Suka Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Bagaimana Hukumnya?

Suka Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Bagaimana Hukumnya?

author photo
Terkait hukum menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud atau tahiyat di dalam shalat adalah masalah khilafiyah yang termasuk paling klasik.

Kami katakan klasik, karena sejak zaman dulu, para ulama sudah berbeda pendapat. Perbedaan pendapat di antara mereka tidak kunjung selesai sampai ribuan tahun lamanya, bahkan sampai sekarang ini.

Suka Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Bagaimana Hukumnya?


Masalahnya bukan karena para ulama itu gemar berbeda pendapat, juga bukan karena yang satu lebih shahih dan yang lain kurang shahih. Juga bukan karena yang satu lebih mendekat kepada sunnah dan yang lain kurang dekat. Masalahnya sangat jauh dan tidak ada kaitannya dengan semua itu.

Permaslahan sebenarnya adalah cara memahami naskah hadits, di mana ada dalil yang shahih yang disepakati bersama tentang keshahihannya, namun dipahami dengan cara yang berbeda oleh masing-masing ulama.

Sayangnya, teks hadis itu sendiri memang sangat dimungkinkan untuk dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Alias tidak secara spesifik menyebutkannya secara detail dan rinci.

Yang disebutkan dalam hadits adalah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika duduk tasyahud menggerakkan jarinya, tetapi apakah digerakkan secara terus-terusan dari awal duduk tahiyat hingga selesai, ataukah hanya pada saat mengucapkan ‘illallah’ saja, tidak ada dalil yang secara tegas menyebutkan hal-hal itu.

Dari Wail bin Hujr berkata tentang sifat salat Rasulullah, “Kemudian beliau menggenggam dua jarinya dan membentuk lingkaran, kemudian mengangkat tangannya. Aku melihat beliau menggerakkan jarinya itu dan berdoa”. (HR Ahmad, An-Nasai, Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang shahih)

Dari Abdullah bin Umar ra berkata, “Rasulullah bila duduk dalam salat meletakkan kedua tangannya pada lututnya, mengangkat jari kanannya (telunjuk) dan berdoa”. (HR Muslim)

Dengan adanya dalil dari hadits tersebut, para ulama bersepakat bahwa menggerakkan jari ketika shalat saat tasyahhud hukumnya adalah sunnah. Para ulama yang mengatakan kesunnahan menggerakkan jari ini antara lain adalah Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal serta satu pendapat di dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.

Tinggal yang jadi titik perbedaan adalah cara mengambil pengertian dari kata ‘menggerakkan’.

1. Sebagian ulama seperti kalangan madzhab As-Syafi’i mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menggerakan hanyalah sekali saja, yaitu pada kata ‘illallah’. Setelah gerakan sekali itu, jari itu tetap dijulurkan dan tidak dilipat lagi. Demikian sampai usai salat.

2. Sebagian lainnya malah sebaliknya. Seperti kalangan madzhab Hanafiyah yang mengatakan bahwa gerakan menjulurkan jari itu dilakukan saat mengucapkan kalimat nafi (Laa illaha), begitu masuk ke kalimat isbat (illallaah) maka jari itu dilipat kembali. Jadi menjulurkan jari adalah isyarat dari nafi dan melipatnya kembali adalah isyarat kalimat itsbat.

3. Sebagian lainnya mengerakkan jarinya hanya pada setiap menyebut lafadz Allah di dalam tasyahud. Seperti yang menjadi pendapat kalangan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.

4. Dan sebagian lainnya mengatakan bahwa tidak ada ketentuannya, sehingga dilakukan gerakan jari itu sepanjang membaca tasyahud. Yang terakhir itu juga merupakan pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140). Sehingga beliau cenderung mengambil pendapat bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz tasyahud.

Namun, sekali lagi kami katakan itu adalah ijtihad karena tidak adanya dalil yang secara tegas menyebutkan hal itu. Sehingga antara satu ulama dengan ulama lainnya sangat mungkin berbeda pendapat. Selama dalil yang sangat teknis belum secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad para ulama di bidangnya masih sangat terbuka luas.

Dan tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain, selama masih di dalam ranah ijtihad. Pendeknya, yang mana saja yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu, semua boleh hukumnya. Dan semuanya sesuai dengan sunnah nabi Muhammad.

Wallahu A’lam bishshawab. (Ahmad Sarwat, Lc)
Next article Next Post
Previous article Previous Post