Cara Qadha Shalat Yang Ditinggalkan Dengan Sengaja Puluhan Tahun

Cara Qadha Shalat Yang Ditinggalkan Dengan Sengaja Puluhan Tahun

author photo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, Saya ada beberapa pertanyaan tentang mengqodho’ sholat, mohon perkenan ustadz untuk menjawabnya :

1. Bagaimana hukum mengganti atau qadha shalat menurut para fuqaha’?

2. Bagaimana tata cara qadha atau mengganti sholat yang ditinggalkan baik sengaja maupun tidak disengaja? Mohon penjelasannya secara rinci

3. Selama ini jika saya meninggalkan sholat baik disengaja ataupun tidak, saya tidak pernah menggantinya, apakah saya harus mengganti shalat-shalat tersebut yang sudah berlangsung selama puluhan itu ?

Mohon pencerahannya ustadz, karena hal ini adalah kegalauan yang belum saya temukan jawabannya secara memuaskan. Semoga Allah membalas segala kebaikan ustadz. Aamiin.

Cara Qadha Shalat Yang Ditinggalkan Dengan Sengaja Puluhan Tahun


Jawaban

Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.

Mengqadha shalat artinya mengganti shalat yang terlewat dari waktunya. Hukumnya wajib dikerjakan, sebab shalat yang terlewat waktunya tidak gugur kewajibannya.

A. Dalil Shalat Qadha

Ada beberapa hadits yang menjadi dasar wajibnya shalat Qadha, antara lain

1. Hadits Shahih Bukhari

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)

2. Praktek Nabi SAW Mengqadha Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq

apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika meninggalkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya ketika berkecamuk perang Khandaq di tahun kelima hijriyah.

عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ

Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah, ”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)

3. Praktek Nabi SAW Mengqadha Shalat Shubuh Sepulang dari Perang Khaibar

Selain itu juga apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika tertidur dan habis waktu Shubuh saat terjaga saat pulang dari perang Khaibar di tahun ketujuh hijriyah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ . قَالَ بِلالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari)

B. Ijma’ Ulama Atas Wajibnya Qadha Shalat

Seluruh ulama dari semua madzhab fiqih yang ada, baik yang muktamad atau yang tidak, tanpa terkecuali telah berijjma’ atas wajibnya qadha’ shalat. Para ulama empat madzhab tanpa terkecuali satu pun telah bersepakat bahwa hukum mengqadha’ shalat wajib yang terlewat wajib. Tidak ada satu pun ulama yang punya pendapat yang berbeda. Sebab dasar-dasar kewajibannya sangat jelas dan nyata, tidak ada satu pun orang Islam yang bisa menolak kewajiban qadha’ shalat.

1. Madzhab Al-Hanafiyah

Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama madzhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi sebagai berikut :

ومن فاتته صلاة قضاها إذا ذكرها وقدمها على فرض الوقت

Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqadha’nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari shalat fardhu pada waktunya. [1]

Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama madzhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :

أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة

Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha’, baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit.[2]

2. Madzhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama madzhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :

ومن نسي صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها

Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia. [3]

Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu tokoh ulama besar dalam madzhab Al-Malikiyah menuliskan di dalamnya kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :

الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي الْقَضَاءِ وَهُوَ وَاجِبٌ فِي كُلِّ مَفْرُوضَةٍ لَمْ تفعل

Pasal pertama tentang qadha. Mengqadha’ hukumnya wajib atas shalat yang belum dikerjakan.[4]

Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741) salah satu ulama madzhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah sebagai berikut :

الْقَضَاء إِيقَاع الصَّلَاة بعد وَقتهَا وَهُوَ وَاجِب على النَّائِم وَالنَّاسِي إِجْمَاعًا وعَلى الْمُعْتَمد

Qadha’ adalah mengerjakan shalat setelah lewat waktunya dan hukumnya wajib, baik bagi orang yang tertidur, terlupa atau sengaja. [5]

3. Madzhab As-Syafi’iyah

Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam madzhab Asy-Syafi’iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

ومن وجبت عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها

Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka wajiblah atasnya untuk mengqadha’nya. [6]

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq terbesar dalam madzhab Asy-Syafi’iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور

Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha’nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha’nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.[7]

4. Madzhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam madzhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :

إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله

Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha’nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[8]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama madzhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Inshaf sebagai berikut :

وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَوَاتٌ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا عَلَى الْفَوْرِ

Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat maka wajib atasnya untuk mengqadha’ saat itu juga.[9]

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu tokoh besar dalam madzhab Al-Hanabilah menegaskan bahwa mengqadha’ shalat itu wajib hukumnya, meskipun jumlahnya banyak.

فإن كثرت عليه الفوائت وجب عليه أن يقضيها بحيث لا يشق عليه في نفسه أو أهله أو ماله

Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha’nya, selaam tidak memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya. [10]

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (w. 751 ) menuliskan di dalam kitabnya Ash-Shalatu wa Ahkamu Tarikuha sebagai berikut:

وأما الصلوات الخمس فقد ثبت بالنص والإجماع أن المعذور بالنوم والنسيان وغلبة العقل يصليها إذا زال عذره

Adapun shalat lima waktu yang telah ditetapkan dengan nash dan ijma’m bahwa orang yang punya udzur baik tidur, lupa atau ghalabatul ‘aqli wajib mengerjakannya begitu udzurnya sudah hilang.[11]

C. Mengganti Shalat Yang Sengaja Ditinggalkan

Seluruh ulama sepakat bahwa apapun latar belakang yang mendasari seseorang meninggalkan shalat fardhu, baik karena sengaja atau karena ada udzur yang syar’i, tetapi kewajiban untuk menggantinya tetap berlaku. Oleh karena itu tidak ada bedanya dalam urusan tata cara menggqadha’nya.

Namun ada sedikit catatan yang perlu diketahui, yaitu :

1. Madzhab Asy-Syafi’i Membolehkan Menunda Qadha’ Bila Karena Udzur

Umumnya para ulama sepakat bahwa menggaqadha’ shalat itu wajib segera dikerjakan, begitu seseorang telah terlepas dari udzur yang menghambatnya. Misalnya, ketika terlewat gara-gara tertidur atau terlupa, maka wajib segera mengerjakan shalat begitu bangun dari tidur atau teringat. Dan hal ini juga berlaku buat orang yang secara sengaja meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur.

Namun khusus dalam pandangan madzhab Asy-syafi’iyah, bila seseorang punya udzur yang amat syar’i ketika meninggalkan shalat, dibolehkan untuk menunda qadha’nya dan tidak harus segera dilaksanakan saat itu juga. Dalam hal ini kewajiban qadha’ shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).

Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima secara syar’i, seperti karena lalai, malas, dan menunda-nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha’ untuk segera dilaksanakan secepatnya.

Bolehnya menunda shalat qadha’ yang terlewat dalam madzhab ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :

لاَ ضَيْرَ – أَوْ لاَ يَضِيرُ – ارْتَحِلُوا فَارْتَحَل فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَل فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Rasulullah beliau menjawab,”Tidak mengapa”, atau ” tidak menjadi soal”. “Lanjutkan perjalanan kalian”. Maka beliau SAW pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).

2. Ibnu Hazm Berpendapat Tidak Ada Qadha’ Kalau Sengaja Meninggalkan Shalat

Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi Atsar, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja.

وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها فهذا لا يقدر على قضائها أبدا فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزانه يوم القيامة وليتب وليستغفر الله عز وجل

Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya, maka tidak dihitung qadha’nya selamanya. Maka dia memperbanyak amal kebaikan dan shalat sunnah untuk meringankan timbangan amal buruknya di hari kiamat, lalu dia bertaubat dan meminta ampun kepada Allah SWT. [12]

D. Terlalu Banyak Meninggalkan Shalat, Apakah Tetap Wajib Diganti?

Tidak ada satupun ulama yang mengatakan bahwa bila shalat yang terlewat itu terlalu banyak jumlahnya, lantas kewajiban qadha’nya menjadi gugur. Bahkan Ibnu Hazm yang selama ini berbeda dengan semua ulama yang ada, juga tidak memandang gugurnya kewajiban qadha apabila alasannya hanya karena jumlahnya terlalu banyak. Buat beliau, bila sengaja meninggalkan shalat, gugurlah kewajiban qadha’.

Oleh karena itulah maka umumnya para ulama sepakat bahwa mau banyak atau sedikit shalat yang ditinggalkan, tetap saja wajib untuk dikerjakan. Bahkan Ibnu Qudamah dari madzhab Al-Hanabilah menyebutkan tentang kewajiban menyibukkan diri dalam rangka mengqadha shalat yang terlalu banyak ditinggalkan.

إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله

Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha’nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[13]

Bahkan Ibnu Taimiyah sekalipun juga tetap mewajibkan qadha’ shalat meski sudah terlalu banyak. Dalam fatwanya beliau tegas menyebutkan hal itu :

فإن كثرت عليه الفوائت وجب عليه أن يقضيها بحيث لا يشق عليه في نفسه أو أهله أو ماله

Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha’nya, selaam tidak memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya. [14]

Apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah itu juga didukung oleh semua ulama lainnya. Bahwa meskipun hutang shalat itu banyak, bukan berarti kewajiban untuk mengqadha’nya menjadi gugur.

Sebab logikanya, kalau untuk satu shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti, bagaimana mungkin ketika jumlah hutangnya lebih banyak malah tidak perlu diganti? Kalau hutang duit seratus ribu wajib diganti, masak hutang seratus juta tidak perlu diganti? Kalau begitu mendingan kita berhutang yang banyak saja sekalian, biar gugur kewajiban membayar hutangnya.

Tentu argumentasi seperti itu agak menyalahi logika nalar dan akal sehat setiap orang.

Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh : Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA (rumahfiqih)

[1] Al-Marghinani, Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi, jilid 1 hal. 73
[2] Ibnu Najim, Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 2 hal. 86
[3] Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 223
[4] Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, jilid 2 hal. 380
[5] Ibnu Juzai Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, jilid 1 hal. 50
[6] Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, jilid 1 hal. 106
[7] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 68
[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal. 435
[9] Al-Mardawi, Al-Inshaf, jilid 1 hal. 442
[10] Ibnu Taimiyah, Syarah Umdatu Al-Fiqhi, jilid 1 hal. 240
[11] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Ash-Shalatu wa Ahkamu Tarikuha , jilid 1 hal. 68
[12] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar , jilid 2 hal. 9
[13] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal. 435
[14] Ibnu Taimiyah, Syarah Umdatu Al-Fiqhi, jilid 1 hal. 240

Next article Next Post
Previous article Previous Post