Perempuan, Penentu Baik-Buruk Keluarga dan Masyarakat

Perempuan, Penentu Baik-Buruk Keluarga dan Masyarakat

author photo
Apakah Islam melarang perempuan untuk berkarir? Mungkin Anda sering mendengar ungkapan:

“Perempuan adalah tiang negara. Kalau perempuan rusak, maka rusaklah negara.”

“Surga berada di bawah telapak kaki ibu.”

“Di balik seorang pemimpin yang besar ada perempuan yang hebat.”

Dan banyak yang lainnya lagi.

Perempuan, Penentu Baik-Buruk Keluarga dan Masyarakat


Ungkapan-ungkapan di atas secara gamblang merupakan bukti bahwa perempuan memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkiprah—baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Artinya, Islam telah memosisikan perempuan di tempat mulia sesuai dengan kodratnya. Dr. Yusuf Qardhawi pernah mengatakan, “Perempuan memegang peranan penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Jadi, mana mungkin keluarga dan masyarakat itu baik jika perempuannya tidak baik.”

Secara historis, Islam telah menghilangkan kebiasaan buruk kaum Quraish jahiliah yang suka mengubur hidup bayi perempuan karena dianggap sebagai pembawa sial. Kemudian, muncul sosok-sosok perempuan hebat seperti Ummul Mukminin Khadijah yang mendukung dakwah Rasulullah SAW—baik secara material maupun spiritual. Bahkan, wafatnya Khadijah dan Abu Thalib disebut sebagai “tahun kesedihan”.

Ada juga Ummul Mukminin Aisyah binti Abubakar ash-Shiddîq. Semasa hidupnya, Aisyah telah meriwayatkan 2.210 hadis—yang terbanyak di zamannya—dan mengajar di majelis-majelis pengajian Islam yang dikhususkan bagi kaum perempuan. Karena kedalaman ilmunya, Aisyah juga sering dimintai fatwa oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Selain itu, Rasulullah dan para sahabat juga ikut andil dalam masak-memasak. Di antara mereka malah ada yang membantu mengumpulkan kayu bakar. Ini merupakan bentuk kerjasama atau berbagi tugas. Namun jika suami capek mencari nafkah, maka istri ikut bertanggung jawab membantu menyiapkan masakan bagi keluarga.

Seperti yang dialami Fatimah az-Zahra yang menumbuk gandum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lalu, ia mengadukan tangannya kasar kepada Rasulullah SAW. Namun, beliau tidak pernah mengompori Fatimah untuk melawan kepada suami atau bahkan menyuruhnya untuk mencari pembantu.

Tentu, semua ini sangat jauh berbeda dengan realitas kehidupan perempuan di dunia Barat—baik di negara Eropa maupun Amerika. Perempuan lebih diidentikkan sebagai makhluk yang lemah. Karena itu, muncul gerakan kesetaraan gender dan feminisme. Mereka menuntut persamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan.

Perbedaan peran perempuan dalam konsep Islam dan sekuler memang sangat signifikan, karena konsep dasar yang saling bertolak belakang. Peran perempuan dalam konsep sekuler selalu berorientasikan pada apa yang bisa dihasilkan dalam bentuk materi, seperti pendapatan, keterwakilan perempuan dalam parlemen, dan lain sebagainya.

Padahal, Islam sangat menghormati perempuan—baik sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat. Sebagai keluarga, seorang perempuan memiliki peranan penting, yakni melahirkan, mengasuh, dan mendidik anak. Tidak heran ada yang mengatakan, “Ibu merupakan sekolah pertama. Jika Anda mempersiapkan perempuan dengan baik, maka anda telah mempersiapkan masa depan bangsa dengan baik.”

Dalam Islam, perempuan sama sekali tidak dilarang untuk menjadi pintar. Justru seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Seorang anak biasanya selalu melihat sosok ibu sebagai idola dan teladan, karena frekuensi kebersamaan ibu dengan anak cenderung lebih banyak daripada dengan sang ayah.

Saat ini, kita sering temui anak-anak pelajar yang ketika diperiksa tas sekolahnya, malah tertangkap basah membawa pisau, celurit, batu, dan benda-benda tajam yang biasanya digunakan untuk tawuran. Hingga tak sedikit pula korban jiwa—mencapai jumlah 80-an siswa dalam setahun.

Tindak kenakalan dan kekerasan yang dilakukan anak-anak zaman sekarang merupakan bukti kurangnya pendidikan, pendekatan, dan pengawasan dari orangtua, terlebih ibu sebagai pendidik pertamanya.

Sayangnya, meski sudah banyak fenomena kegagalan dalam mendidik generasi baru, kaum perempuan masih banyak yang enggan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka berargumentasi, tidak ada gunanya dan hanya akan membuang-buang tenaga, pikiran, dan harta, karena mereka pasti akan ditempatkan di dapur.

Padahal, Islam sangat menganjurkan menuntut ilmu. Seorang perempuan pandai sangat diperlukan keluarga untuk mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada sang anak. Inilah yang banyak dilakukan ulama terdahulu yang rajin belajar di rumah sampai berhasil menghafalkan al-Qur’an, hadis, sastra, dan ilmu lainnya berkat dorongan seorang ibu. Oke, Ummi? [Sumber: Majalah Gontor]
Next article Next Post
Previous article Previous Post