Haruskah Permintaan Cerai Mengalir Dari Lidahku?

Haruskah Permintaan Cerai Mengalir Dari Lidahku?

author photo
KabarMakkah.Com – “ Haruskah permintaan cerai mengalir dari lidahku ?” - inilah sepenggal kalimat yang selalu bergaung di benakku. Cerai adalah kalimat yang dahulunya tidak pernah ada dalam kamus hidupku. Namun kini kata itu memenuhi setiap sumsum tulangku, menyapu tiap pori-pori kulitku, membekukan otakku dan membuat lidahku kelu.

Haruskah Permintaan Cerai Mengalir Dari Lidahku


Allah SWT berfirman dalam KalamNya bahwa laki-laki sholeh diperuntukkan untuk wanita sholehah dan wanita sholehah diperuntukkan untuk laki-laki sholeh. Namun ada juga misil dalam Al Qur’an yang menyebutkan dimana wanita sholehah bersuamikan laki-laki dzalim, sebagaimana yang terjadi pada Asiah -wanita mulia yang namanya disebut Allah sebagai salah satu wanita pewaris Jannah- yang bersuamikan Fir’aun -penguasa dzalim yang berlaku sewenang-wenang di bumi sampai-sampai mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan -.

Dalam kehidupan zaman sekarang ini, tidak sedikit wanita yang mengalami hal serupa dengan Asiah. Diantaranya hal yang terjadi dalam kehidupanku (Red-penulis). Namun di sini penulis tidak akan menyebutkan nama, karena penulis tidak bermaksud mengumbar aib sendiri. Satu-satunya hal yang diharapkan penulis adalah agar kita semua memetik ibroh dari kisah ini.

Aku berasal dari keluarga yang setia memegang dan menjalankan nilai-nilai Islam kedua orang tuaku yang berprofesi sebagai petani dan Alhamdulillah walaupun kecil, tanah yang kami garap adalah tanah sendiri. Sejak kecil aku sudah dididik untuk selalu berbuat baik, diantaranya dengan turut terjun membantu orang tua di ladang sepulang sekolah. Ketika waktu sholat tiba, kami sekeluarga tidak pernah melalaikan waktu sholat dan menunda-nundanya hanya demi urusan dunia. Semuanya serba tertib dan teratur.

Selepas pendidikan SPG -setingkat SMA- ku tamat, aku tidak melanjutkannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Aku sadar orang tuaku yang sudah renta akan kerepotan menanggung biayanya. Ditambah ketiga adikku masih usia sekolah yang notabene memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Aku memutuskan untuk bekerja mencari nafkah di salah satu pabrik yang letaknya terbilang lebih kota dibandingkan dengan tempat tinggalku. Di sanalah aku berkenalan dengan salah seorang pemuda yang menaruh hati padaku. Mengingat usiaku tak lagi remaja maka aku sambut baik niatnya. Lagi pula dari segi penghasilan, pemuda tersebut bisa dikatakan dapat diandalkan. Dia berprofesi sebagai pemasok alat-alat kantor dan berniaga jual-beli bahan bakar. Saat itu usahanya sedang pesat-pesatnya sehingga setiap kali datang berkunjung ke rumah, dia selalu membawa berbagai macam oleh-oleh dan tak lupa menyelipkan uang untuk adik-adikku di saat pulang.

Singkat cerita akhirnya aku jadi menikah dengannya, dengan harapan membina rumah tangga yang bahagia bersamanya. Di masa awal pernikahan kami, aku sudah mencium bau kebiasaan buruknya. Dia mempunyai kebiasaan menghabiskan waktu malamnya untuk berkumpul bersama teman-temannya sekedar merokok, minum-minum kopi dan main kartu. Walaupun permainan kartu tersebut tidak disertai taruhan uang layaknya permainan judi namun waktu yang dihabiskannya untuk begadang mempengaruhi kualitas hidupnya. Alhasil sholat subuh yang seharusnya didirikan tepat waktu, dikerjakannya setelah sang surya merona merah.

Hal ini tentu saja membuatku sangat kecewa, aku berharap dialah imam sholatku. Namun aku menaruh harapan bahwa kebiasaan ini sedikit demi sedikit bisa ku ubah.

Detik berganti menit…. menit berganti jam…. jam berganti hari…. hari berganti minggu…. minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun.

Akhirnya dari hasil pernikahan ini kami dikaruniai seorang putra. Alhamdulillah aku sangat bersyukur karenanya. Walaupun dari sisi lain, kekhawatiranku semakin bertambah. Bagaimana sang nakhoda kapal akan membimbing kami dari segi agama? Bagaimana suamiku yang sudah bertambah status dengan menyandang gelar ayah bisa memberikan contoh baik pada putraku?

Sebagaimana yang dikatakan para ahli anak, si kecil adalah peniru yang ulung. Anak akan meniru setiap perilaku yang ditunjukkan orang-orang di lingkungannya. Aku tidak mau putraku menjelma tumbuh menjadi orang sebagaimana ayahnya yang sampai saat ini masih berkutat dengan kebiasaan buruknya. Bukan aku tidak berusaha mengingatkannya, namun dia malah berbalik marah jika ku nasihati. Dan besoknya, dia malah mogok kerja dan tidur seharian di rumah (red. Hal ini sangat sering terjadi).

Akibatnya para pelanggan mulai beralih mencari pemasok lain. Barang-barang yang seharusnya sudah laku terjual pun menumpuk di gudang. Sebagian malah banyak yang rusak akibat lembab. Jalan usahanya semakin merosot dan ketika putra kami memasuki usia sekolah, suamiku praktis gulung tikar.

Bermodalkan ijazah SPG akhirnya aku memberanikan diri melamar ke salah satu SD Negeri untuk menjadi tenaga pengajar di sana. Dengan ijin Allah aku diterima, tapi dengan catatan aku harus mengambil kuliah untuk memperoleh gelar sarjana di sela-sela liburku. Laa Haula Walaa Quwwata illa Billah.. aku memberanikan diri mengambil langkah ini dengan segala resikonya.

Gaji di sekolah tidaklah besar, aku menutupi kekurangannya dengan berjualan kue. Maka jadilah aku ibu super sibuk, namun aku tetap memberikan contoh yang baik pada putraku dalam hal menjaga sholat. Tapi alangkah perihnya hati ini ketika aku mengajak dan menyuruh putraku sholat, dia malah menjawab :” ah…. Ibu cerewet sekali, nanti saja sholatnya. Toh sampai jam segini ayah juga belum sholat!”. Duhh benar saja ya Robb, ternyata putraku menjadikan perilaku buruk ayahnya sebagai tameng alasan. Pendidikan akhlak untuk anak memang harus dicontohkan oleh kedua orang tua, bukan salah satunya saja.

Melihat kesibukanku, suamiku tidak ringan tangan membantu sedikit pun. Pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel lantai, mencuci, menyetrika dan memasak tetap harus aku yang melakukan. Aku yang mencari uang untuk membeli beras dan aku pula yang harus menanaknya menjadi nasi. Memang ada sedikit uang yang dihasilkan suamiku dari kerja serabutannya satu dua hari dalam seminggu bantu-bantu di kelurahan. Namun uang tersebut tidak pernah sampai ke tanganku. Uang itu hanya cukup untuk membeli rokok dan pulsa hpnya.

Suatu hari, penasaran kutanyakan pada putraku: "Apa saja sih yang dilakukan ayahmu setiap hari ketika ibu bekerja?”. Jawaban yang diberikan putraku cukup mengejutkan. Putraku bilang : ”Ayah sibuk sms-an dengan wanita tuh bu, mungkin pacaran hehe..!". Sontak ku jawab :” Huss.. jangan bicara sembarangan!”.

Namun perkataan putraku menjadi benih penasaran yang terus tumbuh. Sehingga suatu malam ketika suamiku sudah terlelap, kuberanikan diri untuk mengambil HP dari saku bajunya. Ku periksa sms di kotak masuk dan keluar yang memang tidak dihapusnya karena mungkin dia tidak mengira aku akan memeriksa HP-nya.

Ku buka satu persatu sms tersebut, ku baca baik-baik tiap kalimat yang menyayat hati itu. Seketika itu juga air mata sedih bercampur marah berderai-derai membasahi pipiku. Untaian kata-kata mesra penuh rayuan gombal ditujukkan oleh suamiku pada wanita lain. Wanita yang ku kenali dari namanya sebagai tukang bersih-bersih di kantor kelurahan. Wanita itu memang sudah lama hidup sendiri bercerai dengan suaminya yang pergi entah kemana. Tidak heran jika Ia menyambut rayuan gombal suamiku dengan mesra pula.

Dihadapkan pada kenyataan ini, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi meneruskan biduk rumah tangga ini. Bulat tekadku malam itu untuk meminta cerai dari suamiku. Tapi bagaimana dengan putraku kelak? Lalu apa yang harus kukatakan pada kedua orang tuaku di kampung sana? Tegakah aku mengusik ketenangan mereka dengan masalah hidupku? Sanggupkah aku melihat raut sedih di garis-garis wajah renta mereka?

Namun semua ini harus diakhiri. Aku tahu perceraian adalah sesuatu yang halal namun dibenci Allah. Tapi jika tujuan berumah-tangga yang seyogyanya memberikan ketentraman sudah tidak bisa lagi tercapai, untuk apa lagi dipertahankan. Ya Allah berilah aku kekuatan.
Next article Next Post
Previous article Previous Post