Kontroversi Jenggot Mbah Hasyim

Kontroversi Jenggot Mbah Hasyim

author photo
Berjenggot atau tidakkah, Kiai Haji Hasyim Asyari itu? Bagi sebagian kalangan di tubuh ormas Nahdlatul Ulama, beliau diyakini mempertahankan Jenggot sebagai ciri kewibawaan Muslim berilmu. Sudah jamak didapati Jenggot di dagu pada banyak alim masa itu. Seorang rekan, yang kakeknya murid langsung Mbah Hasyim juga mempersaksikan kebiasaan memelihara Jenggot.

Jenggot Mbah Hasyim
Hari Santri Nasional


Bagi sebagian kalangan di NU lainnya, Mbah Hasyim itu kelimis. Tidak sesekali, bahkan sering. Beliau tampil rapi dengan koko, wangi, dan tanpa janggut. Kewibawaan selaku orang berilmu tidak mesti diukur dari adanya Jenggot. Dakuan kalangan ini bukan tanpa bukti. Setidaknya seorang penulis biografi Mbah Hasyim meyakinkan publik tatkala ramai membincangkan lukisan wajah beliau nan kelimis di peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober lalu.

Baca Juga: Masyamsul: Saya Orang Yang menghilangkan Jenggot Mbah Hasyim

Bagaimana bisa terjadi perbedaan pendapat; ada murid yang bilang sang guru memelihara Jenggot, tapi ada juga yang bilang sebaliknya? Soal ini tidak susah sebenarnya. Dalam kurun hayat beliau, yakni sepanjang 1871-1947, banyak saksi mata yang melihat dengan indra langsung Mbah Hasyim. Bukan hanya dari kalangan rekan satu organisasi, melainkan juga dari sesama pejuang Islam lintas kelompok. Tidak semata dalam relasi guru-murid, tapi juga sesama pejuang kemerdekaan Islam.

Di sisi lain, memelihara janggut tidak berarti menafikan kemungkinan tampilnya Mbah Hasyim untuk menghilangkan sama sekali. Atau demikian pula sebaliknya, sesuai keyakinan di tiap peyakin beliau berjanggut ataukah tidak. Mana yang paling dominan atau sering dan jadi kebiasaan beliau? Sama halnya dengan hadits keutamaan minum seraya duduk. Ini tidak berarti menutup kebolehan minum sambil berdiri karena adanya riwayat Baginda Nabi juga pernah lakukan.

Sebagaimana kebolehan berdiri untuk minum, bukan berarti intensitas yang tidak selalu terjadi ini pantas dianggap sebagai kebiasaan beliau. Kiranya dalam soal Jenggot Mbak Hasyim bukan menutup kemungkinan memakai logika seperti ini. Bagi yang riwayatnya berasal dari murid atau saksi yang mendapati Mbak Hasyim tidak berjenggot, pastilah akan terus berkeyakinan mempertahankan kesaksiannya. Demikian juga yang hanya saksikan Mbah Hasyim berjanggut pastinya akan riwayatkan ke generasi berikutnya serupa.

Bila sama-sama sering diterapkan bagaimana? Bisa saja, tapi mengapa seolah semua foto dan lukisan profil beliau seakan “kompak” tampilkan Mbah Hasyim berjenggot? Mengapa foto yang kelimis dagu beliau lebih susah didapati? Memang, yang sering dan dominan tidak selalu ukuran kebenaran. Tapi, bisakah semua orang yang pernah semasa hanya bungkam dan biarkan Mbah Hasyim dipaksa berjanggut profil dirinya kalau sejatinya beliau tidak begitu?

Sengaja tulisan ini tidak memasukkan bukti-bukti berupa foto kendati beberapa dokumen soal itu saya miliki. Mari kita berlogika sederhana saja. Hadirnya Hari Santri Nasional yang ditetapkan jatuh pada 22 Oktober sejatinya masih tidak terpisahkan dengan Resolusi Jihad yang dimaklumatkan Mbah Hasyim guna mengusir Belanda dan sekutu di Indonesia—khususnya di Surabaya. Pun sudah maklum diketahui bahwa kalangan kiai NU termasuk salah satu yang radikal dalam membedakan diri dengan kebiasaan penjajah.

Bayangkan, pada masa itu sosok kiai karismatis dengan pengikut ratusan ribu di Surabaya saja, berdiri gagah dengan dagu kelimis, mungkinkah? Padahal, beliau selama ini dipersaksikan oleh beberapa kalangan getol memelihara Jenggot? Pada situasi berjihad, dan baru saja keluarkan maklumat penting, apakah beliau pilih terus membedakan diri dengan penjaajah yang memang aslinya kelimis, ataukah malah sebaliknya?

Baca Juga: Gawat!!! Jenggot Mbah Hasyim Hilang..

Soal berjenggot atau tidaknya Mbah Hasyim, pada akhirnya sudah “ditetapkan” dalam Hari Santri Nasional lalu sebagai sosok kelimis. Itu sebuah pilihan kendati ambil satu babak saja dari rentang hidup beliau yang mungkin saja lebih sering memelihara rambut di dagu. Penetapan tidak berjanggutnya Mbah Hasyim adalah pantulan dari “kebenaran” sejarah dari pihak yang berkuasa, dalam hal ini di struktur aktif organisasi yang beliau bentuk.

Di tangan generasi penerus organisasi beliau itulah, Mbah Hasyim lebih mantap ingin dihadirkan berwajah tanpa pengaruh kearab-araban. Satu pilihan yang tidak perlu diributkan oleh kita yang bukan dari NU, karena toh sang ketua umumnya sekarang sudah menahbiskan bahwa Jenggot merupakan ciri kebodohan. Sebuah petikan dari khazanah masa lalu yang dipakai untuk konteks berbeda demi lampiaskan hasad pribadi pada kalangan lain. Dan sang ikon organisasi, sekaligus pendiri, harus masuk dalam representasi pemaknaan semacam ini. (Yusuf Maulana/IslamPos)
Next article Next Post
Previous article Previous Post