Begini Doa Nabi Ketika Mereka Menghina dan Melempari Beliau dengan Batu

Begini Doa Nabi Ketika Mereka Menghina dan Melempari Beliau dengan Batu

author photo
KabarMakkah.Com - Setelah paman tercinta Abu Thalib, meninggal dunia. Pihak kafir Quraisy semakin leluasa dalam menentang dan mengganggu Nabi SAW. Kemudian Rasulullah SAW berangkat ke Thaif demi menjaga diri dari gangguan mereka dan dengan harapan tinggi bisa membujuk penduduk thaif untuk menerima Islam, sehingga beliau akan mendapat tempat berlindung bagi pemeluk-pemeluk Islam dari gangguan kafir Quraisy. Namun apa yang terjadi? Apakah harapan sesuai dengan kenyataan?

Doa Nabi Ketika Mereka Menghina dan Melempari Beliau dengan Batu


Berduyun-duyun penduduk kota itu tumpah ruah ke jalan, laksana hendak melakukan sebuah perayaan besar. Namun bukan perayaan menyambut kebahagiaan yang mereka lakukan. Ternyata mereka mengerumuni seorang lelaki yang baru datang ke kotanya.

Lelaki itu sungguh kurang ajar menurut pendapat mereka, ia telah mengajak orang banyak untuk meninggalkan adat yang sudah turun temurun dilakukan. Ia sudah tidak menghormati para leluhur lagi. Maka pantaslah jika ia sekarang berlumuran darah akibat timpukan batu yang dilayangkan. Maka pantaslah sekarang ia menuai teriakan dan cacian karena ajakannya telah pula menghina para leluhur. Perbuatan yang menyimpang dari masyarakat banyak yang memang layak di tumpas.

Siapakah gerangan lelaki itu? Dia adalah Muhammad bin Abdullah. Lelaki pilihan Allah yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul. Jika Nabi dan Rasul sebelumnya hanya diutus untuk satu umat saja, Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat di alam dunia ini hingga hari akhir kelak.

Dakwah beliau dalam mengajak untuk meninggalkan kebiasaan lama dengan hanya beribadah pada Illah yang satu, menuai berbagai reaksi penolakan. Dakwahnya sudah harus bertemu dengan ganasnya kenyataan. Thaif, kota yang penduduknya diharapkan dapat menerima ajaran Islam, justru malah menentangnya dengan keras.

Cemoohan dan Hinaan yang Diterima Nabi Muhammad SAW di Thaif

Thaif atau Ta’if (الطائف aṭ-Ṭā’if) merupakan sebuah kota di Provinsi Mekkah, Arab Saudi pada ketinggian 1.700 m di lereng Pegunungan Sarawat. Kota ini adalah kota terbesar kedua yang berada di kawasan Hijaz. Disana terdapat kabilah bani Tsaqif, suatu kabilah yang cukup kuat dan besar jumlah penduduknya. Setibanya di Thaif Rasulullah SAW menemui tiga tokoh besar bani Tsaqif secara terpisah. Namun jauh dari kebiasaan bangsa Arab yang selalu menghormati tamunya, dengan sikap kasar mereka terus terang menyatakan ketidaksenangan akan kehadiran Nabi Muhammad SAW.

Walaupun sebelumnya Nabi Muhammad terkenal sebagi Al Amin (orang yang dapat dipercaya), namun ketika beliau memberitahukan bahwa dirinya adalah Rasul utusan Allah dan beliau mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah yang satu, ketiga tokoh bani Tsaqif itu mengatainya sebagai pembohong.

Salah seorang dari mereka berkata: “Benarkah Allah telah mengangkatmu jadi pesuruhNya?”.

“ Tidak dapatkah Allah memilih manusia selain kamu untuk jadi pesuruhNya?”. Ejek yang lain.

Ada juga yang berkata: “Jika engkau benar-benar seorang Nabi, aku tidak ingin berbicara dengamu, karena perbuatan yang demikian itu akan mendatangkan bencana bagiku. Sebaliknya jika kamu seorang pendusta, tidak ada gunanya aku berbicara denganmu!”.

Menghadapi perlakuan ketiga tokoh bani Tsaqif yang demikian kasar, tidak menjadikan Rasulullah SAW putus asa. Beliau meninggalkan ketiga tokoh yang tidak dapat diharapkan itu. Rasulullah mencoba mendatangi rakyat biasa. Namun kali ini pun beliau menghadapi kegagalan. Mereka berkata: “Keluarlah kamu dari kampung ini, dan pergilah kemana saja kamu suka!”.

Akhirnya beliau menyadari bahwa usahanya tidak akan menemui keberhasilan. Maka pergilah beliau meninggalkan Thaif. Akan tetapi penduduk kota Thaif tidak membiarkan beliau pergi begitu saja. Kata-kata ejekan terus dilontarkan sembari melempari beliau dengan batu. Demikian hebatnya lemparan demi lemparan batu itu hingga tubuh beliau berlumuran darah.

Dalam perjalanan pulang, Rasulullah SAW menjumpai tempat yang dirasa aman dari gangguan orang-orang jahat tersebut. Di sana Rasulullah SAW berdo’a:

“Wahai Rabb-Ku, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai Rabb-ku yang Maha Rahim. Engkaulah Robbnya orang-orang yang lemah dan Engkaulah Robb-ku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada musuh yang akan menerkamku, atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asal Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya muka-Mu yang mulia yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap. Dan atas-Nyalah teratur segala urusan dunia dan akhirat. Dari Engkau menimpakan atas diriku kemarahanMu atau dari Engkau turun atasku adzab-Mu. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Engkau.”

Demikian sedihnya do’a yang dipanjatkan nabi Muhammad ini, sehingga Allah SWT mengutus Jibril A.S untuk menemuinya. Setibanya di hadapan Rasulullah SAW, Jibril A.S memberi salam seraya berkata: 

“Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu”. 

Sambil berkata demikian jibril A.S memperlihatkan para malaikat tersebut kepada Rasulullah SAW.

Kata para malaikat tersebut: “Wahai Rasulullah, kami siap untuk menjalankan perintah tuan. Jika tuan mau, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung itu akan mati tertindih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan, kami siap melaksanakannya.”

Mendengar tawaran itu, Rasulullah SAW bersabda: “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”

Perhatikan teladan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dalam kehidupan sehari-hari jika keinginan kita ditolak atau tidak dihiraukan, maka dengan serta merta kita akan marah dan mengeluarkan cacian bahkan sumpah serapah mengutuk orang yang menolak keinginan kita tersebut. Jika ada kesempatan balas dendam pun tentu tidak akan kita lewatkan sia-sia.

Namun tidak demikian halnya dengan Nabi Muhammad SAW. Ketika beliau memperoleh tawaran dari para malaikat untuk membinasakan penduduk Thaif dengan membenturkan gunung-gunung yang mengapit kota tersebut, beliau menolaknya.

Beliau masih menaruh harapan semoga kelak ada keturunan penduduk kota tersebut yang beriman kepada Allah SWT. Jika tidak penduduknya sekarang, mungkin anak-anaknya. Jika tidak anak-anaknya, mungkin cucu-cucunya kelak.

Padahal penduduk Thaif bukan hanya menolak ajakan Nabi Muhammad SAW untuk menetapi kebenaran, namun juga berbalik memperlakukan Nabi Muhammad SAW dengan tidak berperikemanusiaan. Namun dengan sifat penyayangnya yang sangat besar, Nabi Muhammad SAW tidak mengambil kesempatan untuk balas dendam.

Suatu teladan yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan berumah tangga oleh para lelaki yang ingin menjadi imam di keluarganya. Imam yang bukan hanya menuntut harus dituruti keinginannya, namun juga imam yang penuh dengan kasih sayang. Jika ada anggota keluarganya yang susah diajak dalam kebenaran, maka tidak dihadapinya dengan amarah. Diserahkannya seluruh daya dan upaya pada Allah SWT dengan tidak ditinggalkannya usaha sungguh-sungguh untuk tetap mengajak dalam kebenaran.
Next article Next Post
Previous article Previous Post