Mush’ab bin Umair, Pemuda Ganteng Kaya Raya Di Makkah Yang Berjuang Bersama Rasulullah

Mush’ab bin Umair, Pemuda Ganteng Kaya Raya Di Makkah Yang Berjuang Bersama Rasulullah

author photo
Tahun 585 Masehi Di Makkah, Hidup seorang pemuda bernama Mush’ab bin Umair. Dia terlahir dari bangsawan Quraisy ternama. ayahnya Umair bin Hisyam bin Abdi Manaf, keluarga bangsawan kelas atas dan konglomerat Quraisy. Ibunya Khanas binti Malik bin al-Madhrib, wanita kaya-raya dan terpandang di Kota Makkah.

Mush’ab bin Umair, Pemuda Ganteng Kaya Raya Di Makkah Yang Berjuang Bersama Rasulullah


Selain kaya raya, Mush'ab juga dikaruniai wajah ganteng dan penampilan yang menawan. Tubuhnya tegap, kulitnya lembut. Senyum manis selalu menghias bibirnya menambah banyak gadis-gadis Makkah yang terpaut hati kepadanya.

Ibnu Sa’ad dalam Kitab Thabaqat mengataka, ibu Mush’ab adalah wanita paling kaya dan paling mewah di zaman itu. Pakaiannya paling indah dan mewangiannya melebihi penduduk Makkah di zaman itu. Rasulullah pernah bersabda, “Aku tidak melihat Makkah sahabat paling baik, pakaian paling indah dan kehidupan paling mewah, lebih daripada Mush’ab bin Umair.”

Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki. Tak ada wanita Qurasy tak tak mengenal namanya. Di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Bila menghadiri sebuah perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah sama sekali. Ia kini seorang pemuda zuhud dan jauh dari hiruk-pikuk dunia.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda, "Aku tidak pernah melihat seorang pun di Makkah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair." (HR. Al Hakim)

Namun memasuki usianya yang ke-30, pemuda yang kalau sekarang dikenal dengan istilah 'gaul' ini, memilih meninggalkan segala keduniaannya. Demi berjuang bersama Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam.

Keputusan besar untuk berjuang bersama Rasulullah jelas disadari Mush'ab akan membawanya keluar dari zona nyaman dan mapan. Namun keputusan ini pula yang pada akhirnya membuat nama pemuda Makkah ini dikenang sepanjang zaman.

Pada Perang Uhud (625 M) Mush’ab bin Umair ditahbiskan sebagai pembawa bendera kaum Muslim untuk berperang melawan kaum Quraisy.

Tersudut pada posisi tempur, sama sekali tak membuat Mush'ab gentar. Dia tetap tegak berdiri memegang bendera panji Islam. Meski tangan kanannya terpotong akibat tebasan pedang dari Ibnu Qumaiah al-Laits, langkahnya pun tetap tegak dan tak goyah.

Kondisi yang kritis tetap tak membuat Mush’ab bin Umair mundur meski hanya selangkah. Dia lantas memindahkan bendera itu ke tangan kirinya.

Ibnu Qumai-ah al-Laits pun kembali menebas tangan kiri Mush'ab dengan pedangnya. Jadilah Mush'ab bertahan tanpa kedua tangan. Kendati demikian, tekadnya menjaga tugas sebagai pembawa panji kebenaran tak ditinggalkannya. Padahal ketika itu, kondisi fisiknya sedang sekarat.

Dia lantas mendekap erat bendera tersebut dengan tubuhnya. Aksi yang kemudian mengantarkan Mush'ab menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebab panah-panah dari kaum kafir Quraisy menembus tubuhnya yang masih muda dan kokoh itu. Mush'ab pun menjadi sahabat Rasulullah yang meninggal syahid di usia muda.

Usai perang Uhud, Rasulullah dan para sahabat yang masih hidup berkeliling ke sekitar jabal uhud untuk mencari jenazah para sahabat yang gugur. Rasulullah begitu sedih ketika melihat jenazah Mush'ab.

Rasul lantas berkata, "Sungguh aku melihatmu ketika di Makkah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”

Sahabat Rasulullah yang lain, Abdurrahman bin Auf, tak kuasa membendung tangis saat melihat Mush'ab gugur di usia yang relatif muda.

"Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari)

Para sahabat yang lain pun hanya bisa menangis hingga tak sanggup menyantap makanan.

Kisah Mush'ab diatas menjadi tauladan bagi kita, Bagaimana seorang pemuda kaya raya, keturunan bangsawan, rela mempertaruhkan segala kemapanan di usia yang kerap disebut 'usia emas'. Bagi seorang pria di era kini, usia 30-an boleh dikatakan menjadi masa keemasan.

Ketika dimana mereka mulai memetik hasil dari kehidupan. Di dunia profesional, usia 30-an biasanya menjadi saat seorang pekerja mulai menapaki jabatan sebagai seorang manajer. Tak sedikit bahkan yang bisa mencapai level top pada usia 30-an itu.

Usia 30 juga merupakan saat yang tepat untuk membina rumah tangga. Saat di mana pria yang tadinya lajang menjadi suami. Atau mungkin saat sang suami menjadi ayah. Usia 30-an umumnya menjadi usia transformasi hidup yang sangat besar bagi seorang pria.

Tentu setiap manusia tak memiliki kisah yang seratus persen sama. Namun umumnya, mamasuki usia 30, tentu berbeda.

Berbeda dengan saat memasuki usia kepala dua yang masih diliputi segudang keinginan. Memasuki usia kepala tiga, rasa ingin sudah mulai berganti menjadi fokus untuk memilah dan mewujudkan keinginan itu sendiri.

Tapi Mush'ab menjadi segelintir pemuda yang keinginan hidupnya sudah lagi tak tersekat pada batas-batas duniawi. Di usia yang memasuki usia emas, Mush’ab bin Umair malah memilih mengorbankan segala nilai yang dicari-cari pria usia 30-an di seluruh dunia, yakni harta maupun posisi.

Semua dikorbankan demi misi menyebarkan Islam. Sebuah hal yang akhirnya dibayar Mush'ab dengan nyawanya sendiri.

Tak semua orang bisa seperti Mush’ab bin Umair. Termasuk saya sendiri yang mengakui masih belum bisa keluar dari batas-batas duniawi pada usia yang memasuki 30-an ini.

Tapi ada satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah Mush’ab bin Umair diatas. Yakni mempertaruhkan zona kenyamanan demi tujuan baik bukanlah sebuah perjudian.

Sebaliknya, mempertaruhkan zona nyaman demi tujuan mulia niscaya akan bermuara pada sebuah makna yang jauh lebih besar.

Sebab selama ada niat baik, Insya Allah ada jalan atau takdir baru yang akan dibukakan Allah. Memang waktu untuk meninggalkan zona nyaman tak tersekat pada usia 20 atau 30-an. Tapi sudah menjadi hal umum ketika semakin bertambahnya usia, seseorang jadi urung untuk mengambil risiko. Bertambahnya usia membuat seseorang jadi semakin urung menempuh hal yang baru. Sebab makin usia bertambah, seseorang makin diliputi dengan kenyamanan yang sudah terbentuk pada tahun-tahun sebelumnya.

Namun, Mush’ab bin Umair memberi contoh nyata bagaimana segala ukuran kenyamanan di dunia hanya sementara. Harta dan jabatan bisa saja hilang dalam hitungan hari. Namun amal baik dan niat tulus akan tetap abadi.

Wallahu A'lam.


Oleh: Sammy Abdlulah, Jurnalis Republika
Next article Next Post
Previous article Previous Post