Mereka datang dari Jateng, Sumatra, dan Kalimantan," tutur Hamdan. (mbr/detik)
"Saat ini kami memiliki memiliki 125 santri. Mereka datang dari Jateng, Sumatra, dan Kalimantan," tutur Hamdan. (mbr/detik)