Benarkah Indonesia Sudah Merdeka? Apakah Rakyat Indonesia Sudah Benar-benar Merdeka?

Benarkah Indonesia Sudah Merdeka? Apakah Rakyat Indonesia Sudah Benar-benar Merdeka?

author photo
Benarkah Indonesia Sudah Merdeka? Apakah Rakyat Indonesia Sudah Benar-benar Merdeka?


75 tahun yang lalu, bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya atas dihapuskannya penjajahan yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Para pahlawan telah berjuang dengan seluruh pengorbanannya, agar para penjajah pergi dari bumi khatulitiwa ini.

Sungguh besar jasa mereka demi memperjuangkan tanah kelahirannya dari cengkraman penjajah asing yang hendak menguasai negeri ini.

Waktu pun beranjak pergi meninggalkan masa lalu, kini tak ada lagi penjajahan fisik yang dilakukan asing seperti yang pernah dirasakan oleh rakyat pada masa sebelum kemerdekaan. Tak ada lagi romusha ataupun kerja rodi.

Penjajah asing itu sudah pergi, dan tak akan lagi datang untuk menjajah negeri ini. Karena apa ? Karena negeri ini telah merdeka.

Tapi, Benarkah Indonesia Sudah Merdeka?

Mungkin, sekarang kita tak merasakan lagi penjajahan fisik seperti yang pernah dilakukan oleh Belanda, Portugis, serta Jepang kepada rakyat di negeri ini.

Tapi, meskipun tak ada lagi penjajah fisik yang dilakukan oleh penjajah asing, negeri kita ini sebenarnya masih tetap dijajah oleh asing. Ya, walaupun bukan penjajahan fisik seperti zaman pra kemerdekaran. Sekarang, penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara asing di negeri ini berupa penjajahan sumber daya alam.

Menurut laporan BIN (badan Intelejen Negara) tahun 2006, setidaknya ada 76 undang-undang dan puluhan rancangan undang-undang yang mengakomodir kepentingan asing.

Dan hal tersebut menjadikan hampir semua sektor sumber daya alam dan energi dikuasai oleh asing. Hal tersebut dipertegas oleh temuan dari BPK (Bandan Pemeriksa Keuangan) yang menyatakan bahwa perusahaan asing menguasai 70% pertambangan migas,  75% tambang batu bara, bauksit, nikel, dan timah. Asing juga menguasai 85 % tambang tembaga dan emas serta 50 % perkebunan sawit.

“Pertamina, BUMN Migas kita hanya menguasai 17% produksi dan cadangan migas nasional. Sementara itu, 13% sisanya adalah share perusahaan-perusahaan swasta nasional.” Jelas anggota BPK, Ali Masykur Musa.

Lihat juga disekitar kita, jangan lupakan rakyat miskin yang hidupnya terlantar. “Menurut data Bank Dunia, ada sekitar 13,3% rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan” kata Anne Booth, Guru besar Ekonomi Asia dari School of Oriental and African Studies.

Selain itu, menurut Bank Dunia, 18,1% rakyat Indonesia juga memiliki pendapatan dibawah 1,25 dollar perhari. Dengan asumsi Rp 11.800,- per dollar AS, pendapatan masyarakat dalam kelompok tersebut kurang dari Rp 14.750,- per hari.

Dimana letak kemerdekaan itu ? Bila, untuk hidup sehari-hari pun masih banyak yang serba kekurangan. Data yang di rilis BPS (Badan Pusat Statistika) per September 2013, setidaknya ada sekitar 28,55 juta orang miskin di Indonesia.

Sebanyak 10,63 juta orang berada di perkotaan dan 17,92 juta orang di pedesaan. Jumlah ini diprediksi bisa terus bertambah, kerena sampai saat ini, belum ada rumus dan definisi kriteria yang tepat tentang standar kesejahteraan ekonomi.

Naiknya harga sembako yang dimulai dengan kenaikan harga BBM, menjadi beban tersendiri bagi rakyat yang hidupnya dibawah garis kemiskinan. Belum lagi UMR (Upah Minimun Regional) dirasa tak sepadan dengan tenaga yang harus dikeluarkan oleh para buruh.

Kekayaan alam yang dikeruk habis oleh asing, dan kemiskinan yang semakin hari semakin bertambah, juga ditambah kesenjangan sosial yang terjadi dimasyarakat, mengambarkan betapa negeri ini belumlah merdeka seutuhnya.

Itulah mengapa tak sedikit penduduk negeri ini, rela berkorban mengadu nasib di negeri orang, hanya demi mendapatkan sesuap nasi guna menghidupi anak dan sanak famili.

Kalau lah negeri ini memang sudah merdeka, kenapa masih saja ada TKI ? itu bukti bahwa ternyata negeri ini belumlah merdeka.

Indonesia masih banyak yang miskin rakyatnya, masih banyak anak-anak putus sekolah, masih banyak orang kelaparan, masih banyak praktik KKN - korupsi kolusi nepotisme yang terjadi dalam tubuh pemerintahan.

Indonesia masih sulit memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya sendiri akan tetapi mudah bagi orang asing untuk masuk dan bekerja di negeri ini.

Indonesia masih belum merdeka dalam mengelolah kekayaan alam sendiri.

Kisah tentang penjarahan kekayaan alam di bumi khatulistiwa ini, tak mungkin terjadi, bila tidak ada sumber hukum yang melegalitasinya. Tahun 2001 lahir Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas yang disahkan Pemerintahan Megawati.

UU itu meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir.

Setelah UU itu disahkan pada 23 Nopember 2001, korporasi asing kian leluasa menguasai bisnis migas. Asing berperan besar dalam pengesahan UU tersebut. USAID (United States Agency for International Development), lembaga donor pemerintah Amerika Serikat, terus terang mengakui campur tangannya dalam penyiapan liberalisasi migas Indonesia.

Dokumen lain menyatakan, pada 2001 USAID memberikan bantuan senilai 4 juta dolar AS (Rp 40 miliar) untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Dokumen USAID menyebutkan, pada 2001 lembaga itu merencanakan menyediakan 850 ribu dolar AS atau sekitar Rp 8,5 miliar untuk mendukung LSM dan universitas.

Dana itu untuk mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran pada isu-isu sektor energi, termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal.

Kita mesti menyadari bahwa sistem telah membawa negeri ini kembali menjauh dari hakikat kemerdekaan yang hakiki, Dalam islam, sumber daya berupa tambang migas dan hasil olahan bumi lainnya, adalah milik rakyat yang seharusnya dikelola oleh negara, bukan malah memberikannya kepada asing dan menjadikan negara hanya sebagai pengawas, bukan sebagai pengelola.

Negeri ini bangkrut. Selain kekayaan alam yang dijarah oleh asing, utang negara pun semakin menggunung. Total utang pemerintah pusat per 30 September 2013 sudah mencapai Rp. 2.274 triliun, yang terdiri dari Rp 684 triliun berupa pinjaman luar negeri, dan Rp 1.590 triliyun berupa surat berharga negara (SBN). Dengan demikian, kalau dirata-rata jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 240 juta orang, maka setiap satu orang memiliki beban hutang sebesar Rp 9.475.000,-

Bagaimana mungkin kita mengklaim Indonesia sudah merdeka, sementara kebijakan asing, sangat terasa dalam mewarnai masa depan negara ini. Pemimpinnya selalu disetir oleh asing, layaknya boneka yang dimainkan oleh pemiliknya.

Maka jangan heran, bila kebijakan demi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidaklah mendukung kepada rakyat. Justru sebaliknya, program-program tersebut, adalah pesanan pihak asing dan para kapitalis yang ingin mengambil kekayaan negeri ini, dan memperkaya diri mereka sendiri.

Oleh karena itu, kita mesti sadar akan hal ini. Jangan pernah tertipu oleh slogan merdeka, NKRI harga mati, dan sejenisnya.

Nyatanya, mereka yang mengaku memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, tak dapat berbuat apa-apa ketika kekayaan alam negeri ini, habis dikeruk oleh asing.

Kita merindukan pemimpin yang mampu mengayomi masyarakatnya, memberikan kesejahteraan lewat program-programnya. Dapat menjadikan negeri yang dipimpinya sebagai negeri yang mandiri, tak mengekor kepada asing, tidak pula menjadi pelayan bagi asing. Sehingga, kita benar-benar merasakan kemerdekaan yang hakiki.

Oleh karenanya, Mari kita bertanya dalam hati masing-masing, apakah benar Indonesia sudah merdeka? Atau merdeka itu hanyalah sekedar kebebasan dari penyiksaan fisik? Ataukah kita tidak merasa dijajah karena penjajah sekarang tidak menodongkan senjata pada kita?

Baca Juga: Terungkap! Ternyata Ini Alasan Soekarno Memilih Angka 17 Sebagai Hari Kemerdekaan

Semoga, kita semakin faham, bahwa teriakan merdeka di negeri ini hanya sebatas klaim saja. Negeri ini masih belum merdeka, selama kekayaan alamnya digenggam asing, selama pemimpinnya menjadi antek asing.
Next article Next Post
Previous article Previous Post