Dalam Sehari, Berapa Kali Kita Tak Marah pada Anak?

Dalam Sehari, Berapa Kali Kita Tak Marah pada Anak?

author photo
Dalam sehari, 24 jam, ada berapa jam yang kita lowongkan dari kemarahan atas tingkah laku putra putri kita?

“Janganlah marah, bagimu Surga.” (Riwayat ath-Thabrani)

Hadits di atas cukup familiar dan sering diperdengarkan oleh anak-anak kita. Terutama yang bersekolah di lembaga Islam atau di Taman Pendidikan Al-Qur’an. Ya, betapa para orangtua harus berterima kasih kepada para guru yang telah mengajarkan hadits itu kepada putra putrinya. Sebagai jembatan bagi para orangtua untuk selalu mawas diri dan mengingat intisari dari hadits tersebut.



Cobalah kita menghitung diri kita sendiri. Dalam sehari, 24 jam, ada berapa jam yang kita lowongkan dari kemarahan atas tingkah laku putra putri kita? Jika hanya sekitar 5-10 jam yakni waktu tidur dan waktu sekolah yang luput dari kemarahan kita. Lantas ada berapa jam yang dilewati anak dalam seharinya bertemankan omelan, kata-kata dengan nada tinggi, larangan, dan adu argumen yang berujung pada hukuman? Lebih dari 12 jam, bukan?

Betapa sabar adalah pelajaran dengan tingkat kesulitan paling tinggi dalam materi parenting. Semua yang bersifat teori ataupun praktek dalam hal mendidik anak, ujungnya hanya bermuara pada satu titik. Sabar.

Sejatinya sabar memang harus diterapkan dari segala aspek kehidupan. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aala:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ

“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Surah al-Baqarah [2]: 45)

Ibarat sebuah gadget, sabar juga bisa mengalami low jika tak diisi ulang (recharge). Gadget bisa cepat drop ketika recharge tak sesuai aturan bahkan ia bisa rusak dan menjadi bangkai begitu saja. Olehnya, sering-sering bermuhasabah dan mempelajari teori-teori parenting, sekurangnya bisa membantu mengatasi hal tersebut. Utamanya, mohonlah bantuan dari Allah agar diberi kemudahan dalam mendidik titipan-Nya dengan sebaik-baiknya.

Mengapa harus marah?

Coba sesekali kita coba tenangkan diri. Positifkan fikiran. Sering-sering menarik nafas dan hembuskan dengan pelan ketika mendapati anak bertingkah yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Ketika anak makan dan menghambur makanan, minuman, mengotori baju dan lantai, cobalah tarik nafas. Pandang pemandangan itu bukan dari sudut pandang kita sebagai orang dewasa. Tapi coba posisikan diri kita sebagai anak. Betapa sesungguhnya ia tengah melatih motorik kasar dan halusnya, indera peraba perasa dan penciumannya. Ia sedang memaksimalkan konsentrasinya. Juga mencari pengalamannya sendiri.

Bayangkan ketika ia tengah bahagia dengan eksperimennya bersama sayuran yang berwarna-warni, tulang ayam yang menarik hati, dan butiran-butiran nasi yang nampak indah menghiasi jari.

Kemudian kita mengacaukannya dengan nada emosional, tinggi, dan menghentikan tingkahnya. Neuron yang tengah tersambung itu langsung putus seketika. Dan bahkan sulit untuk disambungkan kembali.

Alangkah bijak ketika stok kesabaran kita sedikit dilebihkan. Membiarkan mereka bermain dengan puas sesuai aturan yang telah disepakati untuk melatih disiplinnya. Membiarkan ia melakukan percobaan sesukanya. Lalu setelahnya, libatkan ia untuk membantu membereskan “pekerjaannya” dengan senang hati. Tentunya kelelahan kita atas “kekacauan” yang timbul, akan lebih santai dibandingkan bila kita berlaku sebaliknya.

Percayalah, ketika satu hal diselesaikan dengan cara yang negatif, maka akan memancing perkara lain untuk diselesaikan dengan cara yang sama. Dan jika satu hal diselesaikan dengan cara yang positif, maka akan mengundang hal-hal positif pula di waktu selanjutnya.

Ketika sudah terlanjur emosi, tingkah anak yang lucu dan menggemaskanpun bahkan bisa mengundang amarah. Seharusnya direspon dengan pelukan, malah direspon dengan cubitan. Astaghfirullah.

Jangan marah, bagimu surga!

Kalimat ini tentu memiliki muatan positif yang bermakna luas. Hubungan sebab akibat. Antara larangan dan ganjaran. Yang dituju memang surga yang sebenarnya. Tapi dengan menghindari marah, maka surga dunia sejak awal sudah bisa dinikmati.

Menyaksikan anak tumbuh dengan bahagia di lingkungan yang dibangun sepositif mungkin. Keluarga harmonis, penuh cinta dan kasih sayang. Suasana dalam rumah yang hangat, religius dan menentramkan. Tidak ada intimidasi, kegaduhan, apalagi silang pendapat yang terus menerus menghiasi hari. Apalagi yang akan didapati selain sakinah mawaddah wa rahmah. Baiti jannati (rumahku surgaku).

Anak-anak tumbuh sesuai tahapan usianya, orangtua pun tak perlu “tua karbitan” karena tak mampu kendalikan emosi. Semua kembali dengan satu kunci, yaitu sabar. Melapangkan hati, meluaskan sabar yang tak berbatas, mempositifkan fikiran, dan berusaha menerima suatu hal dari beragam sudut pandang.

Tak banyak yang tahu bahwa ketika kita terbiasa bersabar, maka tekanan stress pada syaraf kita akan berkurang. Maka akan berpengaruh baik pula bagi kesehatan fisik dan mental kita. Sehat dan awet muda, tentunya.

Semoga, kita semua diberikan stok kesabaran tak terhingga dalam membina rumah tangga, mendidik anak dan kelak meraih kesejatian surga-Nya. Amin.
Next article Next Post
Previous article Previous Post