Kisah Pendeta Yahudi Yang Masuk Islam Setelah Gagal Memancing Emosi Rasulullah

Kisah Pendeta Yahudi Yang Masuk Islam Setelah Gagal Memancing Emosi Rasulullah

author photo
Suatu hari Rasulullah kedatangan tamu orang Badui. Ia bertanya kepada Rasulullah tentang Islam. Rasulullah menjawabnya dengan sangat singkat, "jangan marah." Tampaknya Rasulullah tahu bahwa salah satu sifat menonjol pada orang Badui tersebut adalah gampang marah. Ia sangat mudah naik pitam. Darahnya mendidih jika menghadapi suatu persoalan.

Kisah Pendeta Yahudi Yang Masuk Islam Setelah Gagal Memancing Emosi Rasulullah


Orang yang marah cenderung mengabaikan sesuatu yang besar. Orang yang sedang marah merasa semua persoalan itu kecil. Bagi dirinya apa yang menyebabkan kemarahannya itulah persoalan besar.

Itulah sebabnya, jangan heran bila mendapati orang yang marah mengambil suatu keputusan dengan sangat ringan. Suami istri yang sedang dilanda kemarahan bisa dengan mudah dan ringan saling memutuskan untuk bercerai. Padahal demi jalinan cinta kasih mereka selama ini telah mengorbankan segala-galanya. Akan tetapi kemarahan menyebabkan pengorbanan itu tidak ada artinya apa-apa lagi. Semua menjadi kecil. Yang besar adalah kemarahan itu sendiri.

Seorang ayah dengan sangat mudah membanting peralatan elektronik atau alat rumah tangga lainnya, karena jengkel terhadap ulah salah satu anggota keluarganya. Padahal untuk mengumpulkan benda-benda tadi ia butuhkan tenaga besar dan waktu yang sangat panjang. Mungkin bertahun-tahun. Tapi semua itu bisa lenyap seketika hanya karena kobaran api kemarahan.

Orang yang sedang marah, sering ringan tangan dan mulutnya. Tangannya gampang sekali digerakkan untuk menyakiti orang lain. Demikian juga mulutnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar, yang menyinggung bahkan menyakitkan hati banyak orang. Menempeleng, memukul, menendang, bahkan sampai membunuh menjadi suatu hal yang sangat ringan pada saat kepala dikuasai nafsu amarah. Pandangan dan pertimbangan mereka menjadi sangat pendek. Yang ada di benaknya keinginan balas dendam. Padahal dalam keadaan biasa, bisa jadi untuk melakukan hal serupa itu dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menimbang dan berfikir.

Pertengkaran besar atau kecil biasanya didahului dengan adu mulut. Indikasi kemarahan seseorang bisa dilihat dari seberapa jauh tingkat kekasaran dan kekerasan ucapannya. Semakin marah, semakin kasar, jika sudah tidak tertahankan, maka adu mulut itu berkembang menjadi adu fisik, perkelahian. Dari perkelahian kecil bisa berkembang menjadi pembunuhan.

Melihat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh siat marah ini, maka Islam memberikan arahan kepada umatnya untuk bisa menahan diri. Caranya adalah dengan diam. Jangan banyak bicara, sebab bicara itulah yang biasanya memanaskan suasana. Demikianlah Rasulullah berpesan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Dalam hadits lain bahkan Rasulullah menganjurkan untuk berkata yang baik-baik atau diam sekalian daripada tidak mampu mengendalikan lisan

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, Tutup mulut rapat-rapat sampai emosi bisa dikendalikan, suasana kembali tenang dan situasi tidak tegang. Dalam suasana seperti ini baru boleh berbicara, baik dalam rangka dalan rangka memberi penjelasan ataupun melakukan pembelaan.

Yang dianjurkan untuk diam sebenarnya tidak hanya mulut, tapi juga anggota tubuh yang lain. Jika seseorang marah sedang ia dalam posisi berjalan, hendaknya ia menghentikan langkahnya. Jika ia sedang berdiri, hendaknya duduk. Jika dalam keadaan duduk masih juga memendam kemarahan yang tak bisa ditahan, maka dianjurkan untuk berbaring.

Akan lebih baik lagi apabila orang yang sedang marah itu mengambil air wudhu'. Insya Allah dengan cara seperti ini kemarahan yang sudah memuncak itu bisa didinginkan lagi. Air, kata Rasulullah bisa mendinginkan perasaan. Untuk itu bila sedang marah, cepat-cepatlah ke kamar mandi. Ambil air wudhu', bahkan jika mungkin mandi sekaligus.

Sepertinya solusi ini sederhana, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang kita bayangkan. Seorang yang sedang marah, cenderung mendekati musuhnya. Untuk menghentikan langkah merupakan suatu perjuangan yang tidak kecil.

Malah mereka cenderung untuk berdiri, bila sebelumnya ia duduk manis. Lihatlah di sekitar kita, termasuk di persidangan ataupun di forum-forum diskusi. Pengacara yang asalnya duduk baik-baik, jika sudah marah, tiba-tiba berdiri, menyampaikan argumentasinya dengan berapi-api. Jika hanya pengacara dan jaksanya yang marahitu masih belum seberapa, tapi jika hakimnya juga tak mau kalah, maka sungguh sangat berbahaya. Untuk itu hakim yang sedang marah tidak boleh memutuskan perkara.

Sebenarnya tidak hanya hakim saja yang tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan emosi, tapi semua orang dalam posisi apapun tidak boleh mengambil keputusan pada saat seperti itu. Apakah saat itu seseorang sedang dalam posisi sebagai guru, polisi, pimpinan, atau bahkan sebagai suami, isteri, maupun anak. Dalam keadaan bagaimanapun jika sedang marah, jangan mengambil keputusan. Bisa jadi keputusan itu aka sangat subyektif. Tidak banyak pertimbangan. Sangat dangkal, dan merugikan pihak-pihak lain, bahkan dirinya sendiri.

Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah marah. Tapi beliau mampu mengendalikannya. Kemarahannya tidak sampai membahayakan orang lain, baik melalui kata-kata maupun tindakannya. Tak satupun keputusan, baik berupa tindakan maupun ucapan yang dilakukan Rasulullah pada saat seperti ini. Beliau memilih diam. Bahkan jika marah, beliau justru mengganti kemarahannya dengan amalan atau imbalan hadiah kepada orang yang menyebabkan kemarahannya.

Penyulut kemarahan malah diberi hadiah? Barangkali hal ini tidak terbayangkan oleh kita, bagaimana mungkin orang yang kita marahi malah diberi hadiah. Tapi Rasulullah bisa melakukannya sebagai bukti kedewasaannya. Hanya orang-orang yang sudah matang yang bisa melakukannya.

Imam Tabrani meriwayatkan suatu hadits yang bersumber dari Abdullah bin Salam mengenai hal ini. Ia menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah keluar bersama para sahabat, diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib. Tiba-tiba seorang Badui datang mengadu, "Wahai Rasulullah, di desa itu ada sekelompok penduduk yang sudah Islam dengan alasan akan mendapatkan kemurahan rezeki dari Allah. Kenyataannya setelah mereka Islam, musim kering dan panas serta paceklikpun datang. Mereka dilanda kelaparan. Wahai rasul SAW, saya khawatir jika mereka kembali murtad hanya karena masalah perut. Saya berharap engkau sudi mengirim bantuan untuk mereka."

Mendengar berita itu Rasulullah SAW pun menoleh kepada Ali bin Abi Thalib, dan Ali pun mengerti seraya berucap, "Wahai Rasulullah kita sudah tidak punya persediaan makanan lagi."

Zaid bin Sa'nah hadir ketika itu segera mendekat dan berkata, "Wahai Muhammad, andaikata engkau suka, saya akan belikan kurma yang baik dari kebun desa ini, dan mereka berhutang kepadaku dengan persyaratan tertentu." Rasulullah SAW bersabda, "Sebaiknya kurma itu jangan mereka yang berhutang, tapi belilah dan kamilah yang meminjam kurma itu dari padamu." Usul Rasulullah itu disetujui Sa'nah dan dibuatlah perjanjian.

Untuk pembayarannya, Zaid mengeluarkan emas sebanyak 70 mitsqal, lalu menyerahkan kepada Rasulullah dengan perjanjian akan dibayar kembali dalam masa yang ditentukan. Kurma itupun dibagi-bagikan kepada penduduk desa yang tengah ditimpa kelaparan.

Zaid bin Sa'nah berkata, "Beberapa hari (2 atau 3 hari) sebelum jatuh tempo perjanjian pelunasan hutang tersebut, Rasulullah keluar bersama-sama Abu Bakar, Umar, Utsman dan beberapa sahabat lainnya. Setelah Rasul menshalatkan jenazah seseorang, beliau duduk menyandarkan badan ke dinding, sayapun berkata kepadanya, 'Wahai Muhammad, bayarlah hutangmu kepadaku. Demi Allah setahuku, keluarga Abdul Muthalib itu sejak dulu selalu mengundur-undur waktu dalam pembayaran hutangnya.'

Mendengar kata-kata kasarku itu, wajah Umar bin Khattab memerah, kedua biji matanya bergerak-gerak bagaikan perahu oleng, seraya melemparkan pandangannya kepadaku dan berkata, 'Hai musuh Allah, alangkah kasarnya ucapanmu terhadap Rasulullah. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau bukan karena menghormati Rasulullah yang dihadapanku, tentu akan kutebas lehermu dengan pedangku ini.'

Rasul tetap saja memandang dengan tenang, seraya bersabda, 'Hai Umar, sadarilah bahwa antara aku dan dia ada soal hutang piutang. Adapun yang aku harapkan, engkau menyuruh aku membayarkan hutang itu kepadanya.' Sementara itu Rasulullah SAW mengisyaratkan kepada Umar untuk pergi ke tempat penyimpanan kurma, lalu melunasi hutang itu dengan menambahkan 20 sha'(takaran) sebagai imbalan untuk menghilangkan amarahnya."

Selanjutnya Zaid bin Sa'nah menceritakan, "Setelah Umar membayar hutang Rasul disertai tambahan 20 sha', akupun bertanya, 'Apa arti tambahan ini, hai Umar?'

Umar menjawab, 'Rasulullah SAW menyuruh sebagai imbalan kemarahanmu.'

Aku berkata kepada Umar, 'Hai Umar, kenalkah engkau siapa aku ini?'

Umar berkata, 'Tidak.' Aku menerangkan, 'Aku adalah Zaid bin Sa'nah.'

Umar balik bertanya, 'Engkau Zaid bin Sa'nah, pendeta Yahudi itu?'

'Ya', kataku.

Umar berkata, 'Mengapa engkau sekasar itu berucap? Engkau terlalu menghina.'

Lalu aku berucap, 'Sebenarnya lewat kitab Taurat, aku telah lama mengenal Muhammad dari berbagai ciri kenabiannya. Dia adalah Rasul Allah, budi bahasanya senantiasa mengalahkan amarahnya, bahkan Muhammad semakin sopan terhadap mereka yang kesyetanan. Aku berbuat demikian, menguji dan memastikan dialah Rasul Allah. Wahai Umar putra Kaththab, engkau sebagai saksi. Aku ridha bertuhankan Allah, beragamakan Islam dan bernabikan Muhammad. Umar, ketahuilah, aku orang terkaya di kalangan keluarga Yahudi. Kini harta kekayaanku itu kuserahkan separuhnya buat ummat Muhammad SAW.'"

Menyambut penyerahan Zaid bin Sa'nah itu Umar berkata, "Tentu yang engkau maksudkan ialah untuk sebagian ummat Muhammad." Dan Zaidpun menjawab, "Ya, benar."

Merekapun bersama-sama menemui Nabi SAW dan Zaid bin Sa'nah pun mengucapkan dua kalimah syahadah serta berjanji akan berjuang bersama-sama untuk kejayaan Islam. Kemudian di dalam tarikh diriwayatkan, Zaid bin Sa'nah mati syahid di tengah sebuah front pertempuran Tabuk, dekat daerah Palestina.

Wallahu A'lam.

Next article Next Post
Previous article Previous Post