Saat Suamiku Dalam Keadaan Kekurangan...

Saat Suamiku Dalam Keadaan Kekurangan...

author photo
Menjadi seorang ibu rumah tangga, merangkap manager pribadi dari suami, memang bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang istri. Perlu banyak tenaga, ketelatenan dan persediaan sabar yang cukup untuk tetap stabil mengatur keuangan apalagi jika memang kenyataan tengah menempatkan kita ditengah kekurangan. Seribu satu pemikiran yaitu campuran dari ketelitian, kreativitas, keuletan, kepuyengan dan rasa syukur di tampilkan demi tetap berputarnya ekonomi keluarga.

Saat Suamiku Dalam Keadaan Kekurangan...


Memang, siapa sih yang mampu dengan mudah berkompromi dengan perut yang lapar? Batin kita pun pasti tidaklah tega ketika harus mendengar rintihan suara kelaparan dan kekurangan dari anak- anak kita. Namun, marah, protes apalagi sampai memaki suami, tidaklah akan mempermudah jalan keluar, malah akan semakin menambah masalah, dan dosa pun pasti tercatat untuk kita.

Bersabar, memang bukan hal yang mudah. Dan akan terasa lebih berat terutama bila seorang istri hanya selalu dan selalu mengingat kekurangan dan kejelekan suami serta alpa nya rasa syukur terhadap apa yang telah susah payah seorang suami perjuangkan. Dan, cukuplah hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wassalam berikut menjadi nasehat untuk kita para istri,

"Saya melihat neraka yang tidak pernah aku lihat seperti hari ini. Dan saya melihat penghuni terbanyak dari kalangan wanita." Mereka (para sahabat) bertanya, "Kenapa wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Karena pengingkaran mereka." Beliau ditanya, "Apakah karena ingkar kepada Allah?" Beliau bersabda, "Mereka membangkang dan mengingkari kebaikan suami. Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka sepanjang tahun, lalu ia melihat darimu sesuatu (yang tidak disukai), maka ia berkata, saya belum pernah melihat darimu kebaikan sama sekali." (Riwayat Bukhari)

Allah akan tersenyum ketika melihat seorang istri yang selalu mendampingi suami tidak hanya saat suaminya bersuka cita. Mulianya seorang istri justru terlihat ketika dia pun setia mendampingi di saat suaminya berduka atau ditimpa kesusahan. Keteduhan jiwa sang istri akan tampak nyata ketika dia berusaha menghiburnya, dan mendorongnya untuk kembali bersemangat. Kalau bukan anda, siapa lagi. Itulah sebuah pelajaran berharga yang dicontohkan Ummul Mukminin Khadijah, yang berusaha menghibur dan menenangkan hati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika pertama kali menerima wahyu.

Seorang laki- laki memang diciptakan untuk kuat menghadapi tantangan yang lebih berat di luar. Mereka pun dilengkapi Allah dengan rahmat logika yang lebih kuat. Namun begitu, mereka tetaplah manusia biasa. Suamipun kadang diuji dalam pekerjaannya. Misalnya usahanya bangkrut, dan orang-orang yang dulu menjalin hubungan kerja sama dengannya, banyak yang meninggalkannya. Bisa juga ia diuji dengan suatu penyakit yang cukup parah, sehingga banyak orang meninggalkannya. Sebagai seseorang yang digambarkan sebagai separuh jiwanya, seorang istri yang baik dan setia, akan tetap menemaninya, dan tidak meninggalkannya di saat orang lain berbuat demikian terhadapnya. Sebagaimana yang dialami Nabi Ayyub alaihis salam.

Nabi ayub dahulunya kaya raya, tapi Allah kemudian mengujinya dengan kemiskinan dan penyakit. Namun sang istri tetap setia dan tak kenal penat, meladeni nabi Ayub yang sedang sakit itu dengan segala kasih mesra dan dengan bersusah-payah. Segala kesakitan yang diderita Nabi Ayub, seakan-akan dia sendiri ikut menderitanya pula. Nabi Ayub tetap dihibur dan diladeninya. Hal ini  menunjukkan keimanan seorang isteri yang kuat dan teguh. Hari- hari mereka selanjutnya penuh dengan penderitaan, bahkan melonjak lagi, lebih tinggi dan lebih hebat. Penghinaan dan ejekan pun datang dari orang-orang bekas kawan dan temannva dahulu ketika Beliau masih kaya raya.

Mereka bukan kasihan dan datang menolong, tetapi mereka keberatan bila Nabi Ayub dan isterinya tetap berada di rumahnya dan bertetangga dengan mereka. Mereka bukan hanya merasa jijik saja melihat Nabi Ayub, tetapi juga takut kalau-kalau penyakitnya yang hebat itu dapat menular kepada mereka. Dengan tidak menaruh perasaan sedikitpun, mereka mendatangi istrinya dan berkata: Kami takut kalau penyakitnya Ayub berpindah kepada anak-cucu kami, sebab itu keluarkanlah Ayub dari sini atau kami akan mengeluarkannya kalau engkau tidak mau mengeluarkannya.

Mendengar ucapan yang kasar dan menyayat perasaan itu, sang isteri yang setia itu tetap tabah dalam tangisnya. Dia mengeluarkan segenap tenaga yang ada padanya, untuk memangku suaminya dan membawanya ke luar kampung dan tinggal di sebuah pondok yang sudah ditinggalkan orang. Di sanalah Nabi Ayub beserta isterinya menanggungkan derita lahir dan batin, dengan penuh kesabaran dan keimanan yang tidak pernah putus.

Untuk penghidupannya, sang istri terpaksa bekerja memotong-motong roti pada seorang pedagang roti. Setiap petang dia pulang menjumpai suaminya, dengan membawa beberapa potong roti yang dihadiahkan orang kepadanya. Tetapi setelah orang ramai tahu, bahwa itu adalah isteri  Nabi Ayub, maka pedagang roti itupun tidak mau dia bekerja lagi sebagai tukang potong roti, karena kawatir jika penyakit Ayub itu menulari roti yang akan dijualnya.

Kerana tidak ada lagi pekerjaan dan makanan, maka beberapa hari lamanya, baik Nabi Ayub dan istrinya tidak makan dan minum sedikitpun. Dan ketika mereka sudah tidak tahan menahan lapar dan dahaga, lalu sang istri minta izin kepada Nabi Ayub untuk pergi  berikhtiar mencari makanan dan minuman. Tidak lama kemudian dia pulang kembali dengan membawa sepotong roti dan air minum.

Setelah Nabi Ayub melihat sepotong roti segar yang dibawa isterinya itu, nabi Ayub mengira bahwa isterinya sudah menjual kehormatan dirinya untuk mendapatkan sepotong roti itu. Lalu sang istri menceritakan kepada Nabi Ayub, bagaimana caranya ia mendapatkan roti itu: Aku bukan menjual kehormatan diriku, aku berlindung diri kepada Allah dari segala perbuatan yang menodai diriku. Roti ini aku dapat dengan menukarkan rambutku yang panjang.

Melihat kejadian itu, Nabi Ayub sangat sedih hatinya, lalu dia menangis, bukan menangisi nasibnya, tetapi menangisi rambut isterinya, karena diantara yang paling menarik hatinya terhadap isterinya adalah rambutnya yang panjang.

Maka Berkatalah sang istri: Janganlah engkau menangisi rambutku yang sudah hilang. Rambut itu akan tumbuh kembali dan mungkin akan lebih indah dari yang sudah hilang itu. Demikianlah katanya menghibur suaminya. Mendengar jawapan isterinya itu, Nabi Ayub merasa senang hatinya. Dia kembali bersyukur, bertasbih, bertakbir memuji-muji Allah.

Karena keimanannya kepada Allah dan rasulNya, rahmat Ilahiyah pun akhirnya turun kepada Nabi Ayyub dan juga kepada istrinya, yang tidak meninggalkan beliau ketika sakit dan tertimpa musibah. Allah mengembalikan kekayaan dan kesejahteraan kepadanya, seperti semula. Sungguh Allah merahmati istri nabi Ayub, Dan memuliakannya atas kesabarannya bersama suaminya dan membimbingnya kepada kemanisan taat dibawah naungan keridhoan Allah ta`ala.

Sungguh, kisah diatas adalah sarat dengan pelajaran berharga dan ibrah bagi para istri yang memiliki hati nurani, bahwa dunia adalah ladang akhirat. Selain itu, dalam menemani suami tentulah kita perlu untuk melatih diri mengendarai kendaraan sabar, tidak berkeluh kesah atas musibah yang menimpanya, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan hak Allah pada dirinya, dan tidak marah terhadap qadha dan takdir yang terjadi.

Percayalah, ketika para suami kita memiliki kelebihan rezeki, Insyaallah akan diberikan kepada kita nantinya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lihatlah betapa merekapun telah menghabiskan banyak waktunya untuk keluarga, maka untuk siapa lagi mereka memperjuangkan nafkah keluarga kalau bukan untuk kita para istri dan anak- anak kita?

Percayalah bahwa dunia ini memang berputar. Mungkin saat ini kita di bawah, tapi bisa saja suatu saat kita diatas. Dan ketika kita dibawah, itulah justru kesempatan yang diberikan Allah untuk menunjukkan jati diri kita, kualitas kita sebagai seorang istri yang senantiasa mendampinginya. Sehingga kettika tiba waktunya kita harus berada diatas, kepercayaan suami atas kita insyaAllah tidak akan tergantikan.

Ketika jiwa kita masih berontak dengan berbagai perasaan was- was, maka yakinlah, bahwa semua di dunia ini, mempunyai waktu sendiri- sendiri atas mulai atau berakhirnya sesuatu, pun demikian insya Allah dengan semua kekurangan yang ada pada kita. Asal kerja keras dan tawakkal tidak kita pangkas, maka Allah akan selalu menolong hamba- hambanya.  Banyak-banyak bersyukur, Insyaallah Allah akan menambah nikmat-Nya. Sesekali ada baiknya kita melihat ke bawah, karena betapa banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah dibandingkan kita sekarang.

Wallahu A'lam.

Next article Next Post
Previous article Previous Post