Sejarawan: Islam Nusantara Said Aqil Cenderung Politis

Sejarawan: Islam Nusantara Said Aqil Cenderung Politis

author photo
Salah seorang Sejarawan ternama dari Universitas Indonesia (UI) Tiar Anwar Bachtiar menilai istilah Islam Nusantara tidak memiliki konsep yang padu dan kokoh. Istilah ini cenderung dipaksakan untuk kepentingan-kepentingan politis tertentu, sekalipun Azyumardi Azra berusaha untuk mengembalikannya ke ranah akademik.

“Usaha ini kelihatannya akan sia-sia saja. Apa yang diinginkan orang lain berbeda dengan yang dikehendakinya. Ada beberapa argument yang perlu dijelaskan untuk menunjukkan bahwa konsep ini sesungguhnya absurd dan tidak memiliki makna yang jelas,” ujar Doktor Sejarah UI ini.

Islam Nusantara


Tiar menilai, maksud Islam Nusantara seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, yaitu Islam yang menjadikan “budaya” sebagai landasan dalam beragama, bukan menghilangkannya, maka pernyataan ini sesungguhnya tidak berisi sama sekali.

“Budaya ini sejatinya adalah sesuatu yang sifatnya dinamis, tidak statis. Apa yang dimaksud ‘merangkul budaya’ dalam definisi Said Aqil Siradj? Apakah yang dimaksud adalah baca Al Qur’an dengan lagu Dandanggula? Shalat pakai sarung, bukan gamis? Pake kopiah, bukan sorban? Atau apa?”

Dikatakan Tiar, ketika Islam datang ke suatu tempat yang dibawa adalah ajaran. Ajaran Islam itu tidak berwujud budaya, tapi pada teks ilahiah yang abadi, yaitu Al Qur’an dan Sunnah.

Pembawanya mungkin berbudaya tertentu seperti “Arab”, karena dia asalnya dari Arab. Sebagai makhluk berbudaya, dia akan bertindak sesuai dengan kebiasaan budayanya. Pertama kali ia pakai gamis, berbicara bahasa Arab, makan nasi mindi dan kabsyah dan sebagainya. Itu pasti dilihat oleh orang-orang yang didatanginya.

Nah, kalau yang didatanginya merasa tidak ada masalah, biasanya kultur itu bisa berkembang atau bahkan berakulturasi dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Lihat saja bagaimana nasi Arab ini jadi makanan khas Betawi, nasi kebuli. Kejadian seperti ini normal dalam setiap hubungan antar-budaya.

Nama para kiai hampir semuanya berbahasa Arab. Sebut saja seperti KH. Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah, Abdurrahman Wahid, Musthofa Bishri, Yusuf Hasyim dan sebagainya. Apakah kira-kira NU siap di "nasionalisasi" dari Arabisasi yang sudah melekat menjadi karakter dan kultur NU?

“Orang akan bingung dengan Islam Nusantara yang dimaksud Said Agil. Ketua Umum PBNU itu mestinya tidak perlu sentiment terhadap “Islam Arab” yang definisinya juga tidak jelas. Said hanya menyebut “Islam Arab” itu suka berkonflik. Ini jelas aneh. Harusnya buat statistic yang baik, berapa banyak warga Arab yang konflik tiap hari dan berapa banyak yang adem-adem saja. Kalau Islam Arab itu senang berkonflik mestinya mereka tidak bisa hidup normal.”

Kalau dibalikkan lagi ke Islam Nusantara apa benar tidak pernah berkonflik atau minimal tidak senang berkonflik? Coba perhatikan ada tokoh NU – konon Ketua Pagar Nusa – berjuluk kiai bernama Nuril Huda. Dia biasa dipanggil Gus Nuril. Ceramah di Jakarta diturunkan dari pangung gara-gara memaki yang tidak suka Maulid disebut “wahabi”, biang “teroris” semisalnya.

“Apakah ini yang dimaksud anti kekerasan? Bukankah yang semacam ini adalah benih-benih timbulnya kekerasan? Model ceramah yang sama juga sering disampaikan oleh Said Agil Siradj sendiri. Bahkan istilah ‘Islam Nusantara’ yang dilontarkannya ini secara tidak langsung berpotensi memecah belah umat dan menimbulkan konflik. Sebenarnya siapa yang senang berkonflik?” tanya Tiar.

Tiar sangat berbaik sangka bahwa sebagian besar Kiai NU masih berpikiran lurus. Kalau yang dibawa-bawa oleh Said Agil Siradj adalah NU, mereka pasti tidak akan menyetujuinya. Simak saja wawancara dengan KH. Ali Mustofa Ya’qub yang juga pengurus PBNU dan pernah menjadi sekretaris pribadi Gus Dur. Kiai yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal ini bisa menundukkan masalah yang jernih.”

“Bagi elit NU seperti Said Agil Siradj, mungkin tipikal Ali Mustofa Ya’qub ini tidak disenangi karena beliau selalu memberikan opini berbeda di kalangan elit NU sendiri. Ia bahkan seringkali dituduh sebagai NU-Wahabi, atau Wahabi yang disusupkan ke tubuh NU.”

sumber: IslamPos
Next article Next Post
Previous article Previous Post