KabarMakkah.Com - Menjelang lebaran Idul Fitri biasanya sering kita jumpai Jasa Tukar Uang Receh di pinggir-pinggir jalan raya. Fenomena seperti ini terkadang menarik perhatian kita untuk ikut serta menukarkan uang buat angpau atau uang hadiah buat anak-anak dalam bentuk uang.
Lalu bagaimana hukum jual beli uang tersebut? Apakah sah? Atau malah masuk dalam kategori Riba?
Perlu kita ketahui, bahwasanya mayoritas ulama kontemporer mengharamkan praktek jual beli uang dengan uang seperti praktek diatas, karena hal itu sama saja dengan riba. Namun jika kita telusuri lebih jauh, ternyata ada juga beberapa ulama' yang membolehkan. Tentu masing-masing punya argumen dan dalil yang melatar-belakangi pendapat masing-masing.
Mari kita bahas tentang kedua pendapat tersebut,
Pendapat yang mengharamkan akad jual beli seperti ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang tukar menukar barang yang sama tetapi dengan nilai yang berbeda.
Dalam ilmu fiqh, akad seperti ini disebut dengan akad riba, biasa disebut dengan istilah riba fadhl (فضل). Haditsnya adalah sebagai berikut :
Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma, garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu akan tetapi harus tunai" (HR Muslim).
Para ulama' fiqh mendefinisikan riba fadhl ini sebagai :
Kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, apabila keduanya dipertukarkan
Pada dasarnya riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam barter atau tukar menukar benda riba yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas.
Riba fadhl terjadi hanya jika dua jenis barang yang sama ditukarkan dengan ukuran yang berbeda, akibat adanya perbedaan kualitas di antara kedua. Kalau kedua barang itu punya ukuran sama dan kualitas yang sama, tentu bukan termasuk riba fadhl.
Contoh dari barter 2 benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 150 gram ditukar dengan emas seberat 100 gram secara langsung. Emas yang 150 gram kualitasnya cuma 22 karat, sedangkan emas yang 100 gram kualitasnya 24 karat. Kalau pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.
Dalam pandangan para ulama yang mengharamkan praktek ini, kenapa tukar menukar uang seperti diatas itu haram, karena pada hakikatnya ada kesamaan praktek dengan haramnya tukar menukar emas dengan emas.
Meskipun pada kenyataannya wujud benda yang dipertukarkan memang bukan emas tetapi uang kertas, akan tetapi pada hakikatnya menurut pandangan mereka uang kertas itu memiliki fungsi sebagaimana emas di jaman dulu, yaitu sebagai alat tukar yang sah.
Intinya, Jika hukum tukar menukar emas yang berbeda berat dan nilainya haram, maka tukar menukar uang yang berbeda nilai pun juga haram. Dan mereka mendefinisikan keharaman akad ini karena termasuk riba, yaitu riba fadhl.
Jika kita telusuri melalui mesin pencari di internet, seperti Google. Maka kita akan menemukan banyak pihak yang mengatakan bahwa tukar menukar uang seperti diatas hukumnya haram.
Kendati demikian, terkadang kita juga menemukan adanya pendapat kalangan minoritas yang membolehkan barter uang berbeda nilai ini.
Dan jika kita telusuri apa yang menjadi argumen mereka, setidaknya kita akan menemukan ada dua alasan.
a. Alasan Pertama : Uang Kertas Tidak Termasuk 6 Jenis Harta
Menurut mereka yang menghalalkan praktek tukar uang ini, keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada 6 jenis benda yang disebutkan dalam hadits diatas. Keenam benda itu adalah emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam. Sedangkan jika yang dibarterkan selain keenam benda tersebut, maka hukumnya tidak apa-apa walaupun berbeda ukuran. karena kualitasnya beda.
Di jaman sekarang ini uang terbuat dari kertas. Dan kertas tidak bisa disebut sebagai benda ribawi yang diharamkan seperti 6 benda diatas. Maka kemudian mereka berpendapat tidak ada yang dilanggar dalam praktek tukar uang.
b. Alasan Kedua
Sekalipun uang kertas yang kita pakai hari ini dianggap sebagai representasi dari emas di jaman dulu, maka secara fisik yang dipertukarkan juga berbeda. Uang kertas 100-ribuan secara fisik berbeda dengan tukarannya yang berupa logam atau uang receh yang terbuat dari logam.
Oleh karena itu jika uang kertas ditukar dengan uang logam, tentu tidak termasuk tukar menukar benda sejenis. Dan oleh karena itu tidak terkena larangan seperti yang dimaksud di atas.
Bantahan Pihak Pertama
Tentu saja kalangan yang mengharamkan praktek diatas memiliki argumen dan hujjah yang melemahkan pendukung pendapat yang menghalalkan.
Alasan bahwa riba fadhl yang diharamkan hanya terbatas pada enam jenis benda saja, dianggap sebagai pendapat yang kurang tepat. Sebab sewaktu Rasulullah SAW menyebutkan keenam jenis benda itu, tujuannya bukanlah untuk membatasi, akan tetapi untuk memberikan contoh saja.
Buktinya, Mayoritas ulama juga memasukkan haramnya tukar menukar 2 jenis beras yang berbeda kualitas dengan ukuran timbangan yang berbeda. Padahal dalam hadits diatas Rasulullah tidak menyebutkan beras.
Alasan yang kedua. karena dalam realitanya, khususnya banyak yang terjadi di Indonesia, benda yang dibarter adalah benda sejenis, yaitu uang kertas ditukar dengan uang kertas juga.
Keduanya merupakan satu jenis benda, yaitu "kertas", namun memiliki nilai yang berbeda. Yang satu pecahan 100 ribuan, yang satu pecahan 5 ribuan. Kemudian dipertukarkan begitu saja dengan nilai nominal yang berbeda. Satu juta rupiah ditukar dengan 980 ribu rupiah.
Disinilah titik haramnya, menurut ulama yang mengharamkan praktek jual beli uang.
3. Jalan Tengah
Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat diatas? Apakah kita ikuti pendapat yang pertama, ataukah kita ikuti pendapat kedua yang menghalalkan?
Sebenarnya, keduanya sama-sama punya resiko. Kalau kita ikuti pendapat pertama, resikonya kita tidak bisa menukarkan uang receh, padahal kita sangat membutuhkan, apalagi ketika menjelang lebaran. Sedangkan jika kita pakai pendapat yang kedua, resikonya lebih besar, karena bisa jadi kita akan terjebak pada riba yang jelas-jelas telah diharamkan.
Oleh karena itu, saya menawarkan jalan tengah yang gampang. Dan dalam ini Bank Indonesia (BI) telah menyediakan jasa penukaran uang receh tanpa selisih. Kalau kita tukarkan uang 2 juta rupiah misalnya, maka yang akan kita terima tetap utuh 2 juta rupiah, tanpa selisih dan tanpa potongan apapun.
Dan biasanya menjelang lebaran, Bank Indonesia telah menyiapkan pos-pos dan titik-titik tertentu yang telah disiapkan sebagai tempat penukaran uang gratis. Bahkan BI juga sering bekerjasama dengan beberapa bank untuk jasa penukaran uang receh dengan gratisnya.
Masalahnya, siapa yang punya waktu untuk capek-capek antri di bank sekedar untuk dapat uang receh?
Jawabnya justru malah jadi jalan keluar. Kita bisa saja mengupah seseorang untuk mengerjakannya. Uang yang ditukar tidak mengalami perbedaan nilai. Tukar uang 2 juta rupiah dengan 2 juta rupiah juga. Kemudian kita beri upah buat orang yang kita suruh membantu kita melakukan penukaran, katakanlah untuk biaya uang capek dan waktunya yang terbuang karena harus mengantri.
Yang perlu dicatat adalah akadnya harus karena "mengupah" dan bukan uang kutipan atau uang catutan. Uang itu semata-mata imbalan atas jasa mengantri di tempat penukaran uang. Maka akadnya menjadi halal 100% tanpa keraguan.
Wallahu a'lam bisshawaab.
Sumber: RumahFiqih.Com
Lalu bagaimana hukum jual beli uang tersebut? Apakah sah? Atau malah masuk dalam kategori Riba?
Hukum Tukar Uang Receh Menjelang Lebaran |
Perlu kita ketahui, bahwasanya mayoritas ulama kontemporer mengharamkan praktek jual beli uang dengan uang seperti praktek diatas, karena hal itu sama saja dengan riba. Namun jika kita telusuri lebih jauh, ternyata ada juga beberapa ulama' yang membolehkan. Tentu masing-masing punya argumen dan dalil yang melatar-belakangi pendapat masing-masing.
Mari kita bahas tentang kedua pendapat tersebut,
1. Pendapat Yang Mengharamkan
Pendapat yang mengharamkan akad jual beli seperti ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang tukar menukar barang yang sama tetapi dengan nilai yang berbeda.
Dalam ilmu fiqh, akad seperti ini disebut dengan akad riba, biasa disebut dengan istilah riba fadhl (فضل). Haditsnya adalah sebagai berikut :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma, garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu akan tetapi harus tunai" (HR Muslim).
Para ulama' fiqh mendefinisikan riba fadhl ini sebagai :
التَّفَاضُل فِي الْجِنْسِ الْوَاحِدِ مِنْ أَمْوَال الرِّبَا إِذَا بِيعَ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ
Kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, apabila keduanya dipertukarkan
Pada dasarnya riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam barter atau tukar menukar benda riba yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas.
Riba fadhl terjadi hanya jika dua jenis barang yang sama ditukarkan dengan ukuran yang berbeda, akibat adanya perbedaan kualitas di antara kedua. Kalau kedua barang itu punya ukuran sama dan kualitas yang sama, tentu bukan termasuk riba fadhl.
Contoh dari barter 2 benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 150 gram ditukar dengan emas seberat 100 gram secara langsung. Emas yang 150 gram kualitasnya cuma 22 karat, sedangkan emas yang 100 gram kualitasnya 24 karat. Kalau pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.
Dalam pandangan para ulama yang mengharamkan praktek ini, kenapa tukar menukar uang seperti diatas itu haram, karena pada hakikatnya ada kesamaan praktek dengan haramnya tukar menukar emas dengan emas.
Meskipun pada kenyataannya wujud benda yang dipertukarkan memang bukan emas tetapi uang kertas, akan tetapi pada hakikatnya menurut pandangan mereka uang kertas itu memiliki fungsi sebagaimana emas di jaman dulu, yaitu sebagai alat tukar yang sah.
Intinya, Jika hukum tukar menukar emas yang berbeda berat dan nilainya haram, maka tukar menukar uang yang berbeda nilai pun juga haram. Dan mereka mendefinisikan keharaman akad ini karena termasuk riba, yaitu riba fadhl.
Jika kita telusuri melalui mesin pencari di internet, seperti Google. Maka kita akan menemukan banyak pihak yang mengatakan bahwa tukar menukar uang seperti diatas hukumnya haram.
2. Pendapat Yang Membolehkan
Kendati demikian, terkadang kita juga menemukan adanya pendapat kalangan minoritas yang membolehkan barter uang berbeda nilai ini.
Dan jika kita telusuri apa yang menjadi argumen mereka, setidaknya kita akan menemukan ada dua alasan.
a. Alasan Pertama : Uang Kertas Tidak Termasuk 6 Jenis Harta
Menurut mereka yang menghalalkan praktek tukar uang ini, keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada 6 jenis benda yang disebutkan dalam hadits diatas. Keenam benda itu adalah emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam. Sedangkan jika yang dibarterkan selain keenam benda tersebut, maka hukumnya tidak apa-apa walaupun berbeda ukuran. karena kualitasnya beda.
Di jaman sekarang ini uang terbuat dari kertas. Dan kertas tidak bisa disebut sebagai benda ribawi yang diharamkan seperti 6 benda diatas. Maka kemudian mereka berpendapat tidak ada yang dilanggar dalam praktek tukar uang.
b. Alasan Kedua
Sekalipun uang kertas yang kita pakai hari ini dianggap sebagai representasi dari emas di jaman dulu, maka secara fisik yang dipertukarkan juga berbeda. Uang kertas 100-ribuan secara fisik berbeda dengan tukarannya yang berupa logam atau uang receh yang terbuat dari logam.
Oleh karena itu jika uang kertas ditukar dengan uang logam, tentu tidak termasuk tukar menukar benda sejenis. Dan oleh karena itu tidak terkena larangan seperti yang dimaksud di atas.
Bantahan Pihak Pertama
Tentu saja kalangan yang mengharamkan praktek diatas memiliki argumen dan hujjah yang melemahkan pendukung pendapat yang menghalalkan.
Alasan bahwa riba fadhl yang diharamkan hanya terbatas pada enam jenis benda saja, dianggap sebagai pendapat yang kurang tepat. Sebab sewaktu Rasulullah SAW menyebutkan keenam jenis benda itu, tujuannya bukanlah untuk membatasi, akan tetapi untuk memberikan contoh saja.
Buktinya, Mayoritas ulama juga memasukkan haramnya tukar menukar 2 jenis beras yang berbeda kualitas dengan ukuran timbangan yang berbeda. Padahal dalam hadits diatas Rasulullah tidak menyebutkan beras.
Alasan yang kedua. karena dalam realitanya, khususnya banyak yang terjadi di Indonesia, benda yang dibarter adalah benda sejenis, yaitu uang kertas ditukar dengan uang kertas juga.
Keduanya merupakan satu jenis benda, yaitu "kertas", namun memiliki nilai yang berbeda. Yang satu pecahan 100 ribuan, yang satu pecahan 5 ribuan. Kemudian dipertukarkan begitu saja dengan nilai nominal yang berbeda. Satu juta rupiah ditukar dengan 980 ribu rupiah.
Disinilah titik haramnya, menurut ulama yang mengharamkan praktek jual beli uang.
3. Jalan Tengah
Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat diatas? Apakah kita ikuti pendapat yang pertama, ataukah kita ikuti pendapat kedua yang menghalalkan?
Sebenarnya, keduanya sama-sama punya resiko. Kalau kita ikuti pendapat pertama, resikonya kita tidak bisa menukarkan uang receh, padahal kita sangat membutuhkan, apalagi ketika menjelang lebaran. Sedangkan jika kita pakai pendapat yang kedua, resikonya lebih besar, karena bisa jadi kita akan terjebak pada riba yang jelas-jelas telah diharamkan.
Oleh karena itu, saya menawarkan jalan tengah yang gampang. Dan dalam ini Bank Indonesia (BI) telah menyediakan jasa penukaran uang receh tanpa selisih. Kalau kita tukarkan uang 2 juta rupiah misalnya, maka yang akan kita terima tetap utuh 2 juta rupiah, tanpa selisih dan tanpa potongan apapun.
Dan biasanya menjelang lebaran, Bank Indonesia telah menyiapkan pos-pos dan titik-titik tertentu yang telah disiapkan sebagai tempat penukaran uang gratis. Bahkan BI juga sering bekerjasama dengan beberapa bank untuk jasa penukaran uang receh dengan gratisnya.
Masalahnya, siapa yang punya waktu untuk capek-capek antri di bank sekedar untuk dapat uang receh?
Jawabnya justru malah jadi jalan keluar. Kita bisa saja mengupah seseorang untuk mengerjakannya. Uang yang ditukar tidak mengalami perbedaan nilai. Tukar uang 2 juta rupiah dengan 2 juta rupiah juga. Kemudian kita beri upah buat orang yang kita suruh membantu kita melakukan penukaran, katakanlah untuk biaya uang capek dan waktunya yang terbuang karena harus mengantri.
Yang perlu dicatat adalah akadnya harus karena "mengupah" dan bukan uang kutipan atau uang catutan. Uang itu semata-mata imbalan atas jasa mengantri di tempat penukaran uang. Maka akadnya menjadi halal 100% tanpa keraguan.
Wallahu a'lam bisshawaab.
Sumber: RumahFiqih.Com