Setelah Wudhu, Lebih Utama Mana, Dilap Atau Dibiarkan?

Setelah Wudhu, Lebih Utama Mana, Dilap Atau Dibiarkan?

author photo
Setelah Wudhu, Lebih Utama Mana, Dilap Atau Dibiarkan?

Assalamualaikum Ustadz, Mohon pencerahan tentang hukum mengelap muka atau anggota tubuh lainnya yang terkena air wudhu sebelum melaksanakan sholat.

Karena ada beberapa teman yang mengatakan bahwa setelah wudhu, kita tidak boleh mengeringkan bekas wudhu tersebut dengan kain lap atau handuk, biarkan mengering dengan sendirinya.

Kalau mengambil wudhu di masjid memang mungkin saja tidak dilap, tetapi jika mengambil wudhu di rumah, saya terbiasa mengeringkan bekas wudhunya baik di wajah maupun tangan (dan terkadang sampai kaki) dengan handuk. Bagaimanakah hukum sebenarnya mengenai hal ini, salahkah saya?

Demikian atas jawaban Ustadz. Saya aturkan terima kasih.

Setelah Wudhu, Lebih Utama Mana, Dilap Atau Dibiarkan?


Jawaban : 

Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,

Pertanyaan Anda ini memang sudah sejak zaman dahulu menjadi titik perbedaan pandangan di kalangan para ulama dan mujtahidin. Tetapi perbedaan pendapatnya hanya seputara mana yang lebih afdhal atau lebih utama, bukan mana yang wajib dan mana yang terlarang.

Dengan melihat banyak dalil dari sunnah Rasulullah SAW, sebagian memandang yang lebih utama setelah wudhu adalah dibiarkan saja menetes-netes, tidak usah dilap atau dihanduki. Namun juga dengan menggunaan dalil sunnah Rasulullah SAW, sebagian malah memandang lebih utama kalau air sisa bekas wudhu' itu segera dilap dan dikeringkan.

Mungkin buat kita yang awam terasa aneh. Kok sama-sama menggunakan sunnah Rasulllah SAW, hasilnya masih tetap beda juga ya?

Padahal seringkali kita dianjurkan untuk meninggalkan pendapat manusia dan kembali saja kepada sunnah Rasulullah SW yang asli, dan 'dijamin' kita tidak akan pernah berbeda pendapat. Alasannya, karena sumbernya satu, maka hasilnya pasti hanya ada satu.

Ternyata tesis seperti itu tidak selamanya benar. Kembali kepada sunnah Rasulullah SAW ternyata tidak selalu melahirkan hasil yang sama. Padahal keduanya sudah memenuhi syarat keshahihan dan validitasnya.

Mari kita sama-sama dalami seperti apa terjadinya perbedaan pendapat yang ternyata bukan semata karena berbeda mazhab atau pemikiran, tetapi justru karena dari 'sono'nya sudah beda, yaitu dari Rasulullah SAW sebagai sumber syariah Islam.

1. Makruh

Mereka yang berpendapat hukumnya makruh untuk mengeringkan bekas sisa air wudhu’ berhujjah bahwa nanti di hari kiamat, umat Nabi Muhammad SAW dikenali dari bekas sisa air wudhu’.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :

إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيل غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَل

Sungguh ummatku akan diseru pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya karena bekas wudhu’nya. Maka siapa yang mampu melebihkan panjang sinar pada tubuhnya, maka lakukanlah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, bekas sisa air wudhu’ hukumnya makruh bila cepat-cepat dikeringkan.

Di antara para ulama yang memakruhkannya adalah mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa meninggalkan bekas sisa air wudhu pada badan merupakan keutamaan.

Al-Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits ini terdapat dua makna. Makna yang pertama bahwa yang dimaksud “ghurran muhajjilin” orang yang dibangkitkan dengan wajah yang terang benderang di hari kiamat adalah yang melebihkan air dalam membasuh anggota wudhu.

2. Sunnah

Sebaliknya mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa menyeka atau mengeringkan bekas sisa air wudhu’ hukumnya sunnah. Dasarnya karena Rasulullah SAW pernah melakukannya.

أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ ثُمَّ قَلَبَ جُبَّةً كَانَتْ عَلَيْهِ فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ

Bahwa Nabi SAW berwudhu kemudian beliau membalik jubbahnya dan mengusapkannya pada wajahnya. (HR. Ibnu Majah).

Selain dalil fi'liyah yang dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW di atas, mereka yang mendukung pendapat ini juga memandang bahwa mengusap bekas sisa air wudhu itu seperti menghilangkan dosa. Sebab di hadits yang lain disebutkan bahwa wudhu' itu merontokkan dosa. Logikanya, sisa bekas air wudhu itu dianggap mengandung dosa, sehingga harus segera dibersihkan.

Dalilnya sebagai berikut :

إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ - أَوِ الْمُؤْمِنُ - فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ -، فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ -، فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلَاهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ

Apabila seorang hamba yg muslim atau mukmin itu berwudhu di mana sewaktu ia membasuh mukanya, maka keluarlah semua dosa yg dilihat dengan kedua matanya dari mukanya bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air yg terakhir. Jika ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah semua dosa yg diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir. Dan jika ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah semua dosa yg diperbuat oleh kedua kakinya itu bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air yg terakhir, sehingga ia benar-benar bersih dari semua dosa. (HR. Muslim).

Perhatikan lagi sabda Rasulullah berikut ini :

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟» قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

Maukah kamu sekalian aku tunjukkan sesuatu yg mana dengan sesuatu itu ALLAH akan menghapus dosa-dosa kalian dan dengan sesuatu itu pula ALLAH akan mengangkat kalian beberapa derajat?” Para sahabat menjawab, “Iya, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Yaitu menyempurnakan wudhu atas hal-hal yg tidak disukai, memperbanyak langkah ke masjid-masjid dan menantikan sholat sehabis sholat. Maka itulah yang dinamakan ar-Ribath (mengikatkan diri dalam ketaatan) (HR. Muslim)

Kesimpulan :

Lalu kita pakai yang mana dari dua pendapat di atas?

Begitu biasanya pertanyaan selanjutnya dari para penanya, apabila saya menjawab masalah yang khilafiyah dengan menampilkan semua pilihan fatwa dilengkapi dengan dalil-dalilnya.

Biasanya saya akan menjawab dengan sederhana, silahkan pakai pendapat yang mana saja yang Anda cenderung untuk memakainya. Toh, semua pendapat itu sama-sama didasari dengan dalil-dalil yang shahih, plus juga merupakan hasil ijtihad para fuqaha dan mujtahidin yang memang ahli dibidangnya serta memiliki otoritas yang tepat.

Sehingga pilihan manapun yang Anda pilih, sudah dijamin tidak akan menjadi dosa atau celaka.

Namun terkadang, tetap saja pihak penanya suka penasaran, lalu menyampaikan pertanyaan lagi,"Kalau Ustadz sendiri pilih yang mana?".

Biasanya kalau sudah sampai disini saya suka menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Next article Next Post
Previous article Previous Post