Pujian Yang Membutakan Dan Celaan Yang Menyadarkan

Pujian Yang Membutakan Dan Celaan Yang Menyadarkan

author photo
Pujian Yang Membutakan Dan Celaan Yang Menyadarkan │ Manusia selalu haus akan pujian dan selalu risih akan celaan. Padahal dibalik pujian ada ujian yang membutakan sedangkan dibalik celaan ada hikmah yang menyadarkan. Jika demikian, bukankah celaan itu lebih berharga daripada pujian?

Maka janganlah berkecil hati ketika dicela orang. Sadarilah bahwa celaan itu sedang memberikan pelajaran hidup hingga kita bisa memperbaiki kesalahan. Lalu janganlah berbesar hati ketika dipuji orang. Sadarilah bahwa pujian itu bisa menjerumuskan pada kerugian. Pujian yang dilontarkan orang, perlahan tapi pasti bisa menjadi benih kesombongan, ujub dan takabur yang tumbuh subur di dalam hati.

Pujian Yang Membutakan Dan Celaan Yang Menyadarkan

Karena itu, perbuatan baik tak usah ingin dilihat manusia. Sebagaimana yang dikatakan seorang berilmu, Fudhail bin Iyadh: “Apabila Anda bisa mengerjakan sesuatu tanpa diketahui, maka kerjakanlah. Kenapa risih jika orang-orang tidak memuji, dan kenapa risih jika engkau mungkin tercela di mata orang, namun di sisi Allah engkau dipuji?"

Perkataan ini hendaklah selalu kita ingat. Janganlah sibuk mencari penilaian baik dari manusia. Kita harus sadar bahwa penilaian manusia itu sia-sia belaka. Manusia tidak punya kuasa memberikan pahala atau mengganjar dosa. Penilaian Allah-lah yang harus selalu kita utamakan, karena Dia-lah yang akan memberikan upah atas perbuatan kita.

Bercerminlah dari ulama zaman dahulu yang begitu mengkhawatirkan jika amal perbuatan mereka tersisipi niat riya ingin dipandang manusia. Mereka selalu memurnikan niat amal perbuatan ikhlas karena Allah semata. Mereka selalu berhati-hati dengan cacatnya niat dari bercampurnya dengan rasa ujub.

Sebut saja salah satunya Sufyan Ats-Tsauri yang bertambah takut jika orang yang mengikuti majlisnya semakin banyak. Berbeda dengan orang-orang zaman sekarang yang semakin bangga jika orang yang mengikutinya semakin banyak. Bahkan suatu hari Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata: “Demi Allah, kita telah meninggal bahkan kita tidak menyadarinya! Demi Allah, jika pemimpin umat Islam Umar Radhiallahu ‘Anha, melihat seseorang seperti saya duduk di pertemuan ini, dia akan menyuruhku berdiri dan berkata 'Orang sepertimu tidak layak untuk ini!"

Lihatlah perkataannya, ini menunjukkan keluasan ilmu yang dimilikinya justru semakin membuatnya merasa bahwa dirinya tidak pantas menjadi pengisi dalam suatu majelis. Laksana padi yang semakin berisi semakin merunduk begitulah sifat ulama zaman dulu.

Tak berbeda dengan Ats Tsauri, Bishr Al Hafi juga pernah tidak jadi mengajarkan hadist dalam majelisnya karena ia takut niatnya tidak lurus dalam membagikan ilmu. Hingga seseorang berkata:“Apa yang akan engkau katakan kepada Rabbmu ketika Dia bertanya 'Mengapa kau tinggalkan pengajaran tentang sabda nabi-Ku Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam wahai Bishr?'"

"Saya akan mengatakan, 'Ya Tuhanku. Engkau memerintahkanku untuk melakukannya dengan tulus, tapi saya tidak menemukan ketulusan itu dalam diriku." Jawab Bishr Al Hafi.

Demikian kehati-hatian para ulama zaman dahulu dalam menjaga niatnya. Bandingkan dengan diri kita yang justru menghambakan diri pada pujian manusia. Kita akan merasa senang dan hati berbunga-bunga jika ada yang menyebut diri kita pintar, atau ada yang memanggil kita dengan sebutan Ustadz atau Ustadzah. Padahal ilmu yang kita miliki sungguh dangkal.

Ya Robb ampunilah hambaMu ini karena telah berbangga diri dengan pujian dari makhluk-Mu. Lindungilah kami dari berharap pada pujian makhluk. Sadarkanlah kami untuk selalu mengharap pujian hanya dari-Mu. Aamiin
Next article Next Post
Previous article Previous Post