Bahagia Itu Bukan Karena Fasilitas Yang Serba 'Wah', Tapi Karena Ada Banyak 'Teman' Di Sekitar Kita

Bahagia Itu Bukan Karena Fasilitas Yang Serba 'Wah', Tapi Karena Ada Banyak 'Teman' Di Sekitar Kita

author photo
Salah satu kenangan terindah ketika tinggal di pesantren dulu; ketika saya masih duduk di kelas 3 Tsanawiyah, seorang teman kembali ke pesantren setelah pulang dari kampungnya dengan membawa oleh-oleh istimewa, yaitu singkong rebus.

Baru saja dia sampai, oleh-olehnya langsung ia keluarkan semua. Semua kawan-kawan sekamar, termasuk saya menyerbu oleh-oleh itu. Perorang hanya memperoleh sepotong kecil.

Saat singkong itu masuk ke tenggorokan, saya heran, ini singkong apa? Kok beda rasanya? Belum pernah saya merasakan ada singkong seenak ini. Sayangnya tidak bisa nambah, hanya sepotong kecil itu.

Singkong enak itu menjadi ingatan sampai giliran saya liburan pulang kampung minggu berikutnya. Sampai di rumah saya ceritakan tentang singkong enak itu kepada ibu saya. Saya minta direbuskan juga singkong yang sama. Kebetulan di kebun belakang rumah banyak tumbuh pohon singkong.

Waktu itu ibu saya merebus singkong satu baskom kecil. Anehnya, ketika saya cicipi rasanya tidak seenak yang dibawakan teman saya tempo hari. Pasti singkongnya jenis lain, yang rasanya jauh lebih enak. Atau ibu teman saya masaknya lebih pintar dan caranya beda dengan cara ibu saya merebusnya.

Mendengar itu ibu saya senyum saja. Kemudian beliau membungkus singkong rebus itu dan menyuruh saya membawa ke asrama. Ibu saya berpesan supaya singkongnya di makan bersama-sama dengan teman, seperti sebelumnya. Usahakan satu orang cuma dapat satu potong.

Ternyata benar, singkong yang direbuskan ibu saya rasanya berubah menjadi seenak yang dibawakan teman saya. Rupanya rasa singkong itu sama saja, yang membedakan dan yang menjadikannya enak adalah “kebersamaan dengan kawan-kawan”. Rasa enak yang masih terasa sampai saat ini.

Pada kali yang lain saya berkunjung ke rumah salah seorang guru yang sangat sederhana dengan beberapa orang adik kelas. Beliau tidak berkeluarga dan single sampai meninggal. Semoga Allah merahmati beliau dan melapangkan kuburnya.

Bertepatan kedatangan kami di saat beliau hampir selesai masak. Langsung saja beliau mengajak kami ikut makan bersama. Ketika itu beliau hanya masak nasi dengan lauk labu siam, cabe dan bawang yang direbus. Cabenya digiling bersama bawang dan dibubuhi garam. Hanya itu, tidak ada lauk lain selain itu. “Mari ikut makan makanan orang miskin”, ujar beliau.

Sebenarnya kami tidak ada selera untuk makan karena perut juga tidak lapar. Tapi demi menghargai beliau kami paksakan diri untuk makan. Namun masyaAllah, baru saja suap pertama masuk mulut, kenapa rasanya tidak seperti yang dibayangkan? Enak sekali, nasi panas mengepul-ngepul dengan lauknya yang juga panas rasa mau berpacu masuk perut. Saya dan adik-adik kelas yang hadir waktu itu rebutan menyuap, sambil mulut mengeluar suara hah…hah…hah…menahan pedas dan panas.

Guru saya senyum gembira melihat kami makan sangat nikmat. “Ternyata lauk orang miskin enak juga rupanya”, celetuk beliau. Akhirnya semua nasi dan lauk beliau ludes tanpa sisa sedikitpun, bahkan nasi yang lengket diperiuk kami kikis sampai bersih. Kalau nasi dan lauknya masih ada pasti kami masih lanjut makan. Sayang, di saat lagi nikmat-nikmatnya semua habis.

Kembali di ujung cerita semuanya terasa sangat nikmat, sampai nikmatnya tak terlupakan hingga saat ini sekalipun puluhan tahun sudah berlalu, disebabkan oleh satu hal, yaitu “kebersamaan”.

Ada puluhan, bahkan barangkali sampai ratusan kenangan seperti ini yang pernah saya alami bersama teman-teman di masa sekolah dan kuliah dulu. Kenangan-kenangan ini membuat saya tercenung ketika mentadabburi firman Allah dalam surat al Haqqah ayat 35-37:

فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَا هُنَا حَمِيمٌ وَلا طَعَامٌ إِلا مِنْ غِسْلِينٍ لا يَأْكُلُهُ إِلا الْخَاطِئُونَ

Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa”.

Dalam ayat diatas Allah menceritakan di antara bentuk azab yang dirasakan orang-orang durhaka nanti di dalam neraka. Azab yang pertama adalah ketiadaan teman hingga mereka merasa kesepian dan ketiadaan makanan yang akan dimakan selain darah dan nanah, yang sebenarnya itu bukanlah makanan.

Coba kita amati dengan seksama, dalam ayat ini Allah mendahulukan ketiadaan teman dari pada ketiadaan makanan. Karena tidak adanya teman atau orang lain di sekitar kita sangat-sangat menyiksa dibandingkan ketidakadaan makanan yang akan dimakan. Makanan yang sangat sederhana bisa berubah menjadi istimewa ketika kita santap bersama, dan makanan yang sangat lezat tidak akan terasa apa-apa bila kita hadapi sendiri.

Sekalipun neraka penuh sesak dengan orang-orang durhaka, tapi satu sama lain tidak saling melihat, tidak saling mendengar, apalagi saling peduli. Masing-masing sibuk dengan penderitaannya tanpa ada yang menyapa dan menghiraukan.

Jangankan di dalam neraka, salah satu bentuk penjara Mesir terkenal dengan nama “sijn infiradi” (penjara sendiri-sendiri). Di mana dalam penjara ini satu orang dikurung sendirian tanpa teman. Mereka tidak diazab dan tidak disakiti. Hanya dijauhkan dari orang lain. Bila kondisi seperti ini berlanjut berhari-hari, bermingu-minggu, apalagi berbulan-bulan, bisa merubah kejiwaan seseorang, bahkan bisa menjadi gila.

Bahagia Itu Bukan Karena Fasilitas Yang Serba 'Wah', Tapi Karena Ada Banyak 'Teman' Di Sekitar Kita


Coba bayangkan, bagaimana dahsyatnya azab neraka, berada dalam api yang menyala, dibanjiri darah dan nanah, dalam kesendirian tanpa orang lain dalam waktu beradab-abad. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah. Memang azab yang tidak pernah terlintas dalam pikiran bagaimana dahsyat dan pedihnya.

Dalam ayat lain Allah menceritakan keluhan penduduk neraka:

فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ وَلا صَدِيقٍ حَمِيمٍ

Maka kami tidak mempunyai pemberi syafaat seorang pun, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab”. (Asy-Syu’ara’: 100-101)

Bahkan yang semasa di dunia berteman akrab akan berubah menjadi saling memusuhi:

الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (Az-Zukhruf: 67)

Dari kenangan dan ayat-ayat ini, kita bisa rasakan betapa pentingnya keberadaan teman dan orang lain di sekitar kita. Lihatlah, kenapa orang suka berkunjung ke kota? Tidak lain dan tidak bukan karena banyak orang di kota yang membuat kita saling membahagiakan sekalipun kita tidak menyadari hal itu.

Cobalah berkunjung ke tempat hiburan atau objek wisata yang sangat indah dengan fasilitas serba mewah, apakah mungkin kita merasa bahagia bila yang berkunjung ke sana hanya kita sendirian? Atau hanya ada segelintir orang?

Gambaran salah satu nikmat surgapun juga demikian. Dipenuhi dengan orang-orang yang kita cintai dan teman-teman dalam kenikmatan. Mari kita tadabburi betapa indah dan nikmatnya yang mereka rasakan. Fasilitas serba cukup nan sempurna disertai oleh banyaknya orang dan teman-teman, serta keluarga:

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas) yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa.

Dan berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan. Dan sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain saling tanya-menanya.” (QS. Ath Thuur: 21-25)

Sesungguhnya Bahagia Itu Bukan Karena Fasilitas Yang Serba 'Wah', Tapi Karena Ada Banyak 'Teman' Di Sekitar Kita.

Namun sayang, hal ini sering kita abaikan, bahkan tidak kita sadari. Akibatnya banyak orang yang mengorbankan atau mencampakkan temannya demi mendapatkan fasilitas dan kemewahan. Bukan sebaliknya, mengorbankan fasilitas dan kemewahan demi teman dan orang sekitar kita.

Semoga kita terhindar dari sifat tercela tersebut.

Ya Allah, kumpulkan kami di dalam surga-Mu bersama kawan-kawan yang pernah makan bersama dengan kami dalam suasana ukhuwah waktu di dunia ini. Aamiin.

Wallahu A'lam.

Penulis: Ustadz Zulfi Akmal
Next article Next Post
Previous article Previous Post