Hukum Menganggap Kafir dan Mengkafirkan Orang Lain Sesama Muslim

Hukum Menganggap Kafir dan Mengkafirkan Orang Lain Sesama Muslim

author photo
Di jaman sekarang sering kita dapati fenomena suka Menganggap Kafir dan Mengkafirkan Orang Lain Sesama Muslim. Padahal masalah ini harus dikaji lebih dalam hukum-hukumnya agar semua bisa menjaga diri dan senantiasa tercipta kedamaian dan kerukunan antara umat seagama.

Hukum Menganggap Kafir dan Mengkafirkan Orang Lain Sesama Muslim


Seseorang yang mudah mengkafirkan orang lain adalah orang yang tidak punya wara’ dan dangkal agamanya, sedikit pemahamannya tentang hakikat ilmu dan tak punya bashirah, karena mengkafirkan orang lain mempunyai konsekuensi besar yang bisa menyebabkan pelakunya terkena hukuman dan ancaman yang berat baik di dunia maupun akhirat.

Munculnya aksi teror, pemboman dan pembunuhan adalah hasil nyata dari perbuatan suka mengkafirkan orang lain, karena dalam pemahaman mereka, orang kafir darah dan hartanya halal untuk dirampas.

Tak heran jika perbuatan individu atau kelompok tersebut mencoreng nama agama Islam. Agama yang sebenarnya penuh kasih sayang ini sering dianggap sebagai agama teroris karena kelakuan oknum-oknum yang melakukan perbuatan ekstrem dengan mengatasnamakan agama.

Hukum Menganggap Kafir dan Mengkafirkan Orang Lain Sesama Muslim

Fenomena mengkafirkan orang lain secara serampangan yang sering kita lihat akhir-akhir ini tentu membuat dada terasa sesak. ini sangat membutuhkan perhatian kita untuk kembali kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dan Abu Dzar radiyallahu ‘anhuma di atas.

Kedua hadits tersebut merupakan peringatan keras untuk tidak menjatuhkan vonis kafir terhadap seorang muslim (yang sudah sedemikian mudah dan murahnya kalimat ini di mulut sebagian orang) karena memang permasalahan kekafiran dan keislaman hukumnya kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Dialah yang berhak menghukumi di antara hamba-Nya, siapa yang kafir dan siapa yang muslim. Sebagaimana penghalalan dan pengharaman juga berada dalam ketetapan-Nya. Siapa pun tidak diperkenankan menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan.

Demikian pula kita tidak boleh mengkafirkan seseorang ketika dia tidak dihukumi kafir dengan hukum Allah dan tidak menyatakan keislaman seseorang ketika dia tidak termasuk sebagai seorang muslim ketika ditimbang dengan hukum Allah.

Siapa saja yang telah dipastikan keislamannya maka ia tidak boleh difasikkan dan dikafirkan ataupun dikeluarkan dari agama Allah kecuali dengan bukti yang menunjukkan kekufuran dan keluarnya dia dari agama Allah dengan jelas, dan didapati darinya syarat-syarat pengkufuran, dan hilang darinya penghalang demi penghalang yang membuat jatuhnya vonis kafir padanya. Dan tentunya yang bisa melihat permasalahan ini hanyalah para ulama dari kalangan ahli fatwa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang yang duduk di majelisku tahu bahwa aku termasuk orang yang paling besar pelarangannya dari (perbuatan) menyandarkan kekafiran, kefasikan dan kemasiatan kepada orang tertentu, kecuali bila diketahui telah tegak hujjah kepadanya yang jika diselisihi seseorang (maka ia) bisa jadi kafir, bisa jadi fasik atau bisa jadi pelaku maksiat.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 3/229)

Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Pengkafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu tidaklah seseorang itu kafir kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Irsyad Ulil Abshar wal Albab linail Fiqh Biaqrabith Thuruq wa Aysarul Asbab, hal. 198)

Di balik kehormatan kaum muslimin yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan diharamkan sampai hari kiamat ternyata kehormatan tersebut dihinakan, dilanggar ketentuannya oleh jiwa-jiwa yang tidak khawatir akan akibat perbuatannya. Hal ini kita dapati dari jaman dahulu, jaman salafush shalih, sampai hari ini. Masih terngiang di telinga kita, bagaimana pelanggaran kehormatan bahkan sampai pada penghalalan jiwa dan harta yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Islam Jama’ah atau kelompok takfiriyyun lain yang ada pada jaman sekarang. Sedih dan memilukan memang melihat fenomena demikian, mengingat pintu-pintu rumah kaum muslimin tak luput dimasuki oleh para pelanggar kehormatan tersebut.

Agama kita yang mulia sama sekali tidak pernah ridha, bahkan berlepas diri dari pelanggaran kehormatan yang terjadi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أعْرَاضَكُمْ حَرَمٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram bagi kalian seperti keharaman negeri ini, bulan ini dan hari ini.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits Mengkafirkan Orang Lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan bahaya mengkafirkan seorang muslim, beliau bersabda :

وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ

Dan melaknat seorang mukmin sama dengan membunuhnya, dan menuduh seorang mukmin dengan kekafiran adalah sama dengan membunuhnya.” (HR Bukhari)

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapa saja yang berkata kepada saudaranya,” Hai Kafir”. Maka akan terkena salah satunya jika yang vonisnya itu benar, dan jika tidak maka akan kembali kepada (orang yang mengucapkan)nya.” (HR Bukhari dan Muslim)

لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

Tidaklah seseorang memvonis orang lain sebagai fasiq atau kafir maka akan kembali kepadanya jika yang divonis tidak demikian.” (HR Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (Hadits Riwayat Muslim)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَيما رجُل قال لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ, فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا , فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya: Wahai kafir, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu juga menuturkan hal yang sama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (HR. Muslim)

Mengkaji Lebih Dalam Istilah Kafir

Kerap kita temui beberapa orang yang suka mengkafirkan tapi setelah ditanya tentang arti kafir saja mereka tidak bisa menjawabnya, tentunya hal ini sangat aneh dan tak bisa dicerna secara akal, Bagaimana bisa orang yang tahu arti kafir bernai mengatakan kafir atau mengkafirkan orang lain?

Kafir adalah isim fa'il atau subjek dari kata Kafara dan Kufur yang menurut bahasa artinya adalah 'menutupi', oleh karena itu Allah menamai petani dengan kuffar, karena mereka menutupi benih dengan tanah, dan orang kafir disebut kafir karena ia menutupi kebenaran.

Adapun dari segi istilah, kufur terbagi menjadi dua yaitu kufur akbar (besar) dan kufur ashgar (kecil).

Kufur ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam selama tidak istihlal (meyakini bahwa Allah menghalalkannya), tidak pula karena juhud, atau bersombong dan enggan, seperti zina, minum arak dan semua maksiat, dan kufur ini menghilangkan kesempurnaan iman yang wajib.

Sedangkan Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari islam dan ia ada enam macam sebagaimana yang dijelaskan oleh ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab madarijussalikin 1/337-338 yaitu :

Pertama: Kufur takdzib yaitu orang yang kafir dengan lisan dan hatinya, meyakini bahwa para Rosul adalah dusta sebagaimana yang ditunjukkan oleh surat An Naml ayat 83-84.

Kedua: Kufur juhud yaitu orang yang meyakini kebenaran para Rasul namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badannya seperti kufurnya fir’aun kepada Nabi Musa dan kafirnya orang Yahudi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kufur jenis ini ada dua macam :

Juhud mutlak yaitu mengingkari apa yang Allah turunkan secara umum.

Sedang Juhud muqayyad adalah mengingkari salah satu kewajiban islam atau keharaman-keharamannya atau salah satu sifat Allah atau kabar-Nya baik secara sengaja maupun karena lebih mendahulukan orang yang menyelisihinya karena tujuan tertentu. Namun bila ia juhud karena bodoh atau adanya takwil yang diberikan udzur untuk pelakunya maka tidak dikafirkan.

Ketiga: kufur sombong dan enggan seperti kufurnya iblis, karena ia tidak mengingkari perintah Allah akan tetapi ia sombong dan enggan, artinya ia menetapkan dengan hati dan lisannya kebenaran para Rasul, akan tetapi ia tidak mau tunduk dan menerima karena kesombongan dan enggan, juga seperti kufurnya Abu thalib, kufur ini disebut juga kufur ‘Inad.

Syaikhul islam ibnu Taimiyah menjelaskan tentang kufur ‘inad, beliau berkata,” Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan dosa disertai keyakinan bahwa Allah telah mengharamkannya dan meyakini bahwa ketundukan hanya kepada Allah dalam apa yang Dia haramkan dan mewajibkan untuk tunduk kepadanya, maka orang seperti ini tidak dihukumi kafir.

Adapun apabila ia meyakini bahwa Allah tidak mengharamkannya, atau mengharamkan akan tetapi ia tidak mau menerima pengharaman tersebut dan ia enggan untuk tunduk dan patuh maka ia jahid (mengingkari) atau mu’anid (menentang)

Oleh karena itu mereka (para ulama) berkata, "Barang siapa yang memaksiati Allah karena sombong seperti iblis maka ia kafir dengan kesepakatan ulama, karena orang yang berbuat maksiat karena sombong walaupun ia meyakini bahwa Allah adalah Rabbnya, namun penentangan dan pengingkarannya meniadakan keyakinan tersebut. Dan barang siapa yang berbuat maksiat karena mengikuti syahwatnya maka ia tidak kafir menurut ahlussunnah, namun dikafirkan oleh golongan khawarij.

Penjelasannya adalah: Barang siapa yang melakukan keharaman karena istihlal, maka ia menjadi kafir dengan kesepakatan ulama, karena tidak beriman kepada Al Qur’an orang yang meyakini halal apa-apa yang diharamkan oleh Al Qur’an, demikian pula jika ia istihlal dengan tanpa berbuat, dan istihlal maknanya “adalah meyakini halal apa yang Allah haramkan atau meyakini haram apa yang Allah halalkan” hal itu terjadi karena adanya cacat dalam keimanannya kepada rububiyah Allah, dan cacat dalam keimanannya kepada risalah dan menjadi juchud yang murni tanpa dibangun diatas pendahuluan.

Terkadang ia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan ia mengetahui bahwa Rosul hanyalah mengharamkan apa yang Allah haramkan, kemudian ia tidak mau beriltizam dengan pengharaman ini dan menentang yang mengharamkannya, maka ini lebih kafir dari yang sebelumnya, terkadang disertai keyakinan bahwa Allah akan mengadzab orang yang tidak iltizam (mewajibkan diri untuk mengharamkan) pengharaman ini.

Kemudian keengganan ini terkadang karena adanya cacat dalam meyakini hikmah Allah dan kekuasaannya, sehingga keengganan tersebut karena tidak mempercayai salah satu dari sifat Allah Ta’ala. Dan terkadang disertai pengetahuan tentang seluruh apa-apa yang harus dipercayai (namun ia enggan) karena durhaka dan mengikuti tujuan nafsunya dan hakikatnya adalah kafir. Ini dikarenakan ia mengakui bahwa milik Allah dan Rosul-Nya lah semua apa yang dikabarkan, dan mempercayai apa yang dipercayai oleh kaum mukminin, akan tetapi ia tidak menyukainya, benci dan marah karena tidak sesuai dengan keinginannya, ia berkata,”Saya tidak mau menetapkan hal itu, tidak mau beriltizam, dan saya benci kepada kebenaran dan lari darinya.” Maka jenis kufur ini berbeda dengan jenis pertama dan mengkafirkan orang seperti ini adalah sesuatu yang dlarurat (pasti) dalam agama islam, dan Al Qur’an dipenuhi pengkafiran jenis ini dan siksanya lebih keras..”

Maksud membawakan perkataan syaikhul islam adalah menjelaskan tentang hakikat kufur sombong dan enggan (‘inad), dimana orang yang tidak mau melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan padahal ia meyakini wajib atau haramnya tidak termasuk ke dalam kufur ini, dan pelakunya tidak dikafirkan. Namun bila disertai dengan kebencian kepada kebenaran, lari darinya dan bersombong diri maka inilah hakikat kufur sombong dan enggan.

Keempat: Kufur I’radl yaitu berpaling dengan pendengaran dan hatinya dari Rosul, tidak membenarkan tidak juga mendustakan, tidak memberikan loyalitas tidak pula memusuhi, tidak mau memperhatikan apa yang di bawa oleh Rosul sebagaimana yang dikatakan oleh seseorang dari Bani Abdu Yalail kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,” Demi Allah, aku akan mengatakan kepadamu suatu kalimat : Jika engkau benar, engkau lebih agung dimataku untuk menolakmu, dan jika engkau dusta, engkau lebih hina untuk aku ajak bicara.”

Kelima: Kufur nifaq yaitu memperlihatkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran seperti kufurnya Abdullah bin Ubayy bin Salul tokoh munafiq di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keenam: Kufur Syak (ragu) yaitu ragu kepada kebenaran Rasul dan tidak memastikan. Dan keraguannya tersebut berlangsung apabila ia mewajibkan dirinya untuk tidak mau melihat tanda-tanda kebenaran Rasul secara global, tidak mau mendengar tidak pula menengoknya.

Hukuman Bagi Orang Yang Mengkafirkan Orang Lain Sesama Muslim

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Tidak boleh bermudah-mudah dalam mengkafirkan seseorang karena hal ini akan berdampak atau berakibat kepada dua perkara yang besar:

Pertama, mengadakan kedustaan terhadap Allah ta`ala di dalam hukum, di mana dia menghukumi kafir terhadap orang yang tidak dihukumi kafir oleh Allah ta`ala. Hal ini sama keadaannya dengan orang yang mengharamkan apa yang Allah halalkan, karena menghukumi kafir tidaknya seseorang hanya berada di tangan Allah saja sebagaimana hukum halal dan haram hanya berada di tangan Allah.

Kedua, mengadakan kedustaan terhadap orang yang dihukumi kafir tersebut dengan sifat yang dituduhkan kepadanya, di mana ia mensifati seorang muslim dengan sifat yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Ia mengatakan: dia kafir, padahal orang ini berlepas diri dari kekafiran, sehingga pantaslah sifat kekafiran itu dikembalikan padanya (orang yang menuduh) berdasarkan hadits di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَاكفّر الرَّجُلُ أّخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.

Dalam riwayat lain:

إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.

Masih dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: ‘Wahai musuh Allah’, sementara orang yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.

Mengomentari hadits diatas, Imam An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan,

معناه رجعت عليه نقيصته لأخيه ومعصية تكفيره

Artinya tuduhan kafir itu akan kembali pada si penuduh dan maksiat mengkafirkan sesama (akan kembali padanya)

Senada dengan pendapat Imam Nawawi diatas, Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:

والحاصل أن المقول له ان كان كافرا كفرا شرعيا فقد صدق القائل وذهب بها المقول له وإن لم يكن رجعت وإن لم يكن رجعت للقائل معرة ذلك القول وإثمه كذا اقتصر على هذا التأويل في رجع، وهو من أعدل الأجوبة

Artinya: Jadi, jika orang yang dituduh itu memang betul-betul kafir secara syar'i maka tuduhan si penuduh benar, namun jika tuduhan tersebut tidak benar maka keburukan dan dosa tuduhan itu akan kembali pada yang menuduh. Inilah ringkasan pemahaman kata "raja'a" (kembali). Ini adalah jawaban yang paling moderat.

Dalam riwayat hadits lain,:

إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ

Bila orang tersebut memang kafir keadaannya,” (yakni) sesuai dengan hukum Allah.

Demikian pula ucapan beliau dalam hadits Abu Dzar: وَ لَيْسَ كَذَلِكَ

Sementara orang yang dituduhnya itu tidaklah demikian,” (yakni bila ditimbang dengan) hukum Allah ta`ala.

Pensifatan kekufuran itu kembali kepadanya bila saudaranya itu terlepas dari tuduhan tersebut. Dan dikhawatirkan sekali ia terjatuh padanya. Karena kebanyakan orang yang begitu bersegera mensifatkan seorang muslim itu kafir merasa bangga dengan amalannya dan memandang remeh amalan orang lain, hingga akhirnya tergabunglah dengannya antara sifat ujub atas amalannya yang terkadang akan mengantarkan pada batalnya amalannya tersebut dan sifat sombong yang menyebabkan ia diazab oleh Allah ta`ala di dalam api neraka.

Sebagaimana disebut dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

قَالَ الله عَزَّ وَ جَلَّ : اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَ الْعَظَمَةُ إِزَارِي, فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

Allah Azza wa Jalla berfirman: Kesombongan itu adalah pakaian-Ku dan keagungan itu adalah kain-Ku maka siapa yang menentang-Ku pada salah satu dari keduanya niscaya akan Aku campakkan dia ke dalam neraka.” (Syarhu Kasyfisy Syubuhat, hal. 41-42)

Tidak diragukan lagi, orang yang suka mengkafirkan kaum muslimin maka mereka sendirilah yang kafir, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa bila seseorang mengatakan kepada saudaranya sesama kaum muslimin: “Wahai kafir”, maka kekafiran itu mesti akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Bila memang orang yang dituduh kafir itu sebagaimana kenyataannya maka ia memang kafir, bila tidak maka yang kafir adalah pengucapnya, na’udzubillah.

Karena itu wajib bagi seseorang untuk membersihkan lisan dan hatinya dari mengkafirkan orang lain sesama muslimin, jangan ia berbicara dengan perkataan: “Dia kafir.” Dan jangan pula ia meyakini dalam hatinya bahwa seseorang itu kafir semata-mata karena hawa nafsu. Hukum pengkafiran bukan berada di tangan si Zaid, bukan pula di tangan si ‘Amr akan tetapi yang berhak dalam hal ini hanyalah Allah dan Rasul-Nya.

Siapa yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya maka ia memang kafir walaupun kita mengatakan dia muslim. Sebaliknya, siapa yang tidak dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka ia tidak kafir walaupun orang mengatakan ia kafir.

Oleh karena itu kita katakan terhadap orang yang mengucapkan, “Wahai kafir,” “Wahai musuh Allah,” kalau memang demikian keadaannya, maka dia seperti yang dikatakan. Namun apabila tidak demikan, maka (ucapan itu) kembali kepada si pengucap, dialah yang kafir, wal ‘iyadzu billah. Dengan demikian ucapan ini termasuk dosa besar bila orang yang dikatakan kafir itu tidaklah demikian keadaannya. (Syarhu Riyadhush Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin, 4/376)

Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِفُسُوْقٍ, وَ لاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدت عَلَيْهِ, إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك

Tidaklah seseorang menuduh orang lain fasik dan tidak pula ia menuduh orang lain dengan kekafiran kecuali sebutan itu akan kembali kepadanya, apabila orang yang dituduhkan tidak demikian keadaannya.” (HR. Al-Bukhari)

Beliau menyatakan: “Hadits ini mengandung konsekuensi bahwa siapa yang mengatakan kepada orang lain, “Engkau fasik,” atau “Engkau kafir,” sementara orang yang dicela tersebut tidak seperti yang dikatakan si pencela maka si pencela itulah yang berhak untuk mendapatkan sifat yang ia sebutkan (fasik atau kafir). Namun bila memang orang tersebut seperti yang ia katakan, maka tidak kembali sesuatu pun kepadanya karena ia benar dalam ucapannya. Namun, walaupun perkataan itu tidak dikembalikan padanya, apakah ia kafir atau fasik, bukan berarti dia tidak berdosa dengan penggambarannya terhadap seseorang: “Engkau fasik.” Di dalam permasalahan ini perlu perincian.

Jika tujuan menyebut kafir pada orang lain untuk mencela, memasyhurkannya dengan sebutan demikian dan semata hendak menyakiti maka hal ini tidak dibolehkan karena ia diperintah untuk menutup aib orang lain, mengajari dan menasehatinya dengan cara yang baik. Bila memungkinkan baginya untuk menasehati dengan cara yang lembut maka ia tidak boleh melakukannya dengan kekerasan dan kekakuan, karena hal itu dapat menyebabkan orang tersebut menjadi keras kepala dan terus menerus dalam perbuatannya sebagaimana hal ini merupakan tabiat kebanyakan manusia. Terlebih bila orang yang memerintahkan (menasehati) itu derajatnya lebih rendah daripada orang yang dinasehati. (Fathul Bari, 10/480-481)

Jika ada seorang yang bertanya, “Bagaimana bisa perkataan kafir itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan ia mengkafirkan seseorang karena kecemburuannya terhadap agama Allah?”

Jawabannya: Dia kafir karena dia menjadikan dirinya sebagai penetap syariat bersama Allah. Dia mengkafirkan orang itu sementara Allah tidak mengkafirkannya, dengan (perbuatan itu) dia mengangkat dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam pengkafiran saudaranya. Di sisi lain, Allah akan menutup hatinya hingga akhirnya ia akan kafir kepada Allah dengan kekafiran yang nyata dan jelas.” (Fitnatut Takfir, hal. 43-44)

Saudaraku, Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan mengajarkan kedamaian kepada manusia bukan agama yang mengajarkan sikap radikal tidak pula sikap ekstrem, Rasulullah tidak mengajarkan pada umatnya untuk gampang Menganggap Kafir dan Mengkafirkan Orang Lain Sesama Muslim, bukankah mendakwahi mereka agar kembali kepada jalan yang benar lebih baik dari pada kita sibuk mengkafirkan sesama?!

Wallahu A'lam.
Next article Next Post
Previous article Previous Post