Tiga Kali Allah Menegaskan Dengan Lafadz Yang Sama, Bahwa Setiap Yang Berjiwa Akan Mati

Tiga Kali Allah Menegaskan Dengan Lafadz Yang Sama, Bahwa Setiap Yang Berjiwa Akan Mati

author photo
Umur manusia tidaklah lama. Kadang memang tak terbayangkan, 50 tahun seberapa panjang. Tetapi setelah dijalani, tanpa terasa begitu cepat terlampaui. Orang sering mengeluhkan ketertinggalannya dibanding laju umurnya sendiri.

Tiga Kali Allah Menegaskan Dengan Lafadz Yang Sama, Bahwa Setiap Yang Berjiwa Akan Mati


Memang waktu tak bisa dicegah. Ia terus berjalan, berputar menapaki pergantian siang dan malam. Berulang-ulang, tahu-tahu tahun telah berganti. Belum lama rasanya Idul Fitri, kini telah terulang kembali.

Nah, apakah yang kita rasakan dengan pergantian waktu itu? Umur bertambah itu jelas. Tetapi arti apakah yang kita dapatkan dari pertambahan umur itu? Kalau Menristek selalu berkata tentang pertambahan nilai, maka kali ini kita akan mencermati pertambahan umur, sesuatu yang tak mungkin bisa kita hindari.

Usia setiap makhluk ada batasnya. Batas itu telah ditetapkan oleh Allah, yang disebut ajal. Jatah itulah yang dibagi dalam tahun, bulan, hari, jam, menit dan detik yang ditapaki sejalan dengan denyutan jantung makhluk itu. Setiap pertambahan waktu satu detik berarti pengurangan jatah umur sedetik pula. Kalau kita tak pernah sempat mengingatnya, maka tahu-tahu umur kita telah berkurang sekian tahun. Ajal pun telah mendekat dalam panjang tahun yang sama pula.

Toh akhirnya batas itu akan tercapai juga. Tak mungkin tidak. Persoalnnya, kita tak pernah tahu, sampai dimana batas direntangkan. Tak seorang pun tahu, kapan ia mesti kembali menghadap Tuhannya.

Dengan Lafadz Yang Sama, Tiga kali Allah Menegaskan Bahwa Setiap Yang Berjiwa Akan Mati,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati....." (QS. 3:185, 21: 35, 29:57)

Itu sebuah penegasan yang sangat perlu mendapatkan perhatian. Bahwa semuanya akan menjadi tiada pada saatnya. Ini masih ditambah dengan firman penegasan yang lain, "Bagi setiap ummat ada ketetapan ajal. Maka apabila telah datang waktunya (ajal) tak seorangpun mampu mengundurkan ataupun memajukannya." (QS. Al-A'raf:34)

Sangat tegas Allah memberitahukan, tak ada yang mampu menundanya ataupun mempercepat kedatangan mati. Bagaimana dengan dokter? Sekalipun dokter yang sangat ahli. Kalaulah ada orang yang bisa diselamatkan dengan upaya sedemikian rupa, padahal sebelum itu kondisinya sudah tak beda dengan orang mati, maka pasti memang belum datang saat kematian. Ketentuan Allah memang menyebutkan, orang itu belum meninggal pada saat itu.

Apakah dengan demikian berarti kita tak perlu mengupayakan 'memperpanjang umur' dengan keyakinan kita tidak akan meninggal sebelum ketentuan Allah datang? Tentu saja pendapat demikian salah besar. Sebab tak seorangpun tahu, bagaimana ketentuan Allah terhadap dirinya. Bagaimana bisa yakin bahwa ketentuan kematian belum akan datang? Selama hayat masih di kandung badan, upaya harus tetap dilakukan. Yang perlu kita bayangkan bukanlah telah datangnya saat kematian, melainkan masih adanya denyut kehidupan.

Yang bisa diketahui manusia soal mati hanyalah fenomenanya saja. Sebatas pada gejala dan definisi. Kalau 'hidup' diartikan sebagai bekerjanya fungsi organ tubuh, maka 'mati' adalah saat di mana semua fungsi itu terhenti. Organ itu sendiri masih ada, dan mungkin juga masih utuh. Tetapi tidak bisa dipergunakan lagi. Dipukulpun, orang mati tidak akan bereaksi, karena memang sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Kondisi demikian itu akan segera kita rasakan. Menjadi orang mati. Tamat sudah riwayat hidup kita. Kembali ke dunia sunyi, disertai catatan amal kita sendiri-sendiri. Di situlah kalau kita hendak meratapi, menyesali sejarah hidup selama di dunia. Tetapi penyesalan sudah tiada arti. Sejak saat kematian itu, dalam waktu yang tak terhingga kita akan selalu berhadapan dengan berbagai konsekuensi atas apa yang kita lakukan semasa hidup.

Mereka yang menyia-nyiakan umurnya, niscaya akan menyesal selama-lamanya. Sedang sesal dalam satu jam saja sudah sering membuat kita dongkol, bisa berakibat berhari-hari dirundung ketidakenakan; makan tak bernafsu, semua serba salah. Apalagi selama-lamanya! Maka firman Allah dalam salah satu ayat-Nya, "Dan berinfaqlah dari rizki yang telah Kami berikan kepadamu, sebelum datang kematian atas salah seorang dari kamu lalu ia berkata, 'Wahai Tuhanku, mengapa tidak engkau beri kelonggaran waktu beberapa saat? (Kalau demikian) niscaya aku akan bersedekah dan menjadilah aku golongan yang shalih'. Tetapi tidaklah Allah akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang saatnya. Dan Allah Maha Melihat apa saja yang kamu lakukan." (QS. Al-Munafiqun: 10-11)

Betapa jelas Allah memberitahukan sesuatu yang tak mungkin bisa diceritakan manusia. Apa yang akan terjadi setelah datangnya kematian seorang hamba. Memang hanya Dia saja yang mengetahui. Karena itu tidaklah masuk akal bila kita masih juga menyepelekannya. Menyesali hidup, justru setelah datang kematian sama dengan menyesali saat naik bis setelah kita turun di terminal. Saatnya telah berlalu. Dan, tak bisa kembali lagi.

Karenanya tak ada alternatif lagi, kalau ingin sesal itu tidak hadir, sekaranglah waktunya. Pertaruhan nasib itu masih bisa kita lakukan, bukankah sekarang kita masih hidup? Mungkin nanti sore sebelum kita sampai di rumah, ajal itu datang.

Segala sesuatunya mungkin saja terjadi. Tetapi seberapa singkatpun, kesempatan itu masih ada. Allah masih memberi kelonggaran, agar kita segera menetapkan keyakinan dan niat kuat, untuk memperbaiki hidup ini. Yang telah terjadi, itulah yang mestinya kita evaluasi. Betapa banyak penyimpangan telah kita lakukan. Betapa sulit sudah, menghitung jumlah dosa yang akan membawa kita ke neraka, saking bertumpuknya. Betapa pesimis nampaknya untuk bisa meraih janji Allah berupa syurga.

Jangankan syurga, bahkan mungkin sering terlintas dalam benak kita, asal jangan masuk neraka saja sudah cukup. Sekedar bisa hidup seperti saat di dunia ini saja sudah syukur, asal jangan masuk neraka. Tak perlulah hidup dengan segala fasilitas yang begitu luar biasa di syurga. Mungkin begitu kita membayangkan. Tetapi Allah hanya memberikan dua alternatif, syurga atau neraka. Selamat dari neraka berarti mendapatkan kenikmatan syurga yang menurut hadits Nabi, bentuknya belum pernah terbayangkan oleh otak manusia.

Nah, apakah kita merasa pantas mendapatkan hadiah demikian luar biasa, padahal hidup kita seperti kemarin itu saja? Pantaskah? Tidakkah Tuhan keliru, memilih dan memasukkan kita ke dalam kelompok hamba yang dikasihi-Nya, padahal kita sendiri tahu persis, seperti apa kualitas hidup kita. Rasanya tidak mungkin. Tetapi kalau begitu, berarti kita harus siap-siap menghadapi ancaman-Nya berupa siksa. Dan kita yakin, tak ada yang siap menghadapinya.

Karenanya sebelum semuanya terjadi, marilah kita bertaubat dan memperbaiki diri. Hidup hanyalah sebuah ujian. Dan betapapun singkatnya, hidup di dunia itulah yang akan menentukan nasib di alam kekal. Dan, karena hidup dibagi dalam batas hari, marilah kita bagi hari itu dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai terjadi, kita senantiasa tak kebagian waktu untuk memenuhi panggilan-Nya, hanya karena sibuk mengurus dunia. Betapa rugi, bersusah payah mengejar sukses di dunia, ternyata di akhirat itu semua tak ada artinya. Padahal, akhirat itulah masa depan kita yang sebenar-benarnya.
Next article Next Post
Previous article Previous Post