Kaya Raya Tapi Tersiksa, Ini Dia Orangnya

Kaya Raya Tapi Tersiksa, Ini Dia Orangnya

author photo
Diceritakan: Pada suatu hari, datanglah seorang pengemis ke rumah seorang yang terkenal pelit. Iapun berdiri di muka pintu, menunggu penghuninya ke luar dari rumahnya yang mewah.

“ Ada perlu apa.” tanya si kikir.

“Kami minta bantuan, barangkali ada roti atau nasi.”

“Tidak punya apa-apa.”

“Terserah, makanan apa saja yang ada, saya mau,” rengek pengemis.

“Tidak ada, “ kata si kikir.

“Jika tidak ada, saya minta air minum saja,”

“Air juga tidak punya.” tegas si kikir.

“Mendengar jawaban itu si pengemis setengah jengkel sambil berkata,” Apa perlunya bapak tinggal di rumah sebagus ini? Lebih baik ikut saya saja.”

“Ikut ke mana?” tanya si kikir.

“Tentu saja ikut mengemis, toh bapak sudah tidak punya apa-apa, bahkan air saja tidak punya.”

Kaya Raya Tapi Tersiksa, Ini Dia Orangnya


Banyak hikmah yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari kisah diatas. Ternyata banyak sekali orang yang kelihatannya kaya, memiliki harta banyak, akan tetapi sesungguhnya dia miskin lagi papa.

Ternyata benar, bahwa yang disebut orang kaya itu bukanlah mereka yang memiliki harta melimpah, melainkan mereka yang kaya hatinya. Orang yang kaya hatinya akan membuatnya lebih berbahagia. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,” Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.” (HR.Abu Ya'la).

Apa bedanya orang yang tidak punya harta dengan mereka yang selalu menahan hartanya? Pada hakekatnya sama saja. Yang pertama tidak bisa belanja karena memang tidak ada, yang kedua tidak bisa belanja karena enggan atau malah takut menggunakannya. Kedua-duanya jadi sama-sama miskinnya.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi milik kita? Rumah tinggal yang kita tempati, mobil mewah yang kita cintai, harta simpanan yang melimpah, tabungan segunung, atau kebun dan sawah yang menghampar luas hingga tak tampak ujungnya?

Ternyata bukan. Harta kekayaan yang sering kita sebut-sebut sebagai milik kita itu ternyata bisa sewaktu-waktu sirna, sebelum sempat kita nikmati. Rumah mewah bisa saja terbakar, mobil mulus bisa saja menemui kecelakaan, tanah-tanah itu bisa longsor atau lebih mungkin lagi justru kita yang duluan mati meninggalkan semua harta kekayaan tadi.

Jadi, apa yang sebenarnya milik kita? Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,” Anak Adam berkata' hartaku...hartaku..' Adakah hartamu wahai anak Adam kecuali yang telah kamu belanjakan untuk makan lalu menjadi tahi atau kemu belikan sandang lalu kumal, atau yang kamu sedekahkan lalu kamu tinggalkan.” (HR.Muslim).

Hadits ini perlu mendapat perhatian serius untuk menjadikan bahan perenungan, sebab tidak sedikit di antara kita yang salah dalam memandang harta kekayaan. Ada yang berusaha siang malam tanpa lelah mengumpulkan harta, karena mengira bahwa harta itu adalah hak miliknya. Ada yang sibuk menimbun dan menghitung-hitungnya, karena mengira bahwa harta itulah yang bakal mengekalkannya. Kepada mereka Allah mengingatkan.

“ Kecelakananlah bagi pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutamah.” (QS Al-Humazah:1-4)

Tidak dapat dibantah bahwa harta menempati posisi penting dalam kehidupan ini. Kemiskinan adalah kehinaan bila kemudian selanjutnya menjadikannya sebagai seorang peminta-minta dan hidup penuh ketergantungan kepada orang lain. Karenanya bekerja keras untuk mencari nafkah adalah kewajiban yang tidak boleh tidak, apapun alasannya.

Apalagi ukuran zaman sekarang , di mana kedudukan ekonomi sangat berpengaruh sekali. Menegakkan urusan dunia dan urusan agama tidak hanya semata mengandalkan kejujuran dan keikhlasan, tapi juga harta benda. Di zaman sekarang ini telah berlaku prediksi Nabi. ”Pada akhir zaman kelak manusia harus menyediakan harta untuk menegakkan dunia dan urusan agamanya.” (HR.Thabrani).

Meskipun demikian jangan sampai ada anggapan bahwa harta adalah segala-galanya. Segala urusan bisa beres hanya dengan uang. Sampai-sampai cinta dan kesetiaan bisa dibeli dengan uang. Akhirnya semua orang berebut mendapatkan uang tanpa memparhatikan ketentuan Tuhan.

Pemandangan ini telah terjadi di zaman ini. Orang-orang telah mengumpulkan harta tanpa peduli lagi halal dan haramnya.Yang sudah didapatkan, dikumpulkan dan ditimbunnya tanpa peduli terhadap nasib orang lain.

Orang orang seperti ini sebenarnya bukan menguasai harta, tapi sebaliknya mereka telah dikuasai oleh harta. Mereka bukanlah majikan harta, tetapi justru budak dan pesuruhnya.

Seharusnya dengan hartanya orang bisa berlapang dada, bermurah hati, dan suka memberi. Akan tetapi sifat kikir dan tamak telah menghalanginya. Ia terlalu mencintai hartanya sehingga tak mau berkurang sedikitpun juga. Malah jika bisa setiap hari bertambah timbunan hartanya. Dalam kasus orang kikir, memberi, termasuk untuk keperluan sendiri berarti mengurangi. Sedangkan pengurangan harta milinya adalah sesuatu yang sangat dibenci dan ditakuti.

Dipandang dari sudut ilmu sosial, berbagai tindak kriminal yang kemudian menjelma menjadi kesadisan lebih banyak berawal dari kebakhilan si kaya. Itulah sebabnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berpesan.” Jauhilah sifat kikir, karena sesunggunya kekiriran itu telah membinasakan generasi sebelum kamu, sehingga mereka gemar mengalirkan darah di antara sesama mereka, dan menghalalkan segala yang diharamkan atas mereka.” (HR.Muslim).

Karenanya kekikiran tidak membawa kebahagiaan sedikitpun juga, malah sebaliknya bisa mendatangkan malapetaka. Semasa masih di dunia orang-orang bakhil akan dijauhi manusia, bahkan dimusuhi. Tidak sedikit mendapat gangguan, baik berupa pencurian, perampokkan, bahkan tak jarang disertai kekerasan, bisa sampai pada pembunuhan.

Mungkin juga orang lain tidak mengganggu, tapi saking cintanya terhadap harta, ia lalu merasa was-was akan hartanya. Semua orang dicurigai. Orang mau silaturrahmi disangkanya mau merampas. Orang menyapa disangkanya ada maunya. Orang datang kerumahnya disangka minta sumbangan. Itulah yang membuatnya membikin tinggi-tinggi pagar rumahnya yang juga selalu terkunci rapat. Akhirnya ia benar-benar jauh dari sesamanya.

Hidup semacam ini sungguh sangat tersiksa, walaupun harta melimpah ruah. Kesibukan utamanya ialah menghitung harta, menyimpan, mengamankan dan mengawasinya. Hatinya tidak bisa tenang, karena berbagai kecurigaan dan ketakutan. Bahkan boleh jadi orang yang seperti ini sudah ketakutan terhadap bayangannya sendiri.

Apalagi jika harta yang ia kumpulkan itu berasal dari barang atau diperoleh dengan cara-cara yang tidak halal, maka bayangan ketakutan itu semakin mengerikan. Orang seperti ini biasanya terkena gangguan kejiwaan. Gejalanya mudah dilihat, yaitu sulit tidur.

Orang yang kikir itu, kata Rasulullah, jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka.

Jika semasa hidup didunia orang yang kikir itu tidak merasa kan ketenangan dan kebahagiaan yang sempurna, maka di akhirat mereka sudah ditunggu oleh neraka. Harta yang berhasil mereka timbun semasa hidupnya akan dikalungkan di lehernya, kemudian dibakar dengan api neraka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,” Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak tapi tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka ( bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas, perak itu dalam neraka jahannam. Lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka,' Inilah harta benda yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibar dari) apa yang kamu simpan itu.” ( QS.At-Taubah:34-35).

Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda,” Celakalah bagi orang-orang kaya pada hari kiamat, akibat dari pengaduan orang-orang miskin kepada Allah. Mereka berkata: Ya Tuhan kami, mereka telah menganiaya kami, mereka merampas hak kami yang Engkau titipkan kepada mereka. Allah berfirman: Demi kehormatan-Ku dan keagungan-Ku, Aku pasti menjauhi mereka dan mendekati kamu sekalian. Kemudian Rasulullah membacakan ayat 19 surat Adz-Dzaariyaat,” Dan pada harta-harte mereka ada hak orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapatkan kebahagian.”

Sudah sangat sewajarnya dibulan Ramadhan yang mulia ini kita lakukan muhasabah, sudah benarkah cara kita memperoleh harta benda, dan benar pulakah cara kita menyalurkannya? Sudahkah hak-hak saudara kita para fakir dan miskin dipenuhi?

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga kita dari bahaya harta benda dan dijauhkan dari sifat kikir. Amin.
Next article Next Post
Previous article Previous Post