Suatu hari, saya bertamu ke rumah salah seorang rektor satu universitas ternama di kota Semarang. Mayoritas tamu undangan kala itu ialah dosen-dosen universitas tersebut.
Seusai jamuan makan malam, dan pada sesi ramah tamah, pembicaraan berputar tentang urusan agama. Tak ayal lagi saya pun ikut hanyut dalam pembicaraan dengan mereka.
Di tengah-tengah pembicaraan yang sedang asyik ada seseorang yang bertanya: "maaf pak ustadz, saya ingin bertanya, namun saya berharap jawabannya yang ilmiah dan bukan jawaban klasik.
Pertanyaannya: "Kenapa Shalat Subuh Berjumlah 2 Rakaat, Maghrib 3 Rakaat, Dan Lainnya 4 Rakaat?"
Mendapat pertanyaan ini, saya hanya bisa menjawab: "Ya demikian ini ajarannya, maka kita hanya bisa mengucapkan sami'na wa atha'na."
Betapa terkejutnya saya ketika penanya menimpali jawaban saya dengan berkata : "Oooo.. ini mah jawaban klasik, saya sudah sering dengar jawaban klasik semacam ini."
Mendengar komentar ini saya berkesimpulan bahwa penanya seorang yang terpengaruh dengan ilmu filsafat, dan ternyata benar, menurut sang rektor ternyata dia mengambil magister di bidang ilmu filsafat.
Akhirnya saya balik bertanya : "Jadi Bapak mau jawaban yang kontemporer? Mudah sekali, saya akan buat tugas kepada bapak. Kan bapak adalah seorang yang berpendidikan, sehingga layak membuat suatu penelitian ilmiyah. Dan karena masalah sholat nara sumbernya adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan kebetulan beliau sudah wafat, ada baiknya jika bapak mengadakan riset di alam kubur. Coba bapak temuin Nabi di alam kubur, dengan cara mati bunuh diri atau lainnya, lalu adakan wawancara dengan Beliau. Kalau sudah dapat jawaban, kembalilah ke alam dunia, untuk kemudian membukukan hasil wawancara bapak dengan Beliau.
Kalau untuk pergi ke alam kubur bapak tidak punya dananya, saya siap mendanai sebegai sponsor riset bapak. Toh untuk bisa sampai ke alam kubur paling-paling cuma butuh racun tikus, atau sebilah pisau saja."
Mendengar tantangan saya rupanya bapak itu mulai merendah. Untuk semakin memberi pelajaran kepadanya saya tidak berhenti di sini. Saya kembali bertanya kepadanya:
"Bapak kan seorang ilmuwan, saya mau bertanya, saya mau tahu, mengapa jari jemari bapak berbeda panjangnya, kok tidak sama panjang? Coba bapak uraikan dengan jawaban yang ilmiah, bukan jawaban klasik."
Akhirnya bapak tersebut terdiam dan malu.
Seusai jamuan makan malam, dan pada sesi ramah tamah, pembicaraan berputar tentang urusan agama. Tak ayal lagi saya pun ikut hanyut dalam pembicaraan dengan mereka.
Di tengah-tengah pembicaraan yang sedang asyik ada seseorang yang bertanya: "maaf pak ustadz, saya ingin bertanya, namun saya berharap jawabannya yang ilmiah dan bukan jawaban klasik.
Pertanyaannya: "Kenapa Shalat Subuh Berjumlah 2 Rakaat, Maghrib 3 Rakaat, Dan Lainnya 4 Rakaat?"
Mendapat pertanyaan ini, saya hanya bisa menjawab: "Ya demikian ini ajarannya, maka kita hanya bisa mengucapkan sami'na wa atha'na."
Betapa terkejutnya saya ketika penanya menimpali jawaban saya dengan berkata : "Oooo.. ini mah jawaban klasik, saya sudah sering dengar jawaban klasik semacam ini."
Mendengar komentar ini saya berkesimpulan bahwa penanya seorang yang terpengaruh dengan ilmu filsafat, dan ternyata benar, menurut sang rektor ternyata dia mengambil magister di bidang ilmu filsafat.
Akhirnya saya balik bertanya : "Jadi Bapak mau jawaban yang kontemporer? Mudah sekali, saya akan buat tugas kepada bapak. Kan bapak adalah seorang yang berpendidikan, sehingga layak membuat suatu penelitian ilmiyah. Dan karena masalah sholat nara sumbernya adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan kebetulan beliau sudah wafat, ada baiknya jika bapak mengadakan riset di alam kubur. Coba bapak temuin Nabi di alam kubur, dengan cara mati bunuh diri atau lainnya, lalu adakan wawancara dengan Beliau. Kalau sudah dapat jawaban, kembalilah ke alam dunia, untuk kemudian membukukan hasil wawancara bapak dengan Beliau.
Kalau untuk pergi ke alam kubur bapak tidak punya dananya, saya siap mendanai sebegai sponsor riset bapak. Toh untuk bisa sampai ke alam kubur paling-paling cuma butuh racun tikus, atau sebilah pisau saja."
Mendengar tantangan saya rupanya bapak itu mulai merendah. Untuk semakin memberi pelajaran kepadanya saya tidak berhenti di sini. Saya kembali bertanya kepadanya:
"Bapak kan seorang ilmuwan, saya mau bertanya, saya mau tahu, mengapa jari jemari bapak berbeda panjangnya, kok tidak sama panjang? Coba bapak uraikan dengan jawaban yang ilmiah, bukan jawaban klasik."
Akhirnya bapak tersebut terdiam dan malu.