Untuk Jamaah Haji, Menggunakan Bahasa 'Tarzan' Ternyata Lebih Mudah Dipahami

Untuk Jamaah Haji, Menggunakan Bahasa 'Tarzan' Ternyata Lebih Mudah Dipahami

author photo
Manusia diciptakan oleh Allah dengan beraneka ragam bahasa, budaya dan bangsa untuk saling mengenal dan menghormati antara satu dengan lainnya.

Bagi saya sendiri, perjalanan haji ke Tanah Suci juga bisa menjadi momen untuk mengamalkan kandungan dalam surat Al Hujuraat ayat 10 - 13. Berjuta-juta jamaah haji dari berbagai bangsa dan bahasa hadir dalam ibadah agung dan mereka berkumpul di satu tempat dan waktu. Kapan lagi bisa merasakan dan mempraktekkan ukhuwah Islamiyah secara langsung jika tidak pada saat beribadah haji?

Untuk Jamaah Haji, Menggunakan Bahasa 'Tarzan' Ternyata Lebih Mudah Dipahami
Jamaah Haji Indonesia Sedang Berbelanja di Toko-toko Depan Maktab di Mahbas Jin


Saya tak sungkan untuk menyapa dan berkenalan dengan saudara sesama Muslim yang berasal dari berbagai negara. Dengan modal bahasa Inggris dan bahasa Arab yang seadanya, serta tentu saja bahasa 'Tarzan', saya merasa percaya diri untuk berkomunikasi dengan jamaah haji dari negara lain.

Dengan modal bahasa pas-pasan dan tentunya nekat, Saya berhasil berkominkasi dengan beberapa Muslimah asal Inggris, Turki, Iran, Irak, Tajikistan, Uzbekistan, Cina, Thailand, Nigeria, Sudan, Pakistan, India, Aljazair, Maroko, dan Malaysia. Bahkan, seorang kakek asal Turki bernama Mochtar (nama belakangnya tak terekam baik otak saya) sangat gembira sekali menerima perkenalan saya. Meski tidak selancar saya, dia berbicara dengan bahasa Inggris.

Suatu ketika, seorang bapak asal Pakistan bertanya pada saya dan suami dalam mobil omprengan dari maktab menuju Masjidil Haram dengan isyarat berapa ongkosnya, suami saya menjawab, 'Three,' sambil menunjuk tiga jari. Dia terperanjat 'Are you Indonesian? Do you speak English?' Duh, malu deh . Apakah mereka menyangka orang Indonesia katrok banget gitu?

Namun, saya tersenyum, 'Yes, a little,' jawab saya. Kemudian, dia banyak tanya ini dan itu tentang Indonesia. Alhamdulillah tambah saudara lagi. Di antara arah pembicaraan mereka tentang Indonesia adalah bencana badai tsunami yang pernah melanda Aceh di tahun 2004. Mereka menyampaikan rasa empati yang mendalam. Mereka juga menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara kaya karena banyaknya jamaah haji asal Indonesia yang datang ke Tanah Suci setiap kali musim haji tiba. Bahkan, jamaah haji Indonesia hampir setiap musim haji maupun umroh selalu tampak paling dominan dibanding negara lainnya.

Komentar dari jamaah haji negara lain tentang Indonesia adalah orangnya friendly, sangat ramah, baik-baik, tidak banyak bicara. Memang saya perhatikan kebanyakan jamaah asal negara lain yang seringkali berbicara keras satu sama lain. Tidak seperti orang Indonesia, yang relatif sopan dan tidak banyak bicara.

'Except you!' kata Hajjah Ana asal Nigeria menuding saya suatu ketika. 'I just love make a friend, Ana.' saya berusaha menjelaskan alasan saya senang berbicara. 'Yes, and because you are also a writer!' sambungnya. Kami tertawa.

Kami saling memberi hadiah berupa tasbih, sabun, atau sekadar makanan dan buah. Suatu hari saya tidak membawa satu pun benda untuk dijadikan sebagai hadiah, hanya ada beberapa lembar uang riyal untuk ongkos pulang-pergi ke Masjidil Haram. Di sana, terselip uang rupiah lima ribuan. Saya serahkan kepada sahabat baru asal Maroko yang berbahasa Arab bercampur Prancis. 'Hadiah laki... Hazdannuquud min ardi, Indunisiy,' kata saya. 'Syukron!' jawabnya sambil mencium pipi dan mengusap kepala saya.

Hadiah sejatinya memang berasal dari bahasa Arab, jadi tak sulit untuk menyerahkan pemberian untuknya. Di hari terakhir di Madinah, saya menyerahkan mukena yang sangat ditaksir Hajjah Anaa. Dia pernah menyangka mukena merupakan seragam haji wanita Indonesia.

Namun, untuk bisa berkomunikasi di Tanah Suci, hanya bermodalkan bahasa Arab pas-pasan tak selamanya sukses. Bahasa Arab yang biasa dipelajari di lembaga pendidikan di Indonesia adalah bahasa arab fushah (bahasa baku). Sedang mayoritas bahasa yang dipakai di tanah suci adalah bahasa pasaran, bukan fushah.

Suatu hari, saya menanyakan harga sekotak kurma muda, 'Bikam? (berapa)' Penjaga toko menjawab, 'Khomastasy!' Spontan saya menaikkan alis tanda tak paham. Dia tersenyum dan bertanya, 'Ha... Indunisiy?' sembari meraih kalkulator dan mengetik angka 15. Oo... Khomsata asyar berubah menjadi khomastasy. Saya pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Sejak itu, saya tak lagi berbasa-basi berbicara dengan bahasa Arab, terutama dengan kalangan pedagang yang menggunakan bahasa Arab pasaran. Karena mereka pun tak akan pernah paham jika saya berbicara menggunakan bahasa fushah. Dan ajaibnya, menggunakan bahasa 'Tarzan' ternyata lebih cepat serta mudah dipahami oleh mereka. Dan, tentu saja dengan bantuan kalkulator.

Kendala bahasa juga sempat dirasakan oleh teman saya, dokter Lina Nur Hamidah. Beliau merupakan salah seorang TKHI (Tenaga Kesehatan Haji Indonesia) di kloter saya. Sewaktu ngobrol di pesawat dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, saya tanya tentang penyakit yang tidak terprediksi sebelumnya.

Beliau menjawab bahwa wasir yang tidak diduga-duga justru menyerang bertubi-tubi, sementara persediaan obat wasir terbatas.'Saat obat itu habis, saya merasakan susahnya cari obat wasir di Makkah karena tidak mampu berbahasa Arab. Saya ke apotek dan menanyakan obat itu dalam bahasa Inggris, Apoteker yang jaga juga tidak paham. Saya sampai tunjuk-tunjuk bokong (maaf!) tetap mereka tetap tidak ngerti juga,' katanya sambil tersenyum.

Baca Juga:




Dalam perjalanan ibadah haji, meski kita bisa fasih berbicara dengan bahasa Inggris, ternyata bahasa Arab dan bahasa tarzan menjadi sangat penting. Sebab, kebanyakan pedagang dan warga setempat lebih memahami jika kita bisa bicara dengan bahasa tersebut.

Next article Next Post
Previous article Previous Post