Hikmah Di Balik Bulan Dzulhijjah

Hikmah Di Balik Bulan Dzulhijjah

author photo
Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang dimulaikan dalam Islam, bulan ini adalah momen yang tepat untuk bertaqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, membuktikan keimanan, ketaqwaan, dan kecintaan padaNya. sekaligus meneladani sifat-sifat Nabi Ibrahim yang telah berhasil membuktikan keimanan dan kecintaannya yang sempurna kepada Allah, juga akhlaknya yang mulia kepada makhluk-Nya.

Hikmah Di Balik Bulan Dzulhijjah


Nabi Ibrahim telah menmberikan inspirasi pada kita tentang keimanan, keshalihan dan ketaatan yang bukan sebatas pribadinya, tapi nilai-nilai mulia itu tertransformasi ke keluarga dan kerabatnya. Ia juga mampu mengingkari kesyirikan orang tua dan kaumnya dengan jalan hikmah, kecerdikan, dan tata bahasa yang penuh santun.

Beliau rela mengorbankan nyawa demi berdakwah di hadapan penguasa tiran yang menyesatkan rakyatnya, termasuk memberikan contoh akhlak yang mulia dalam menjamu tamu yang baru dikenalnya yang ternyata mereka adalah malaikat yang membawa kabar gembira.

Taat dan tunduk yang diperagakannya sewaktu di perintah untuk meninggalkan keluarganya yang dikasihi di tempat jauh nan gersang, juga tetap tabah ketika diuji dengan perintah menyembelih anaknya, bahkan dirinya sendiri yang harus menjadi algojonya!.

Sungguh, sebuah akhlak dan ketaatan yang sempurna, tanpa keraguan, tidak ada penyimpangan, lurus, hanif, dan totalitas ibadah yang sempurna.

Maka sangatlah pantas jika Allah menempatkannya pada maqam yang tinggi, menganugerahinya kebaikan di dunia dan akhirat;  segala pujian, sanjungan, keturunan yang shalih, menjadi kekasih yang terpilih, kemudian nikmat nubuwah yang juga diberikan kepada anak keturunannya.

Lihatlah bagaimana banyaknya pujian Allah untuk Nabi Ibrahim dalam Al-Quran, seperti:

Sebagai orang yang shiddiq (sangat membenarkan) dan seorang nabi: QS. Maryam : 41

Yang selalu menyempurnakan janji:  QS. An-Najm : 37

Yang sangat lembut hatinya lagi penyantun:  QS. At-Taubah : 114

Imam yang dijadikan teladan, taat kepada Allah, senantiasa lurus tabpa melupakan untuk  bersyukur atas nikmat-nikmat Allah meski dalam keadaan diuji, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Allah memberinya kebaikan di dunia dan di akhirat,  dan termasuk orang-orang yang saleh:  QS. An-Nahl : 120-123

Maka di bulan Dzulhijjah ini, kita semsetinya meneladani Nabi Ibrahim dalam hal keutamaan akhlak, bakti, ketaatan, serta berkurban dengan hal yang berharga dalam hidup kita, dengan rangkaian ibadah haji, dengan kurban, puasa, serta amal shalih yang berkualitas dan berkelanjutan.

Kita memasuki bulan ketaatan ini dengan memperbanyak istighfar, mohon ampun atas segala dosa dan kesalahan, karena sebagaimana dikatakan Syekh Amin Syinqithi, dosa-dosa bisa menghalangi seseorang mendapat taufik, sehingga bisa jadi kita diberi kesempatan menjalankan ketaatan tapi hati kita tak tergerak.

Kita juga hendaknya mengisi hari-hari penuh rahmat ini dengan banyak bersyukur atas segala nikmat yang terus dicurahkan kepada kita, sementara banyak orang di sekitar kita, yang lebih mulia dan lebih unggul kebaikannya, namun tak diberi kesempatan  merasakan manisnya ibadah di musim ketaatan ini.

Di antara amal shalih terbaik di bulan Dzulhijjah adalah ibadah haji. Ini adalah momen untuk mengambil hikmah dari perjalanan sebuah peradaban besar yang dirintis oleh keluarga kecil nan bersahaja, yang membangun kehidupan rumah tangga dengan pondasi keprihatinan, mujahadah, dan  bala’ yang panjang dan melelahkan.

Ini juga momen untuk merenungkan kemuliaan salah satu bulan haram ini, bulan yang bahkan sangat dihargai oleh orang kaum jahiliyah di zaman Nabi. Merenungkan kembali taujih yang disampaikan Rasulullah SAW dalam khutbah yang beliau sampaikan saat berada di arafah ketika haji wada'.

Dalam suasana syahdu yang mengharu biru, terlebih beliau mengawalinya dengan sinyal perpisahan: “Dengarkanlah perkataanku wahai manusia, sungguh aku tak tahu, bisa jadi aku tak lagi menjumpai kalian setelah ini”. Kemudian beliau mengumumkan pengakuan dan jaminan atas hak-hak manusia, bahwa darah mereka haram ditumpahkan, harta mereka haram untuk diambil kecuali dengan keridhaannya, wanita dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Maka riba, membunuh tanpa hak, mengambil harta dengan kecurangan dan kekerasan, menyakiti dan mengurangi hak wanita tanpa sebab yang dibenarkan, semuanya adalah hal-hal yang diharamkan. Rasul juga menjelaskan manusia terbaik adalah yang paling bertaqwa, yang tidak mengganggu orang lain dengan perbuatan maupun perkataannya. Seorang muslim adalah yang membuat orang lain selamat dari kejahatannya, dan mukmin adalah yang menyebabkan orang lain aman dari gangguan tangan dan lesannya,  dan semua kaum muslimin hakikatnya adalah saudara.

Kita merenung, betapa sempurnanya wasiat perpisahan ini, namun betapa kondisi kaum muslimin semakin jauh dari hakikat yang seharusnya mereka jalani. Maka ini adalah saat yang tepat untuk kembali mendekat dan memohon kepada Allah agar wasiat ini mampu kita laksanakan dan kita wujudkan, sehingga umat mampu kembali menempati maqamnya yang terhormat.

Amalan terbaik lain yang dipersembahkan di bulan ini adalah kurban. Dan kurban landasannya adalah iman, sehingga ia akan tertolak jika motivasinya bukan taqwa dan iman, sebagaimana Allah menolak kurban Qabil. Dan karena iman menuntut seseorang memberikan yang terbaik, maka kurban juga hendaknya yang terbaik dari yang kita punya.  Bukankah Allah telah menegur petani kurma yang bersedekah dengan memilih korma yang jelek-jelek, seandainya dia yang diberi pasti akan enggan dan segan untuk mengambilnya?.

Kurban adalah simbol keimanan, ketaatan dan ketundukan dan bukti rasa syukur atas semua nikmat Allah, maka haram hukumnya meniatkan atau memberikan kurban kepada selain Allah dalam bentuk apapun, seperti menyembelih kerbau, sapi, atau ayam, bahkan meski hanya berupa makanan, untuk patung, roh atau orang yang telah mati.

Thariq bin Syihab meriwayatkan kisah dua orang laki-laki beriman dari umat terdahulu yang melewati kaum musyrik yang sedang menyembah patung dan mereka tidak membiarkannya lewat sebelum menyembelih kurban untuk berhala mereka meski hanya berupa seekor lalat yang ditangkapnya. Maka laki-laki yang pertama mengikuti perintah mereka dan akhirnya kelak ia termasuk penghuni neraka, sementara yang kedua menolak dan akhirnya dibunuh, hingga kelak menjadi penghuni surga. Hanya seekor lalat, apalah artinya? Bukan karena lalatnya tentunya, tapi karena kerelaannya berkorban untuk selain Allah Ta’ala.

Termasuk amalan mulia di bulan Dzulhijjah adalah puasa pada hari-hari permulaan bulan, terutama puasa ‘Arafah. Sungguh puasa di hari yang panas adalah madrasah terbesar bagi kesabaran, ketaatan dan pengendalian hasrat dan keinginan. Ibnu Al-Qayyim menerangkan rahasia puasa dengan mengatakan bahwa kebaikan jiwa dan keistiqamahannya dalam perjalanan menuju Allah terletak pada usahanya menghimpun hatinya yang kotor dan tercerai berai dengan menghadapkan sepenuh jiwanya kepada Allah … dan berlebih-lebihan dalam makan, minum, bergaul dengan manusia, berlebihan dalam bicara dan tidur menambah hati kian bebal,  dan akan mengacaukan dan mengganggu perjalanannya menuju Allah. Dan rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang telah mensyariatkan puasa untuk menghilangkan keburukan-keburukan tersebut.

Baca Juga:



Dua anak Adam yang kisahnya diabadikan dalam Al Qur'an ini bukan sedang dalam suasana kemaksiatan, justru mereka sedang dalam nuansa ibadah, mempersembahkan kurban untuk mendekatkan diri kepada Rabb semesta alam. Tapi penyakit hati yang menyebabkan salah satu dari mereka berubah dari pensucian ruh memasuki suasana hati paling rendah; hasad yang melahirkan kemarahan dan kebencian yang memuncak yang tidak puas kecuali dengan membunuh jiwa saudaranya.

Al-Qur'an juga kerap mengisahkan amal yang hanya akan menjadi layaknya fatamorgana, atau abu yang dihempas badai, atau seperti hujan yang menimpa batu licin yang semuanya tak menyisakan apa-apa bagi pelakunya, semua karena penyakit hati yang mengiringi amal baiknya. Wal ‘iyadzu billah.

Semegah apapun pelaksanaan haji, tetaplah yang dinilai adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah SAW. Sebaik apapun hewan kurban yang mampu dipersembahkan, yang sampai kepada Allah bukanlah daging dan darahnya, tapi besarnya ketakwaan yang menjadi motivasinya. Termasuk puasa dan ibadah lainnya, hanya yang dilandasi iman dan taqwa saja yang diterima di sisi-Nya.

Lalu bagaimana mereka yang belum diberi keluasan untuk berhaji atau berkurban, atau berhalangan melaksanakan puasa karena berbagai kendala yang menimpanya?

Allah Maha Luas Rahmat-Nya, jika jiwanya ikhlas menerima, hatinya tunduk, pasrah dan tetap menjalankan ketaatan disertai ikhtiar dan kerinduan yang mendalam untuk mencapai kesempurnaan perintah Allah tersebut, sambil berkontribusi dengan apapun yang ia mampu untuk menghidupkan syiar-syiar Allah ini, maka ia layak berbahagia di hari raya Idul Adha nanti, setelah bermujahadah dengan berbagai aktivitas ibadah,  dan bisa jadi nilai taqwa dan pahalanya melebihi sebagian orang yang mampu melakukan perjalanan haji, berkorban, dan berpuasa.

Insya Allah, Aamiin.
Next article Next Post
Previous article Previous Post